Mongabay.co.id

Kuatkan Data soal Pemilik Manfaat Perusahaan, Enam Kementerian Teken Nota Kesepahaman

Semua pihak dikerahkan untuk memadamkan kobaran api di lokasi kebakaran, lahan gambut. Unsur BPBA, BPBD Aceh Barat, Kepolisian, TNI, dan masyarakat dilibatkan. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

 

 

 

 

Informasi mengenai struktur kepemilikan dan kepengurusan perusahaan, terutama yang bergerak dalam industri ekstraktif, selama ini cenderung tertutup. Padahal, data ini penting guna guna mengetahui pihak-pihak pemilik manfaat (beneficial ownership) agar bertanggungjawab atas serangkaian kerusakan lingkungan, kerugian pendapatan pajak dan lain-lain.

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 13/2018 mengenai beneficial ownership, penerima manfaat dari perusahaan-perusahan ekstraktif baik itu sawit, tambang, kehutanan dan lain-lain harus lapor. Sayangnya, selama ini aturan ini belum bejalan efektif.

Menindaklanjuti perpres ini, beberapa kementerian menandatangani nota kesepahaman dan perjanjian kerjasama mengenai penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat (beneficial ownership) Rabu (3/7/19) di Jakarta.

Adapun kementerian-kementerian yang menandatangani nota kesepahaman itu, yakni, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.

“Dengan penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian kerjasama ini, dari sisi governance, negeri ini akan jadi lebih baik. Nanti semua transparan,” kata Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN.

Dia mengatakan, basis data beneficial ownership akan membuat potensi konflik pertanahan berkurang. Masih banyak konflik lahan belum selesai. Data Kementerian ATR/BPN ada 8.959 kasus sengketa lahan, 56% sengketa antarmasyarakat, antara tetangga dengan tetangga, sengketa batas, harta warisan dan lain-lain. Kemudian, 15% orang dengan badan hukum, dan 0,1% badan hukum dengan badan hukum.

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukan, selama satu periode Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terdapat 1.769 kasus agraria dengan 41 orang tewas, 51 tertembak, 546 dianiaya dan 940 petani dan aktivis dikriminalisasi.

Sofyan bilag, selama ini yang menjadi pemicu sengketa lahan karena banyak yang tak mengungkap siapa pemilik lahan sebenarnya. Begitu dijual, ternyata tanah milik orang lain.

“Atau misal, karena pengusaha asing memiliki tanah, tetapi didaftarkan atas nama orang Indonesia. Ini jadi masalah. Lewat beneficial ownership ini akan membantu kita menciptakan transparansi. Termasuk juga soal HGU,” katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dengan nota kesepahaman ini akan memudahkan Dirjen Pajak melengkapi data dari Automatic Exchange of Information (AEOI).

“Tentu, dengan beneficial ownership ini akan mendapatkan konsistensi informasi mengenai siapa the ultimate beneficial-nya. Itu yang selama ini jadi kesulitan saat kita mau menghitung perpajakan. Juga akan membantu melaksakan prinsip base erosion and profit shifting,” katanya.

 

Batubara, salah satu bisnis  tambang yang berpotensi terjadi praktik-praktik nakal. Laporan KPK beberapa waktu lalu menyebutkan, 3.000-an perusahaan tambang tak miliki NPWP, artinya tak membayar pajak.    Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kementerian Keuangan, katanya, akan melihat ini dengan prinsip kehati-hatian. Kepada seluruh pelaku ekonomi di Indonesia, katanya, untuk lebih baik legal dan transaparan. Kemenkeu, katanya, berkomitmen melayani para pelaku usaha agar jadi lebih baik.

“Daripada gunakan proxy atau nominee. Tunjukkan tata kelola yang lebih akuntabel dan konsisten terutama di sektor private. Selama ini, sektor publik kita banyak sekali diminta transparansi atau akuntabilitas. Swasta dan individual juga penting.”

Kalau seluruh pihak di Indonesia sama-sama berkomitmen dan memiliki landasan prinsip-prinsip yang baik, katanya, Indonesia akan jadi lebih bagus. “Entah sisi tax collection, sisi penggunaan uang pajak dan bagaimana bisa mendapatkan hasil-hasil pembangunan optimal.”

