Mongabay.co.id

Tambang Batubara Ini Ancam Hutan Desa dan Dekat Suaka Rimbang Baling

Jalan mulai dibuka perusahaan tambang batubara dari Sumbar ke Pangkalan Kapas, yang melewati hutan desa. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Sebuah petisi menolak PT Buana Tambang Jaya (BTJ) menambang batubara di Kenegerian Pangkalan Kapas digagas Mahasiswa Kampar, dua bulan lalu. Hingga 25 Juni, petisi itu dapat dukungan 2.000-an tandatangan.

Ulil, si pembuat petisi ini dari Yayasan Mitra Insani (YMI). Dia berkunjung ke Kenegerian Pangkalan Kapas, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, penghujung September tahun lalu. Dia ingin melihat wilayah berhutan lebat dan berbukit-bukit akan jadi tambang batubara.

Baca juga: Bakal Ada Tambang Batubara di Pangkalan Kapas, Respon Warga?

YMI, bukan pertamakali berhubungan dengan masyarakat dan alam Kenegerian Pangkalan Kapas. Sejak 2012, mereka sudah bersua dalam hal perhutanan sosial. Sembari pemetaan sosial, budaya, dan kearifan lokal.

Upaya itu berbuah pada 17 Mei 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menerbitkan surat keputusan pemberian hak pengelolaan hutan desa untuk Tanjung Permai, Pangkalan Kapas, Lubuk Bigau dan Kebun Tinggi seluas 5.550 hektar.

Semula, hutan desa itu hendak jadi usulan masing-masing desa. Mengingat, empat desa itu dulu berasal dari satu kenegerian. “Mereka tidak ingin dibedakan meski wilayah telah dibagi-bagi secara administrasi,” kata Ulil.

Sekarang, sambil memberikan pemahaman kepada masyarakat soal dampak tambang, Ulil juga tengah mendampingi mereka menyusun rencana pengelolaan hutan desa. Pemuda setempat terlibat dalam kelompok peduli wisata. Alam Kenegerian Pangkalan Kapas banyak air terjun.

Menurut Ulil—sambil menunjukkan peta usulan hutan desa Kenegerian Pangkalan Kapas yang telah disetujui menteri—areal tambang yang akan digarap BTJ diapit hutan desa masyarakat, tepatnya di tengah-tengah pemukiman dan kebun mereka.

Selain akan menggusur pemukiman dan lahan masyarakat, tambang akan berdampak terhadap hutan desa itu. “Akses yang dibangun perusahaan dari Sumatera Barat menuju Tanjung Permai akan membelah areal hutan desa.”

Dalam analisis yang disusun Alhamran Ariawan, Policy and Enforcment WWF Sumatera Tengah Program, 3.000 hektar luas IUP yang dikantongi BTJ dalam kawasan hutan, perkebunan masyarakat, perkampungan atau fasilitas umum, semak belukar juga berdampingan dengan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling.

Sekitar 2.890 hektar berada dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Batang Lipai. Sisanya, 110 hektar masuk dalam peta indikatif penundaan izin baru.

 

Jalan dari Buluh Kasok Sumbar ke Pangkalan Kapas, sudah dibuka. Akankah lagi hutan lebat kembali terancam tambang? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Alhamran khawatir, operasi tambang akan menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Sebab, perusahaan akan menambang sistem terbuka dengan bahan peledak, yang dapat menimbulkan kerusakan rumah, bangunan penduduk, tanaman sekitar tambang, mencemari Sungai Kampar berikut anak-anak sungai bahkan akan mengganggu kelestarian Rimbang Baling.

Arthur Tarigan, Konsultan Pertambangan atau Geologi BTJ, tak menampik dampak lingkungan akan timbul dari penambangan batubara nanti. Namun, dia berusaha meyakinkan, dengan teknik keilmuan yang telah dipelajari, dampak dapat diminimalisir.

