Mongabay.co.id

Perdagangan Cula, Petaka Kehidupan Badak di Dunia

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007, yang sejak 2 November 2015 sudah berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Perdagangan liar cula badak skala global menyebabkan ancaman kepunahan satwa bercula ini menjadi lebih cepat. Akibatnya, lima jenis badak di dunia, tiga di Asia [Rhinoceros sondaicus, Rhinoceros unicornis, dan Dicerorhinus sumatrensis] dan dua di Afrika [Ceratotherium simum dan Diceros bicornis] semuanya dikategorikan oleh IUCN/SSC-Rhino Specialist Group, satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Alias Kritis [Critically Endangered/CR].

Perdagangan cula di pasar gelap dunia sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19. Blyth [1862], mengabarkan bahwa cula badak jawa telah diekspor ke China, sebanyak 2.500 cula setiap tahun. Kini, badak jawa [Rhinoceros sondaicus] yang tersisa di ujung paling barat Pulau Jawa, Ujung Kulon hanya 68 individu.

Blyth mengambarkan, abad ke-18 badak jawa masih menempati daerah-daerah berhutan di Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dijelaskan, sepasang badak jawa bahkan dipelihara di halaman Kesultanan Keraton Solo. Namun tidak ada informasi detil berapa lama di sana. Di museum Kalkuta, India, taksidermi [awetan] seekor badak jawa dapat dilihat, sampelnya ditemukan di Bukit Siwalik, awal abad ke-18.

 

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007. Sejak 2 November 2015, ia berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sementara, untuk badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], saat Indonesia baru berumur 10 tahun, populasinya di pedalaman Sumatera masih banyak. Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Boeadi [sudah pensiun], saat itu menjadi saksi melimpahnya satwa bercula. Ia menuturkan kisah penangkapan badak untuk ilmu pengetahuan di Giam-Siak Bukit Batu, Riau, pada 1955.

Saat itu, ia ditugaskan menangkap tiga individu badak. “Kami terjebak perang PRRI [Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]. Baru kembali ke Bogor hampir dua tahun kemudian,” kenang lelaki yang kini berusia 87 tahun.

Misi itu berhasil menangkap 12 badak. “Sembilan kami lepaskan kembali. Satu individu yang akan dibawa ke Inggris, mati sebelum sempat di bawa ke Kebun Raya Bogor. Satu individu yang akan dibawa ke Belanda dan satu lagi akan dipelihara di Kebun Raya Bogor, keduanya mati setelah dipelihara. Sekitar dua bulan,“ terangnya pada suatu kesempatan di Juli 2016.

Sekelumit paparan Boeadi memberi gambaran, badak sumatera pernah tersebar luas hampir meliputi bentang alam Sumatera. Kini, jumlahnya kurang dari 100 individu. Bahkan, pada 2011, tak ditemukan lagi jejaknya di Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS].

 

Foto dua individu badak jawa yang berkubang di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Hoogerwerf, A. – Dipublikasikan tahun 1970/Rhino Resource Center

 

**

Di beberapa perbatasan negara, Asia dan Afrika, perdagangan cula badak internasional telah berkelindan dengan mafia narkoba. Jaringannya sulit dilacak. Meski pusat perdagangannya hampir diketahui, seperti di Afrika adalah di Namibia, sedangkan di Asia adalah Vietnam dan China. Namun, itu semua hanya sedikit informasi yang diperoleh pegiat konservasi, khususnya perdagangan produk-produk dari satwa langka yang dilindungi di berbagai negara.

Dalam terminologi pengobatan China, cula badak asia dianggap sebagai cula api [energi panas], yang berharga sangat tinggi, dibanding cula badak afrika yang bersifat cula air [energi dingin]. Dalam sistem pengobatan tradisional itu, cula disugestikan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Dipercaya pula sebagai obat aphrodisiac, membangkitkan gairah bercinta. Padahal, secara kimiawi, cula badak hanya susunan keratin [sejenis protein], yang tidak berbeda dengan unsur penyusun rambut dan kuku manusia, serta tanduk kerbau.

Di China, cula badak sudah digunakan sebagai bahan baku obat selama ratusan tahun. Dipercaya, bisa menyembuhkan demam, rematik, bahkan keracunan makanan. Di Vietnam, obat-obatan berbahan baku cula badak dipercaya mampu menyadarkan orang mabuk. Di Timur Tengah, seperti Yaman, cula digunakan sebagai aksesoris gagang pisau, menunjukkan prestise pemiliknya.