 

Susun Permen Pemilik Manfaat

Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM mengatakan, nota kesepahaman ini sangat penting sebagai tindak lanjut Perpres 13/2018.

Dalam waktu dekat, katanya, dia akan mengeluarkan peraturan menteri (permen) tentang beneficial ownership secara teknis.

“Ini akan mendukung kita sebagai negara yang berupaya mencegah money laundry, penghindaran pajak, juga penggunaan dana untuk kepentingan terorisme dan lain-lain,” katanya.

Yasonna mengatakan, dalam Permenkumham yang segera diundangkan, akan diatur mengenai kejelasan izin pendirian badan hukum dan pemilik saham. Jadi, bisa mengenali siapa sebenarnya pemilik utama, tahapan-tahapan yang harus dilaporkan, termasuk juga data-data pendukung.

“Selama ini, kan banyak yang mau menanamkan modal, tetapi tidak mau nama tertera. Dengan Permenkumham ini nanti jika tidak mengikuti aturan, akan kena sanksi. Selama ini, tak ada yang demikian.”

“Ini teknisnya benar-benar kita buat kerjasama dengan beberapa lembaga supaya pengenalan beneficial ownership lebih mudah.”

Menurut Yasonna, notaris yang tak menjalankan kewajiban beneficial ownership juga akan kena sanksi. “Sanksi bisa berupa pencabutan izin. Kita bebani kewajiban untuk membuat data yang sebenarnya.”

Penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian kerjasama penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat ini salah satu rencana aksi strategi nasional pencegahan korupsi. Ia rangkaian panjang pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 54/2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi.

“Kita juga upaya perbaikan dan penyelarasan regulasi tata kelola pemerintahan, keuangan dan pelayanan publik dalam negeri, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia sesuai standar aturan hukum internasional,” katanya.

Dia bilang, salah satu tantangan penegakan hukum terutama tindak korupsi, pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah pengungkapan pemilik manfaat.

Pengungkapan pemilik manfaat, katanya, menutup potensi atau celah tindak kejahatan, mengingat banyak pengelabuan informasi pemilik manfaat melalui tindkaan-tindakan berlapis dengan gunakan corporate vehicle, antara lain perusahaan cangkang (shell companies) atau nominees.

“Ini permasalahan yang harus segera diatasi. Mengingat penegakan hukum efektif, salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia. Iklim usaha dan investasi kondusif dan atraktif hanya akan terwujud dengan jaminan kepercayaan pelaku usaha baik dalam maupun luar negeri.”

Indonesia, katanya, sedang proses jadi anggota Financial Action Task Force. Tujuannya, menguatkan kepercayaan dalam memberikan jaminan kepastian hukum, bahwa badan usaha tidak dimanfaatkan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Laode M Syarif, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, peraturan mengenai beneficial ownership bukan untuk menghukum dunia usaha. Justru, sebaliknya, bertujuan melindungi dunia usaha.

“Sistem transparansi keuangan, kepemilikan perlu kita tingkatkan agar betul-betul terjadi pertumbuhan ekonomi. Sebenarnya, kata Laode, kalau transparan, akan menciptakan dunia usaha lebih baik bahkan pemerintah bisa memberikan insentif atau penghargaan khusus kepada dunia usaha. “Ini tujuannya untuk kepentingan bersama.”

Dengan penandatanganan nota kesepahaman ini, katanya, akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola perusahaan-perusahaan di Indonesia. Selain itu, juga menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia serius dan berupaya keras memperbaiki tata kelola.

“Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia sebenarnya memiliki aturan beneficial ownership cukup lengkap.”

Laporan Bank Dunia 2015 menyatakan, satu persen orang kaya mengontrol 50,3% perekonomian Indonesia. Nama-nama orang yang masuk satu persen itu tak jelas karena mereka tak selalu kelihatan dalam setiap pemberian izin.

“Sekarang kita memiliki perpres beneficial ownership bahkan jadi salah satu poin yang harus dicapai dalam strategi nasional pencegahan korupsi.”

