Mongabay.co.id

Global Witness Beberkan Aksi Perusahaan Batubara Alihkan Uang, Upaya Hindari Pajak di Indonesia?

Batubara baru dipindahkan dari kapal ke tongkang kemudian dikirim ke PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Global Witness, lembaga nirlaba internasional bidang lingkungan hidup, kembali meluncurkan laporan investigasi terkait perusahaan tambang batubara di Indonesia. Kali ini, lembaga ini menyoroti jaringan luar negeri, PT Adaro Energy (Tbk), perusahaan tambang batubara besar di Indonesia yang mendapat prediket golden taxpayer dari Dirjen Pajak.

Global Witness menduga, Adaro justru melarikan keuntungan dalam jumlah besar ke jejaring perusahaan luar negeri (offshore network) dan kurang membayar pajak.

“Temuan ini menambah alasan mengapa Pemerintah Indonesia, bank internasional, dan penanam modal harus menghindari sektor batubara di Indonesia,” kata Stuart McWilliam, Manager Kampanye Perubahan Iklim Global Witness.

Dalam laporan yang dirilis 4 Juli lalu, Global Witness menguraikan bagaimana Adaro mengurangi jumlah pajak yang seharusnya mereka bayarkan di Indonesia.

Bagaimana caranya? Stuart menjelaskan, bermula saat Adaro Energy, baru-baru ini memperluas jaringan perusahaan luar negeri ke Singapura dan Mauritius. Perusahaan luar negeri ini berperan mengumpulkan sebagian keuntungan perdagangan batubara dan mengelola investasi mereka di tambang batubara di Australia.

Penggunaan negara suaka pajak untuk menyimpan dana dan aset inilah, menurut Global Witness, yang membuat ratusan juta dolar yang disimpan Adaro di luar negeri, mungkin tak akan pernah kena pajak di Indonesia.

“Penghindaran pajak ini tentu saja tak legal karena dapat mengurangi pendapatan negara yang sebetulnya bisa digunakan untuk pembangunan ekonomi dan sosial,” katanya.

Masalahnya lagi, saat memperluas jaringan ke luar negeri, Adaro mendapat jaminan keuangan dari Pemerintah Indonesia, untuk pembangkit listrik batubara yang bakal mereka operasikan. Salah satunya PLTU Batang senilai US$4 miliar.

PLTU terbesar di Indonesia ini dibangun dengan sistem proyek patungan (joint venture). Adaro punya 34% kepemilikan dalam proyek ini diperkirakan menghasilkan pendapatan hingga US$80 juta per bulan saat PLTU mulai beroperasi.

“Ini berarti, sebenarnya, Adaro mengandalkan pemerintah dan warga Indonesia untuk memberikan jaminan kepada salah satu sumber keuntungan di masa depan. Pada saat sama, juga memanfaatkan jejaring perusahaan luar negeri untuk mengurangi potensi pembayaran pajak di Indonesia,” ucap Stuart.

Menariknya, Adaro, dalam banyak pernyataan melalui direkturnya, Garibaldi Tohir, selalu menekankan komitmen mereka pada bangsa Indonesia melalui pajak yang dibayarkan.

Dari penelusuran Global Witness, anak perusahaan bidang pemasaran Adaro, Coaltrade Services International, membeli batubara dari anak perusahaan Adaro lain yang tambangnya berada di Indonesia. Perusahaan ini juga membeli batubara dari pihak ketiga, kemudian menjual kembali. Colatrade juga sekaligus menjadi agen antara Adaro dan pihak ketiga. Untuk pekerjaan ini, Coaltrade menerima komisi.

Sekilas ini terlihat seperti bisnis pada umumnya. “Dapat dipertanyakan, apakah pengaturan penjualan dan pemasaran ini tak terlihat seperti pengalihan keuntungan dari negara dengan pajak tinggi seperti Indonesia ke negara dengan pajak rendah seperti Singapura?”

Tahun 2008, Adaro pernah diminta Dirjen Pajak membayar kekurangan pajak karena penjualan batubara ke Coaltrade dengan harga lebih rendah. Coaltrade menjual ke pihak ketiga dan mencatat keuntungan dengan pajak lebih rendah di Singapura. Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Pajak meminta Adaro membayar tambahan pajak U$33,2 juta.

Rekening Coaltrade yang dianalisis oleh Global Witness menunjukkan, kenaikan yang dibuat ketika membeli dan menjual batubara turun dari rata-rata 15%, sebelum intervensi dari kantor pajak, ke 4% sesudah intervensi yang dilakukan kantor pajak.