Meski tindakan ekstrim pernah dilakukan di beberapa pengelolaan wilayah konservasi di Afrika, seperti pemanenan [pemotongan] cula periode 1995-2000, -agar individu badak tidak menjadi target perburuan- nyatanya hal ini tidak menyurutkan perburuan liar.

 

Badak putih [Ceratotherium simum], spesies yang masih bertahan di Afrika. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

**

Ada pula upaya pengembangan cula badak sintetis. Matthew Markus, CEO dari Pembient, percaya, mengenalkan cula badak sintetis yang sangat mirip aslinya, akan mengurangi perburuan dan pembunuhan badak.

Para pegiat konservasi menentang usahanya, mengatakan bahwa rencana tersebut “terlalu berisiko.” Mereka bahkan mendorong pelarangan produk tersebut untuk dipasarkan. Hingga saat ini pada 2019, tidak ada khabar bahwa produk sentesis sudah dipasarkan.

Jumlah badak yang dibunuh untuk diambil culanya naik drastis dalam sembilan tahun terakhir. Tahun 2007, 13 badak terbunuh di Afrika Selatan. Tahun 2015, jumlahnya meningkat menjadi 1.165 individu. Ini disebabkan harga cula badak afrika mencapai 60.000 $US/kg di pasar perdagangan gelap.

Lebih dari 1.350 individu badak dibantai untuk diambil culanya pada 2015. Sebagian besar terjadi di Afrika, sekitar 1.342 badak dibunuh, sedangkan sisanya diperkirakan dilakukan di India.

Meski negara-negara seperti Afrika Selatan, Namibia, dan dalam hal tertentu India, adalah sumber cula badak, namun sedikit sekali yang diperjualbelikan di negara-negara tersebut. Justru, permintaan berasal dari China dan Vietnam, yang dijual sebagai barang mahal atau bahan pembuatan obat tradisional. Dari 2006 hingga Mei 2016, sebanyak 528 kilogram cula badak disita di China, dan 442 kilogram disita di Vietnam, menurut laporan LSM Environmental Investigation Agency [EIA].

“Kita tidak akan pernah bisa mengurangi perburuan badak jika tidak mengurangi permintaan pasar. Pada dasarnya, kita tak akan pernah punya sumber daya yang cukup untuk memelindungi mereka di alam liar. Selain itu, jika kita tak mengurangi permintaan, karena harganya terus naik,” kata Peter Knights dari WildAid.

Berbagai kampanye perdagangan cula global telah dilakukan. Sebuah billboard WildAid di Bandara Shenzhen pada 2017, menampilkan selebriti Tiongkok Chen Kun, Jing Boran dan Li Bingbing; mereka kampanye “Menggigit Kuku” menekankan bahwa mengkonsumsi cula badak tidak lebih baik dari menggigit kuku sendiri.

Yayasan Badak Indonesia [YABI] pun pernah kampanye sepeda keliling di Bundaran Hotel Indonesia dan Jalan Thamrin, Jakarta, membawa poster “Cula Bukan Obat.” Kampanye dilakukan saat peringatan Hari Badak Dunia, 22 September 2015.

 

Badak india yang berada di Kaziranga National Park. Foto: Udayan Dasgupta

 

**

Perdagangan cula badak sulit dihentikan. Namun, kampanye anti-perdagangan cula perlu terus dilakukan. Satuan-satuan anti-perburuan badak global harus berpatroli militan.

Di beberapa negara, petaka keberlangsungan hidup badak sudah terjadi. Badak jawa tidak ditemukan lagi di Vietnam. Badak sumatera pun punah di Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Kini badak jawa dan badak sumatera hanya hidup di Indonesia.

 

 

Dua jenis ini juga, sudah terancam, jika tidak secepatnya diselamatkan. Rencana aksi darurat harus segera dilaksanakan. Sebagaimana Rencana Aksi Darurat Penyelamatan [RAD] Populasi dan Habitat Badak Sumatera 2018-2021 telah ditetapkan Dirjen KSDAE, Wiratno, pada 6 Desember 2018, Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018.

Kita tidak berharap, dua jenis badak tersebut menyisakan kenangan sebagaimana yang terjadi di negara lain.

 

Referensi:

Blyth, E. A memoir on living Asiatic species of Rhinoceros. J. Asiatic Soc. 31: 151-175, Bengal, 1862.

 

*Haerudin R. Sadjudin, Peneliti badak senior, lebih 40 tahun terlibat program konservasi badak di Indonesia

 

 

Exit mobile version