Mongabay.co.id

Anies Terbitkan IMB: Kemunduran Penyelesaian Persoalan Reklamasi Jakarta?

Bangunan Pulau C dan D. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Gubernur Jakarta Anies Baswedan, telah menyegel bangunan di Pulau C-D pada 2018. Saat itu, Anies menerangkan, Pemerintah Jakarta, sedang menyusun kajian rekomendasi peruntukan Pulau C-D. Kajian belum kunjung selesai, Anies telah menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan tersegel itu. Muncul perdebatan apakah penerbitan IMB sudah sesuai aturan berlaku.

Pada Pasal 39 ayat (1) huruf c UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung, menyebutkan, bangunan gedung dapat dibongkar apabila tak memiliki IMB. Bahkan, pembongkaran gedung ini jadi kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung yang tak memiliki IMB.

Baca juga: Komitmen Gubernur Setop Reklamasi Jakarta Dipertanyakan

Dalam Peraturan Pemerintah, aturan turunan UU Bangunan Gedung (PP No. 36/2005), Pasal 115 mengatur pemilik bangunan gedung yang tak memiliki IMB kena sanksi perintah pembongkaran. Untuk pemilik bangunan gedung yang bangun gedung tanpa IMB kena sanksi penghentian sementara sampai ada IMB.

Bangunan-bangunan yang disegel di Pulau C dan D terdiri dari yang sudah berdiri dan masih dibangun. Pemilik bangunan yang sudah berdiri, seharusnya kena sanksi perintah pembongkaran. Pemilik bangunan gedung yang sudah berdiri tak memiliki kesempatan mengajukan permohonan IMB.

 

Bangunan di Pulau C-D, pada 2016. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Tanpa perda zonasi pesisir

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis sesuai fungsi bangunan gedung. Dalam UU Bangungan Gedung, Pasal 78, fungsi bangunan gedung harus sesuai peruntukan lokasi dalam Perda RTRW kabupaten dan kota, rencana detail tata ruang kawasan perkotaan (RDTRKP), atau rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL).

Salah satu persyaratan administratif, IMB yang mencantumkan kesesuaian fungsi bangunan gedung dengan tata ruang. Namun, UU Bangunan Gedung dan peraturan pelaksana terbit sebelum 2007, ketika UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, diundangkan (UU WP3K).

Baca juga : Gubernur DKI Jakarta Langgar Aturan di Teluk Jakarta?

Pasca penerbitan UU WP3K, aturan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengikuti RZWP3K. Pulau C-D memiliki luasan lebih kecil dari 2000 kilometer persegi dan terletak dalam 0-12 mil laut diukur dari garis pantai Jakarta. Jadi, penetapan peruntukan Pulau C-D sebagai pulau kecil harus mengikuti RZWP3K Jakarta. Saat ini, Perda RZWP3K Jakarta, belum terbentuk hingga belum ada kepastian peruntukan maupun arahan pemanfaatan Pulau C-D.

 

IMB tak berdasar Amdal

Menurut Pasal 15 ayat (1) PP No. 36/2005, bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Proses pemberian perizinan bangunan gedung ini harus mendapatkan pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan gedung dan mempertimbangkan pendapat publik.

Pembangunan reklamasi berdampak terhadap ekosistem pesisir dan laut di Teluk Jakarta, pembangunan berada di tanah hasil reklamasi akan berdampak bagi ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Pemberian IMB bangunan Pulau C-D wajib memiliki Amdal. Nyatanya, IMB terbit tanpa Amdal dan tak ada dengar pendapat publik. Dengan begitu, IMB cacat subtantif karena mengabaikan lingkungan hidup.

Selain itu, dalam menentukan kesesuaian fungsi bangungan dengan tata ruang perlu ada Perda RZWP3K Jakarta. Perda ini belum terbentuk, sedangkan Pergub No. 206/2016 soal panduan rancang kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E, hasil reklamasi kawasan strategis Pantai Utara Jakarta, tak dapat menggantikan Perda RZWP3K. Kedua aturan memiliki prosedur penyusunan berbeda yang berimplikasi terhadap perbedaan susbtansi pengaturan.

 

Penyegelan bangunan di Pulau C dan D, pada era Gubernur Jakarta, Ahok. Era Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, bangunan-bangunan di pulau buatan ini memperoleh IMB. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Jadi, pembangunan bangunan disesuaikan tata ruang, yaitu peraturan daerah kabupaten/kota bukan Peraturan Gubernur mengenai Panduan Rancang Kota. Pulau C-D, merupakan pulau kecil, maka penyesuaian tata ruang mengacu pada RZWP3K.

Peraturan daerah harus disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Dalam konteks RZWP3K, penyusunannya harus melibatkan masyarakat, kementerian, lembaga atau instansi terkait, DPRD, dinas terkait, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, dan pemangku kepentingan utama.

Sedangkan Peraturan Gubernur, terbentuk berdasarkan kewenangan gubernur atau diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tanpa membutuhkan pesertujuan dari DPRD ataupun pelibatan masyarakat.

Untuk itu, Pergub No. 206/2016, tak dapat dipersamakan dengan RZWP3K untuk jadi dasar penerbitan IMB.

 

 

Penulis adalah Kepala Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Tulisan ini merupakan opini penulis dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

 

 

Keterangan foto utama:    Bangunan-bangunan itu akan menyambut kala memasuki  Pulau C dan D. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu properti yang sudah berdiri di Pulau C dan D dengan tak memiliki Amdal peruntukan di atas lahan reklamasi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version