Janjinya, pencemaran air di hulu tidak akan berdampak di hilir. Debu-debu karena pengangkutan batubara diatasi dengan water tank. Soal penggunaan bahan peledak, katanya, dengan mengatur waktu penggunaan dan memberitahu masyarakat.

“Sekali lagi, dampak itu pasti ada. Yang penting kontrol dari perusahaan dan pemerintah harus betul-betul dijalankan,” katanya, seraya meyakinkan, BTJ komitmen menjaga lingkungan dan tanggungjawab pada masyarakat.

“Buktinya, meski belum beroperasi kami sudah menyalurkan dana corporate social responsibility atau CSR,” katanya.

 

Tentang perusahaan

BTJ pertamakali dapat izin eksplorasi dari Bupati Kampar, 30 Oktober 2010. Empat tahun kemudian IUP itu diperpanjang. Pada 2015, BTJ mengantongi IUP operasi produksi dan akan berakhir tahun ini.

Sambil mengurus perpanjangan IUP operasi produksi, BTJ tengah menunggu penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan dari KLHK.

Luas IUP BTJ 3.000 hektar, izin pinjam pakai kawasan yang mereka upayakan cuma 200 hektar. “Kita lihat potensi batubara yang memungkinkan dikeruk. Sisanya, mungkin kita lepaskan. Jika tidak, kita akan bayar pajaknya,” kata Tarigan.

BTJ awalnya perusahaan dalam negeri. Pada 10 Juni 2011, Bupati Kampar mengeluarkan rekomendasi persetujuan perubahan susunan pemegang saham jadi penanaman modal asing.

Sejak itu, 20% saham dikuasai Hutomo Wijaya Ongowarsito dan Elka Tanudjaya. Sisanya, milik tiga orang berkebangsaan Malaysia, yakni, Lim Mee Lein, Lim Chee Kait dan Lim Chee Yei. Kepemilikan saham itu berdasarkan surat izin prinsip penanaman modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 1 Juli 2011.

Hutomo pernah tersangkut perkara pidana dan perdata kasus penipuan yang dilaporkan Direktur PT Grand Wahana Indonesia Koestanto Hariyadi Widjaya, pada 2013. Kasus ini sampai menarik perhatian publik karena ada suap di lingkungan Mahkamah Agung.

 

Menuju Pangkalan Kapas, dengan transportasi air, dengan kiri kanan sungai hutan nan lebat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam salinan putusan Mahkamah Agung, karut-marut itu bermula pada Mei 2010. Hutomo yang masih memegang 70% saham BTJ sekaligus direktur utama, memberi kuasa pada Fikry Hadiyanto untuk menawarkan pada orang lain kepemilikan kuasa pertambangan (KP) batubara di Desa Lubuk Bigau, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau.

Hutomo juga menyerahkan dokumen eksplorasi pertambangan batubara pada Fikry Hadiyanto.

Pada pertengahan Mei, Fikry bertemu Koestanto di sebuah restoran di Tebet, Jakarta Selatan, untuk membahas penawaran itu. Koestanto diminta membeli dan membiayai perubahan KP jadi Izin IUP dengan deposit 1.500.000 metrik ton.

Fikri langsung menunjukkan data bor, surat KP, peta tambang, topografi, SK Bupati Kampar tahun 2008 tentang pemberian KP eksplorasi batubara pada BTJ, akta pendirian perusahaan, SIUP, TDP dan dokumen lain.

Setelah itu, Fikri mempertemukan Hutomo dan Koestanto di tempat sama. Lebih rinci, dalam pertemuan itu Hutomo berjanji menyerahkan IUP dan menjual 100% saham pada Koestanto, apabila pengurusan telah selesai. Hutomo minta uang muka Rp400 juta untuk biaya pengurusan.

Koestanto tak keberatan dan langsung meninjau lokasi pada bulan itu juga. Sekembali dari lokasi, Koestanto mentransfer uang muka yang diminta Hutomo ke rekening BCA atasnama Alfred Julian Hariyanto. Uang ini diserahkan hari itu juga oleh pemilik rekening ke Hutomo di Hotel Pangeran Pekanbaru.

