Mongabay.co.id

Gubernur Bali Ajak Kepala Daerah lain Larang Plastik Sekali Pakai

 

Gubernur Bali I Wayan Koster mengajak kepala daerah lain membuat peraturan pengurangan timbulan plastik sekali pakai halnya Bali. Tanpa ragu dan takut akan dipersoalkan. Hal ini menyusul ditolaknya Permohonan Uji Materi Pergub Bali No.97/2018 oleh Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) ditolak Mahkamah Agung (MA).

Uji materiil ini sudah diputus MA pada 23 Mei 2019, namun baru pada Kamis (11/7/2019) disampaikan Gubernur Bali secara resmi pada media setelah salinan putusan diterima. Koster saat dikonfirmasi sesaat setelah website MA mempublikasikan info perkara ini menyatakan uji materiil ditolak, namun minta tidak dipublikasikan dulu.

Putusan Mahkamah Agung No.29 P/HUM/2019 amarnya berbunyi, pertama menolak permohonan keberatan hak uji materi dari Para Pemohon yaitu ADUPI, Didie Tjahjadi, dan Agus Hartono Budi Santoso. Berikutnya, menghukum Para Pemohon membayar biaya perkara sejumlah Rp1 juta.

baca : Asosiasi Daur Ulang Ajukan Uji Materiil Pergub Larangan Plastik Sekali Pakai

 

Sekitar 11 persen dari total sampah di Bali berakhir di lautan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Koster menilai ini kemenangan Pemerintah Provinsi Bali dan kebijakan Gubernur Bali yang membatasi timbulan sampah plastik sekali pakai memiliki posisi hukum yang kuat dan sah berlaku di seluruh Bali. “Saya mengajak kepala daerah lain menerapkan kebijakan sama agar Indonesia bersih dari timbulan plastik sekali pakai,” ujarnya.

Ia juga menyebut Pergub ini baru langkah awal, dan selanjutnya Pemprov akan memperluas kebijakan lingkungan tak hanya plastik, juga unsur sampah lain yang buat kerusakan lingkungan. “Sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, pariwisata perlu alam bersih. Saya akan meneruskan regulasi, dalam waktu dekat Pergub tentang pengelolaan sampah yang harus selesai di hulunya, jadi tak perlu ramai-ramai ke TPA,” jelas Koster.

Pemprov Bali dalam siaran pers memaparkan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar oleh MA menolak permohonan Uji Materi terhadap Pergub No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Diantaranya Pasal 12 Undang-Undang N0.11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Culture Right (Kovenan Internasional tentang Hak Atas Ekonomi, Sosial, dan Budaya).

Bahwa salah satu bentuk Hak Asasi adalah hak untuk menikmati lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagaimana telah diatur dalam: 1) Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”; 2) Pasal 9 Ayat 3 UU No.39/1999 tentang HAM menyetakan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”; 3) Pasal 65 Ayat (1) UU No.32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia”.

baca juga : Bali Larang Plastik Sekali Pakai Mulai 2019

 

Relawan Greenpeace mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan merk untuk audit sampah dalam rangka acara World Clean Up Day dan International Coastal Clean Up Day di pantai Mertasari beach, Sanur, Bali. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Pendekatan pengelolaan sampah selain dengan cara pengendalian juga harus dilakukan kegiatan pengurangan sampah dan penanganan sampah. Yaitu melalui kegiatan pembatasan timbunan sampah dengan menggunakan bahan yang dapat didaur ulang dan/atau mudah diurai oleh proses alam sesuai apa yang diatur dalam UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Dalam penjelasan UU ini menyatakan bahwa “pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang…” Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Sampah jenis plastik sekali pakai (PSP) yang dilarang Pergub Bali ini berupa kantong plastik, polysterina (styrofoam) dan sedotan plastik. Dinilai termasuk materi produk yang mengancam keberlangsungan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, karena sulit didaur ulang, dan/atau tidak mudah diurai oleh proses alam.

Objek uji materiil secara substansi disebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dimana rumusan materi di dalam objek hak uji materiil merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 10 ayat (1) danPasal 12 ayat (2) huruf e Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Sesuai asas desentralisasi, daerah memiliki wewenang membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri.

menarik dibaca : Cukai Rp200, Akankah Efektif Tekan Penggunaan Kantong Plastik?

