Mongabay.co.id

Urusan Lingkungan, Melanie Subono Selalu Ada Waktu

 

 

Lingkungan, satwa dan alam liar, bukan barang baru bagi Melanie Subono. Sudah 15 tahun lebih, ia aktif kampanye yang tidak sekadar ucapan, tapi dibuktikan dengan turun langsung ke laut, pantai, juga hutan.

Awal Mei 2019, saya bertemu Melanie Subono, saat mengunjungi Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Apalagi kalau tidak melihat Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007. Sejak 2 November 2015, jantan ini sudah jadi penghuni tetap Suaka Rhino Sumatera [SRS], Way Kambas.

“Negara kita luar biasa kaya, harusnya kita bangga memiliki badak sumatera. Namun sayang, tidak semua masyarakat tahu, bagaimana mau peduli,” ujarnya waktu itu.

Badak sumatera merupakan satwa berstatus Kritis [Critically Endangered] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Satu dari lima spesies badak tersisa di dunia yag hidup di Bumi sejak 20 juta tahun silam.

Populasi Sumatran Rhino tidak lebih dari 100 individu, bahkan kurang. Persebarannya hanya di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL], Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], Taman Nasional Way Kambas [TNWK], dan Kutai Barat [Kalimantan Timur].

Baca: Hanya Badak Sumatera di Hati Mereka

 

Melanie Subono yang tidak asing dengan isu lingkungan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Apakah hanya badak yang mengusik kegelisahan Melanie? Tidak. Penyanyi rock n roll ini punya banyak waktu menengok gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], di Pusat Latihan Gajah [PLG] Way Kambas, Lampung.

Sebanyak 42 individu gajah, ada di sini. Sementara, sekitar 26 individu lain, disebar di empat Elephant Response Unit [ERU], di Resort Margahayu, Tegal Yoso, Bungur dan di Braja Harjosari.

“Gajah itu istimewa, pintar. Dia ini “ngeh” niat manusia. Gue gak pernah sekalipun disakiti. Selama niat kita baik, dia paham,” tuturnya, dalam perbincangan lanjutan di Jakarta.

Baca: Erin, Kisah Gajah Belalai Buntung yang Viral

 

Harapan, badak sumatera yang berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, perempuan kelahiran Hamburg, Jerman, mengunjungi CRU Serbajadi, Aceh Timur, Aceh, akhir Maret 2019. Sama, melihat langsung mamalia besar Sumatera.

“Taukah lo, gajah gak pernah lupa sama orang baik, teman, maupun musuhnya. Setelah gue belajar berkomunikasi dengan satwa, banyak hal yang gue pelajari. Terutama, berbagai kehidupan di Bumi. Mereka tidak pernah berniat jahat pada manusia, hanya manusia yang punya niat jahat pada hewan. Bukan kebalikannya,” tulis Melanie, di akun media sosialnya.

Baca: Seperti Manusia, Gajah Ingin Diperhatikan Kesehatannya

 

Salma, anak gajah sumatera yang dirawat di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Stop Elephant Cruelty, Stop Penyiksaan Gajah di Borobudur” adalah petisi yang dibuat Melanie, respon adanya wisata gajah di satu sudut Candi Borobudur. Wisata yang sesungguhnya bentuk kekejaman terhadap gajah, mengakibatkan adanya sejumlah kekerasan fisik maupun psikis. Mulai dari dipisahkan dari habitat alami dan rombongannya hingga dilatih bekerja sebagai hewan tunggangan.

“Selain ditunggangi memang bukan perilaku alami, pemberian beban di punggung gajah akan merusak tonjolan tulang. Di mana prinsip animal walfare yang dianut Indonesia?,” protes sang presenter.

Petisi di Change.org yang digagas April 2019 itu, sudah memperoleh 82 ribu tanda tangan. “Sebenarnya, yang aku kejar bukan jumlah. Buat apa sejuta juga kalau tidak guna. Pihak pengelola, bersedia audiensi pada 3 Juli 2019,” jelas Melanie melalui percakapan WhatsApp, 29 Juni 2019.

Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Gajah sumatera di Pusat Latihan Gajah Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rosek Nursahid, pendiri PROFAUNA, menyatakan kesannya tentang Melanie Subono, sebagai sosok aktif. Terjun langsung ke lapangan, terlibat kampanye lingkungan.

“Sudah lama, awalnya dikenalkan Slank yg sudah dukung PROFAUNA. Kalau Slank gabung PROFAUNA sejak 2002, Melanie sekitar 2003,” tuturnya, baru-baru ini.

Menurut Rosek, kita ingin banyak tipikal Melanie. Hal lain yang juga dibutuhkan dari selebritis Indonesia ke depan adalah dukungan fund rising. Di luar [USA], banyak yang bergerak, semisal Leonardo DiCaprio, Bono U2, dan lainnya. “Dengan begitu, masyarakat lebih mudah terpengaruh, peduli lingkungan hidup.”

Apakah efektif? Betul, jika artis tersebut membaur langsung, ikut jelajah hutan dan lainnya. Kalau sebatas ucapan, kurang greget, karena masyarakat [netizen] suka tergerak jika ada tindakan nyata. “Minimal menggemakan jagad maya,” ujarnya.

Baca juga: Suara Bergelora Robi “Navicula” di Bumi Hijau Indonesia

 

Candi Borobudur, situs bersejarah yang dinobatkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Wawancara Mongabay Indonesia dengan Melanie Subono.

Anda tidak asing dengan dunia konservasi?

Tidak asing. Saya orangnya suka belajar hingga mengerti. Saya paling sebel dengan diri sendiri bila ada yang tanya tapi tidak paham jawabannya. Nyemplung, nyebur sekalian.

Perampasan lahan, keterancaman tumbuhan dan satwa terus saya dalami. Konservasi ini sebagaimana saya menggeluti dunia buruh migran.

Awalnya, saya belajar konservasi dari PROFAUNA. Pelepasliaran orangutan yang sekarang ramai dilakukan, saya sudah mengenalnya sejak 15 tahun silam. Saya juga aktif di Bali Sea Turtle Society. Saya orang yang terus bergerak.

 

Tidak lelah? Atau makin asik kampanye lingkungan?

Setiap keliling Indonesia, hampir 20 tahun ini, saya selalu sempatkan melihat lingkungan sekitar, masyarakat lokal, dan sebagainya. Hingga saat ini, belum seperempat wilayah Nusantara yang saya kunjungi.

Banyak hal yang saya dapat. Indonesia itu keren, alamnya sungguh kaya. Ini yang membuat saya selalu semangat. Seperti orang yang haus sekaligus lapar…

Gak perlu jauh-jauh. Tiap kali baca Mongabay Indonesia, banyak hal baru yang saya menginspirasi. Keragaman hayati yang harus membuat kita percaya diri.

Ada hal sedih yang harus saya katakan, kadang, saya dapat info tentang Indonesia yang indah dan unik, justru dari bule-bule asing. Antara gemas, gelisah, atau terpukau mendengarnya.

Akhirnya saya berpikir, saya harus melakukan sesuatu untuk Indonesia.

 

Laut Indonesia yang begitu indah dengan segala isinya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Anda masuk hutan untuk melihat langsung gajah maupun orangutan. Apa yang dicari?

Saya ingin menyuarakan kehidupan mereka. Jadi, gak mungkin kan kalau gue woro-woro ternyata belum pernah lihat makhluk tersebut. Intinya, dari dulu saya memang suka satwa.

Mestinya, manusia belajar banyak dari gajah. Fakta-fakta yang saya baca menunjukkan, satwa berbelalai ini banyak manfaatnya untuk kehidupan kita, kecerdasan hingga sensitivitasnya.

Lihat saja, bila ada yang mati mereka berkumpul, dari yang jauh sekalipun. Hingga bikin upara alam sendiri, ala mereka. Ini luar biasa sekali.

Saya kadang merenung, tanpa manusia, satwa bisa hidup tenang. Tidak diburu, atau hutan tidak dirusak yang merupakan rumah mereka.