Dengan kata lain, katanya, lebih sedikit keuntungan dari penjualan batubara yang dibukukan di Singapura, daripada di Indonesia.

Batubara juga menghasilkan banyak uang lain, misal, komisi dari menjual batubara yang ditambang di Indonesia kepada anak perusahaan Adaro lainnya.

Rekening Coaltrade menunjukkan, dalam tiga tahun sebelum 2009, Coaltrade memperoleh komisi rata-rata US$4 juta per tahun. Meskipun demikian, antara 2009-2017, Coaltrade dapat hampir US$55 juta per tahun dari komisi atau sebesar US$490, 5 juta.

Komisi ini, katanya, berkontribusi kepada total keuntungan sebelum pajak, setelah pendapatan dan biaya lain, sebesar US$416,8 juta dari 2009 sampai 2017.

Berdasarkan laporan keuangan Adaro yang didapat Global Witness, keuntungan Coaltrade, yang kena pajak di Singapura pada 2009-2017, rata-rata 10,7%. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata tahunan yang Adaro bayarkan atas keuntungan di Indonesia, yakni, 50,8%.

Lebih 70% batubara yang dijual Coaltrade antara periode ini dari anak perusahaan Adaro, di Indonesia.

Analisa utama Global Witness, kalau komisi menjual batubara Indonesia milik Adaro kena pajak di Indonesia pada tingkat rata-rata tahunan yang lebih tinggi dari Singapura, maka Indonesia bisa mendapat hingga US$125 juta tambahan pajak Adaro antara 2009-2017, atau hampir US$14 juta per tahun.

Artinya, setiap tahun Adaro diduga kurang membayar pajak hingga US$14 juta. “Global Witness meminta, Adaro memberikan komentar, namun tak menerima balasan.”

Global Witness juga meminta komentar Adaro, namun, kata Stuart, tak ada jawaban dari perusahaan itu.

Indonesia mungkin bisa melihat bagaimana otoritas pajak negara lain, seperti Australia, meminta tambahan pembayaran pajak kepada dua perusahaan ekstraktif Australia, BHP Billiton dan Rio Tinto, karena keuntungan yang mereka bukukan di Singapura. Tambahan pajak untuk kasus ini, diminta otoritas pajak Australia tanpa harus mengaku kalau mereka praktik penghindaran pajak.

 

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

 

Bagaimana dengan Adaro?

Otoritas pajak mestinya bisa memaksa perusahaan membayar bahkan dengan bunga dan penalti. “Adaro bahkan melangkah lebih jauh lagi ke luar negeri,” kata Stuart.

Keuntungan Coaltrade di Singapura, mengalir lebih jauh ke suaka pajak di Samudera Hindia, yakni Mauritius.

Menurut Global Witness, Adaro menguasai beberapa perusahaan luar negeri yang punya aset hampir US$1 miliar, yakni Arindo Holdings di Mauritius yang memiliki Vindoor Investments di Mauritius, juga memiliki Coaltrade di Singapura. Uniknya, perusahaan ini hanya punya 22 pegawai sejak 2017. Sebagian besar dari mereka sudah bekerja untuk Coaltrade.

“Ini mengindikasikan, perusahaan itu dibentuk hanya untuk menyimpan aset dan dana. Bukan fungsi jasa atau fungsi lain yang membutuhkan sumber daya manusia.”

Antara 2009-2017, lebih % keuntungan bersih Coaltrade sebesar US$338,5 juta dibayar dalam bentuk dividen kepada Vindoor. Tak jelas kemana kemudian aliran dana ini mengalir karena Arindo Holdings, tidak wajib mengeluarkan rekening mereka di Mauritius.

Global Witness menduga, perusahaan ini tak membayar pajak hingga setidaknya tahun 2017. Dari laporan keuangan Arindo, perusahaan ini mengubah status di Mauritius pada September 2017 dari perusahaan bisnis global kategori II ke kategori I yang kena pajak 3%. Mereka mengubah status untuk menggiring modal masuk ke Mauritius.

Dari laporan keuangan diketahui, Arindo tak membayar dividen apapun lagi ke Adaro sejak 2015. Artinya, keuntungan Coaltrade tetap berada di luar negeri dan tak kembali ke Indonesia untuk kena pajak.

“Ketika kami menanyakan ini, Adaro tidak memberikan konfirmasi atau menyangkalnya.”