Dia berharap, penandatanganan nota kesepahaman ini bisa ditindaklanjuti dengan hal-hal lebih konkrit, misal, setiap perusahaan di Indonesia dan terdaftar di Dirjen AHU Kemenkumham punya informasi kepemilikan saham.

Beberapa waktu lalu, Koalisi Anti Mafia Hutan menganalis, mengenai struktur kepemilikan dan kepengurusan puluhan perusahaan pemasok bahan baku ke Asia Pulp and Paper (APP). Hasilnya, menunjukkan, 24 dari 27 pemasok independen mereka terindikasi memiliki keterkaitan erat dengan Sinar Mas Grup (SMG). Penelusuran koalisi juga menunjukan, kepemilikan grup SMG itu bahkan hingga ke berbagai negara yang menerapkan kebijakan offshore jurisdiction yang bisa untuk penghindaran kewajiban pajak.

Kasus lain, terjadi beberapa saat jelang gelaran pemilu serentak. Organisasi masyarakat sipil internasional Global Witness menyebut, ada aliran dana dari penjualan perusahaan tambang batubara ke perusahaan yang tak jelas siapa pemiliknya dengan transaksi mencapai jutaan dolar Amerika. Laporan juga menyebut dua tokoh penting yang maju dan berelasi dalam kontestasi politik elektoral, yakni, Sandiaga Uno dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.

 

Kebun sawit di Indonesia, ada yang eksis di kawasan terlarang, seperti lahan gambut dalam, hutan lindung maupun hutan konservasi. Tambah parah lagi, kalau kepemilikan perusahaan tak jelas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Langkah maju, tinggal menanti implementasi

Koalisi Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengapresiasi langkah enam kementerian penandatanganan nota kesepahaman mengenai beneficial ownership ini.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia dalam keterangan kepada media mengatakan, pendandatanganan ini menunjukkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui pencegahan tindak pidana korporasi sudah berada di jalur tepat.

“Upaya pemerintah menguatkan basis data beneficial ownership ini patut didukung di tengah tantangan ekonomi, makin canggih, aktor perusahaan dalam memanfaatkan struktur korporasi makin kompleks, berjenjang, dan rumit. Yang menciptakan celah tindak pidana korporasi,” katanya.

Basis data pemilik manfaat perusahaan yang kuat, akurat dan mudah diakses, katanya, tak hanya untuk kepentingan penegakan hukum. Juga bisa meningkatkan kinerja penerimaan negara dan pajak, dan mencegah risiko kegiatan ekonomi maupun pembiayaan. “Seperti pengadaan barang dan jasa, hingga proyek-proyek infrastruktur dan layanan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.”

Sisi lain bagi swasta, kanya, dapat meningkatkan kinerja dan ekosistem perekonomian adil, kompetitif dan bermutu. Hal ini, kata Maryati, Ini sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, terutama pada era keterbukaan dan transparansi. “Terlebih dalam ekosistem teknologi informasi dan ekonomi global lintas negara melampaui batas batas jurisdiksi,” katanya.

Manajer Advokasi dan Pengembangan Program PWYP Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, Indonesia sebagai salah satu negara pelaksana extractive indutries transparency initiatives (EITI) juga memiliki peta jalan keterbukaan beneficial ownership pada sektor ekstraktif. “Telah wajib mempublikasikan data perusahaan migas, pertambangan mineral dan batubara per 1 Januari 2020, tahun depan.”

Dia mendesak, agar penandatanganan ini ditindaklanjuti langkah-langkah konkret, seperti memperbaiki regulasi, sistem dan kelembagaan manajemen data, dan mekanisme verifikasi data. Juga, mekanisme interfacing (komunikasi antara pengguna dengan sistem) dan interperiobilitas data antar instansi, mekanisme pertukaran data maupun mekanisme publikasi data kepada publik.

 

Keterangan foto utama:  Kebakaran atau membakar lahan gambut yang masuk  konsesi, salah satu kejahatan lingkungan. Kadang, perusahaan yang terlibat tak jelas milik siapa atau berelasi dengan siapa karena tak ada keterbukaan. Foto:Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version