Manusia harusnya bijak, agar Bumi damai.

 

Kondisi masyarakat kita yang bangga melihat satwa ke luar negeri, ketimbang ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, pandangan Anda?

Gak keren aja menurut gue. I don’t know, fenomena apa ini. Sepertinya bukan hanya pada satwa tapi juga wisata. Kita senang buang uang puluhan juta Rupiah untuk ke Maldive, misalnya, padahal bule luar setengah mati ingin ke Indonesia. Urusan baju juga begitu, rela beli mahal demi merek terkenal.

Saya belajar dari Mas Ivan Slank, kata dia, kita masih terbelit gengsi. Budaya yang suka membandingkan dari segi negatif ini yang harus dibuang.

Harusnya, sifat bangga Indonesia yang kita tunjukkan. Kita punya gajah, badak, orangutan, rangkong, trenggiling, harimau, macan tutul, penyu, dan segala hal yang tidak dimiliki bangsa lain.

Melanie Subono gak akan pernah berhenti menyuarakan alam Indonesia yang penuh pesona. Gue akan terus bermusik, berkarya positif. Sampai kapan? Sampai Tuhan tidak butuh gue lagi.

 

Macan tutul jawa. Foto: Conservation International/BBKSDA Jawa Barat/Rawayan

 

 

Anda sudah bikin musik atau karya khusus alam Indonesia?

Musik saya selalu bicara tentang alam meski tidak langsung disebutkan. Lirik-liriknya selalu menyiratkan kekayaan Indonesia, menghargai apa yang kita miliki, sehingga bisa dinyanyikan di ranah apapun.

Di luar musik, saya mengajak sekaligus menyontohkan teman-teman untuk peduli lingkungan. Saya lakukan dari hal kecil yang bisa dan gampang. Minimal, berbuat.

Saya juga ikut mengharumkan Indonesia di luar negeri. Sebagai field commander tim DCI [Drum Corps Indonesia] di kejuaraan World Music Contest XVII-2013 di Kerkrade, Netherland, Juli 2013. Bangga jadi orang Indonesia berprestasi, merinding ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan.

Pemberian terindah Tuhan bernama Indonesia, harus kita jaga dan rawat sebaik mungkin. Seluruhnya.

 

Anda menjadi anggota tim ekspertise atau tim ahli, sebagaimana Ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebut. Apa karena Anda sering demo atau rajin kritik?

Menurut gue begini, jadi aktivis, 20 tahun lalu untuk selalu protes, itu memang kita lakukan. Saat itu, kita memang tidak diizinkan bersuara hingga era Reformasi 1998 datang.

Sekarang, kita punya hak bersuara. Jadi, kita jangan demo dan protes melulu, harus memberi solusi juga.

Meski begitu, saya tetap bilang ke Bu Siti, “Saya jadi ekspertise, tapi bila Ibu salah tetap saya demo.” Dia bilang boleh. Jadi, jarak kritis saya tetap ada, tanpa harus ikut partai, atau embel-embel lain.

Gue mau karena ingin belajar, menciptakan kondisi yang lebih baik. Meski, jalur pendidikan yang saya tekuni tidak menonjol, tidak ada apa-apanya.

 

Melanie Subono saat meriahkan acara Musika Foresta di Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Anda punya strategi kampanye untuk generasi milenial?

Saya terus ikut perkembangan kekinian. Saya selalu ingatkan pemerintah, NGO, dan pegiat lingkungan, generasi mudah harus dilibatkan. Kita tidak boleh arogan dengan mengabaikan mereka.

Ingat, generasi muda ini potensial. Kita harus menyesuaikan dengan gaya mereka. Kampanye yang paling berhasil adalah, kita tahu siapa sasaran spesifiknya.

Saya bikin kaos dengan tulisan “IM A PROUD INDONESIAN” bergambar gajah bagian depan. Saya ikuti tren warna. Pesan yang disampaikan juga tidak berat. Ini bagian kampanye.

Harapannya, peduli lingkungan jadi gaya hidup kita semua, keseharian.

 

 

Exit mobile version