Hutomo dan Koestanto, kembali bertemu membahas rencana akuisisi perusahaan, 28 Juni 2010, di restoran tempat mereka pertama bertemu. Dalam surat perjanjian kesepahaman bersama yang mereka tandatangani tertuang, Hutomo akan menjual 100% saham BTJ yang memiliki KP eksplorasi 3.000 hektar ke Koestanto. Harga penjualan KP disepakati Rp7 miliar termasuk biaya mengurus legalitas IUP eksplorasi.

Empat bulan kemudian, Bupati Kampar mengeluarkan IUP bernomor 545 tertanggal 25 Oktober 2010. Hutomo tak menyerahkan izin pada Koestanto. Hutomo disebut banyak alasan demi menunda waktu penyerahan bahkan tak merespon panggilan telepon Koestanto.

Rupanya, Hutomo menjual IUP itu ke PT Barakuda pada 23 Februari 2011 dan telah menerima uang tunggu Rp90 juta. Koestanto merasa tertipu. Dia mensomasi Hutomo, namun tak ada tanggapan meski tiga kali surat somasi dilayangkan. Masalah inipun berujung ke meja hijau atas tindak pidana penipuan.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, membebaskan Hutomo pada 19 November 2012. Pertimbangannya, Hutomo terbukti penipuan tetapi tak termasuk tindak pidana.

Tak terima dengan putusan itu, Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, ajukan kasasi. Hakim Agung yang dipimpin Zaharuddin Utama bersama Gayus Lumbun dan Andi Abu Ayyub Saleh, justru memperkuat putusan majelis hakim tingkat pertama.

Salah satu pertimbangan majelis hakim yang diputuskan pada 29 Agustus 2013, itu, hubungan hukum antara Hutomo dan Koestanto yaitu hukum keperdataan.

Menariknya, muncul masalah baru sebelum perkara ini putus. Pengacara Koestanto, Mario Cornelio Bernardo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Djodi Supratman, pegawai Mahkamah Agung.

Keduanya terlibat rencana pengurusan perkara kasasi supaya Hutomo dihukum oleh majelis hakim. Bila itu terwujud, akan ada imbalan Rp150 juta. Mario sendiri akan menerima fee Rp1 miliar dari Koestanto jika berhasil.

Mario bekerja di kantor pengacara Hotma Sitompul. Dia menerima uang dari Koestanto bertahap lewat bendahara perusahaan. Masing-masing Rp500 juta dan Rp300 juta.

Mario semula komunikasi ke Djodi untuk mengetahui perkembangan perkara. Karena tak punya akses ke hakim agung, Djodi minta bantuan Suprapto Staf Kepaniteraan MA.

Menurut keterangan Suprapto, saat beri kesaksian dalam perkara Djodi, Hakim Andi Abu Ayyub mengetahui hal ihwal imbalan yang akan diterima apabila putusan kasasi menghukum Hutomo. Hal itu diceritakan langsung Suprapto, ketika menyerahkan memori kasasi ke meja Andi. Andi Abu Ayyub, hanya menanggapi, akan mempelajari berkas terlebih dahulu.

KPK lebih dulu mengendus rencana Mario dan Djodi serta menetapkan keduanya tersangka pada 25 Juli 2013, sebelum hakim agung menguatkan putusan hakim tingkat pertama satu bulan kemudian.

Tarigan bilang, Hutomo tak punya hubungan apa-apa lagi dengan BTJ. “Setahu saya, sahamnya telah dipegang Ahmad Zaini juga sebagai direktur utama,” katanya Arthur yang mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan BTJ ke KLHK.

 

 

Keterangan foto utama:    Jalan mulai dibuka perusahaan tambang batubara dari Sumbar ke Pangkalan Kapas, yang melewati hutan desa. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Perempuan dan anak-anak ikut tolak tambang batubara. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version