Pada 2017, sebuah perusahaan ditambahkan lagi ke dalam kelompok perusahaan luar negeri yakni Adaro Capital yang berada di suaka pajak Malaysia, di Labuan. Perusahaan ini bertugas melakukan perbendaharaan untuk investasi di dalam instrumen-instrumen keuangan”.

Perusahaan ini melakukan investasi bagi Adaro yang memilih beraktivitas di lokasi suaka pajak, bukan di Indonesia. Kini, Adaro Capital, punya sebagian tambang batubara Kestrel di Australia.

Pada Maret 2017, Adaro Capital mengakuisisi 80% saham Rio Tinto di tambang ini senilai US$2,25 miliar.

Apakah Adaro akan membayar pajak ke Indonesia untuk setiap keuntungan dari Kestrel? “Tak ada tanggapan dari Adaro,” kata Stuart.

Stuart mengingatkan, batubara adalah sumber energi kontroversial. Di seluruh dunia, batubara dipandang sebagai sektor yang berisiko tinggi karena jadi salah satu penyumbang bagi krisis iklim, sumber polusi udara yang mematikan dan penyebab kerusakan lingkungan.

Saat ini, makin banyak negara dan lembaga keuangan mulai meninggalkan batubara. Menurut lembaga kajian ekonomi, Institute for Energy Economics & Financial Analysis (IEEFA), rata-rata setiap dua minggu, ada saja bank, perusahaan asuransi atau pemberi pinjaman yang menyatakan setop membiayai batubara.

Indonesia, sebagai salah satu produsen dan eksportir besar batubara di dunia, terdampak permintaan global batubara yang menurun siginifikan.

“Sejumlah rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia, dapat membantu mempertahankan pasar batubara di Indonesia.”

Hal lain yang jadi sorotan bisnis batubara dan pembangkitnya di Indonesia, terkait skandal korupsi yang menjerat Direktur PLN, anggota DPR, politikus, menteri dan pengusaha.

“Ditambah dengan serangkaian izin yang dikeluarkan tidak benar, pencemaran permukaan tanah dan air dan kertegantungan yang makin besar pada subsidi pemerintah,” katanya.

Global Witness mengingatkan, jika pemerintah, bank dan penanam modal tetap bermain dalam bisnis batubara, tak hanya kehilangan pendapatan negara juga reputasi.

Global Witness merekomendasikan, Pemerintah Indonesia perlu mengkonfirmasi seluruh temuan laporan ini kepada Dirjen Pajak untuk dikaji lebih lanjut. Pemerintah juga perlu menurunkan secara drastis jumlah PLTU batubara dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL).

“Kebijakan ini harus dikaji dan diumumkan secepat mungkin dan diterapkan pada 2020, saat pembaruan RUPTL,” katanya.

Penting juga menyusun rencana komprehensif untuk transisi energi meninggalkan batubara di Indonesia, sejalan dengan Kesepakatan Paris.

Lembaga keuangan baik bank pemerintah maupun swasta juga diminta untuk tak membiayai proyek batubara dan pembangkitnya. Termasuk, tak memberikan layanan kepada perusahaan yang bergantung pada energi batubara.

“Lembaga keuangan perlu mengakhiri kerjasama mereka dengan perusahaan Indonesia yang terlibat batubara dengan membuat rencana dan tengat jelas untuk mencapainya.”

Menanggapi laporan ini, Direktur Utama PT Adaro Energy, Garibaldi Tohir mengatakan, yang berhak menentukan apakah Adaro melakukan praktik penghindaran pajak atau bukan, hanya Dirjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia.

“Nanti, otoritas pajak saja yang menentukan. Mereka kan sudah ada perjanjian dengan otoritas pajak Singapura,” katanya.

Febriati Nadira, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy, dalam keterangan tertulis menyatakan, Adaro telah berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia melalui pajak dan royalti.

Pada 2018, katanya, Adaro telah memberikan kontribusi kepada negara senilai US$721 juta atau setara Rp10.9 triliun. Rinciannya, US$378 dalam bentuk royalti dan US$343 juta berbentuk pajak.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengatakan, akan mempelajari terlebih dahulu detil laporan Global Witness ini.

 

Laporan Global Witness- Pengalihan Uang Batubara

 

Keterangan foto utama:   Batubara, komoditas yang di sekitar tambang menciptakan berbagai masalah lingkungan dan sosial, bagi pebisnis, merupakan ‘sumber’ uang potensial. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Sumber: dari laporan Global Witness

 

 

Exit mobile version