 

Seorang penyelam berenang bersama pari manta di perairan yang penuh sampah plastik di lepas pantai Nusa Lembongan, Bali. Foto : thecoraltriangle.com

 

Dalil Para Pemohon menyatakan bahwa objek hak uji materiil dikualifikasikan sebagai pengaturan yang bertentangan dengan asas larangan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-Undang No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Upaya menghindari penggunaan plastik sekali pakai berupa kantong plastik, polysterina (styrofoam) dan sedotan plastik merupakan merupakan langkah konkret pengurangan sampah plastik yang dilakukan dengan cara melarang, dan/atau membatasi produksinya, distribusinya, penjualannya, dan/atau pemakaiannya, khususnya di Provinsi Bali.

“Norma baru yang tak ada dalam UU No.18/2008 tentang pengolahan sampah dan Perda Penanggulangan Sampah, tidak benar. Justru norma dimaknai sebagai larangan PSP sesuai Pergub,” jelas Koster menjawab dalil pemohon.

Menurutnya semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan keseluruhan isi Pergub No.97/2018. Sebagai upaya membersihkan alam dengan isinya. Ia berterima kasih banyak pihak memberi dukungan kebijakan ini. Misalnya pemerintah pusat dan aktivis lingkungan berbagai negara.

Christine Halim, Ketua ADUPI yang dikonfirmasi sebelum jumpa pers Gubernur ini mengatakan bahwa menang atau kalah dalam judicial review bukanlah tujuan dari ADUPI. “Maksud ADUPI mengajukan adalah menanyakan kepada pemerintah apakah benar sudah langkah yang ditempuh dengan semua pelarangan-pelarangan ini?” tanyanya.

Ia melanjutkan, setelah pelarangan resmi dijalankan, berharap Bali akan benar-benar bersih dari semua sampah dan TPA di Suwung akan ditutup karena solusi sampahnya sudah ketemu dan clear. Namun apabila masalah sampah di Indonesia ini belum selesai juga, ia mempersilakan pemerintah Bali atau pemerintah Indonesia mengajak ADUPI duduk bersama dengan semua stakeholder untuk bekerja sama.

perlu dibaca : Operasi Kantong Plastik di Pasar. Memangnya Efektif?

 

Sebuah truk melintasi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Suwung, yang terbesar di Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Produksi Sampah

Bali Partnership, didukung oleh Kementerian Luar Negeri Norwegia, pada 20 Juni memaparkan hasil dari penelitian sampah dan sampah plastik laut di 57 Kecamatan di Bali untuk menyusun rencana komprehensif penyelesaian masalah sampah plastik dari daratan. Pertumbuhan perekonomian Bali dan perkembangan pariwisata yang pesat menyebabkan meningkatnya jumlah sampah, tetapi tidak selalu dapat diimbangi dengan peningkatan sistem pengelolaan sampah yang pesat juga.

Total timbulan sampah termasuk rumah tangga, non-rumah tangga dan wisatawan menghasilkan timbulan sampah sebanyak 1,6 juta ton per tahun, di mana 303.000 ton-nya adalah sampah plastik (19,6% dari total sampah). Sebanyak 33.000 ton sampah plastik bocor ke saluran air setiap tahun (11% dari total sampah).

Sekitar 48% sampah yang dihasilkan di Bali telah dikelola dengan didaur ulang atau diangkut ke TPA. Tetapi, sebagian sampah yang dikumpulkan ini tidak sampai ke fasilitas daur ulang atau 10 TPA yang ada di Bali. Hanya 7% sampah plastik di Bali dikumpulkan untuk didaur ulang, dengan 20% rumah tangga memanfaatkan sektor informal untuk mendaur ulang sampah mereka, dan 6% memanfaatkan Bank Sampah.

Dari 16 juta wisatawan di Bali (6 juta wisatawan internasional dan 10 juta wisatawan domestik), menghasilkan sampah 3,5 kali lebih banyak dari penduduk Bali, sekitar 13% dari total sampah di Bali.

 

Penggunaan plastik sebagai bungkus makanan seperti jajanan di pasar-pasar tradisional di Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rumah tangga di Bali disebut siap untuk berubah karena 87% bersedia untuk memilah dan melakukan upaya 3R – Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (daur ulang).

Dengan memusatkan upaya penyelesaian masalah sampah di 15 kecamatan prioritas dari 57 Kecamatan yang ada di Bali dapat mengurangi 44% sampah plastik di laut. Riset ini menyebut lebih dari 400 komunitas, sektor informal, pemerintahan, lembaga adat dan organisasi keagamaan aktif dalam melakukan upaya pembersihan, pendidikan, pengumpulan sampah, dan daur ulang. Mereka memerlukan dukungan untuk memusatkan kegiatan mereka di 15 kecamatan yang membutuhkan.

 

Exit mobile version