Mongabay.co.id

Tangani Sampah Impor, Pemerintah akan Kuatkan Regulasi dan Penegakan Hukum

Sukri menjemur sampah plastik untuk bahan bakar membakar batu kapur. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Sampah impor dari negara maju yang membanjiri Indonesia jadi perhatian berbagai kalangan. Lima kontainer sudah dipulangkan ke negara asal karena ad muatan bahan berbahaya beracun. Pemerintah berupaya menguatkan regulasi dan akan lakukan penegakan hukum bagi para pelanggar.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, dalam penyelesaian sampah negeri pun, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah.

Di tengah upaya meminimalkan pencemaran ini, katanya, Indonesia dihujani sampah impor dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Kepulauan Marshal, Australia dan lain-lain.

Baca juga : Kenapa Rencana Impor Sampah Plastik Harus Dilarang?

Modusnya, sampah masuk melalui perusahaan yang telah mengantongi persetujuan impor bahan baku kertas. Tak disangka, kontainer impor plastik itu berisi sampah rumah tangga hingga limbah B3.

Untuk itu, penegakan hukum pun perlu sekaligus pembinaan terhadap dunia usaha.

”Saya kira, yang jadi penting langkah selanjutnya, tegas dengan standar apa (limbah) yang benar-benar dilarang atau tidak,” katanya, dalam pembukaan Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pekan lalu.

 

Sampah bekas kemasan minuman jus buah produksi Amerika. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Ditjen PSLB3 KLHK, untuk Surabaya terdapat 76 kontainer mengandung limbah B3, lima kontainer asal Amerika sudah re-ekspor. Delapan kontainer asal Australia, katanya, sudah KLHK rekomendasikan untuk reekspor.

Ada 20 kontainer dari Jerman dan 38 kontianer Amerika baru selesai pemeriksaan 4 Juli lalu dan rekomendasi reekspor. Lima kontainer lain masih dalam pemeriksaan.

Baca juga: Setelah Surabaya, Pemerintah akan Kembalikan Sampah di Batam ke Negara Asal

Hasil pemeriksaan di Batam, terdapat 65 kontainer, 49 kontainer harus reekspor, antara lain 26 kontainer asal Amerika, satu kontainer Australia, 11 kontainer dari Hongkong, 9 kontianer asal Jerman dan dua kontainer Perancis.

Untuk Banten, terdapat 15 kontainer asal Kepulauan Marshal dinyatakan bersih.

”Pada dasarnya Undang-undang 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, itu jelas banget kalau dilarang memasukkan sampah di wilayah teritori Indonesia,” kata Siti.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah B3 KLHK menyebutkan, agar sampah B3 tak kembali masuk Indonesia perlu ada penegakan hukum. ”Rekomendasi impor dari KLHK, kalau secara berulang kali ya akan kita cabut. Kalau izin impor tetap di Kemendag,” katanya.

KLHK pun sedang mengkaji upaya hukum lain dalam memberikan efek jera bagi para pelaku. Meski dia akui, ada kendala kalau pidana soal alat bukti harus tinggal di tempat.

“Memang, harus ada penegakan hukum, ini sedang kami pikirkan bagaimana mekanismenya. Menggunakan UU 32/2009 dan UU 18/2018 bisa karena jelas dilarang memasukkan limbah B3 ke Indonesia,” katanya.

Untuk sampah ekspor yang sudah terlanjur keluar dari kontainer dan berada di lahan masyarakat, kata Vivien, proses bisa melalui Ditjen Penegakan Hukum karena dianggap mencemari lingkungam.

 

Rumusan jelas

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, peran masyarakat penting dalam pengendalian masalah sampah ini. Pasalnya, persoalan sampah di Indonesia, makin nyata dan kompleks.

Wapres, kata Siti, berpesan untuk merumuskan dengan lebih spesifik impor sampah dan limbah b3. ”Kita perlu detailkan betul agar ada kepastian bagi dunia usaha dan kepentingan lingkungan juga.”

Kalau sampah ini jadi bahan baku industri dalam negeri, kata Siti, perlu ada definisi jelas jenis sampahnya, pada tingkatan limbah serta kemurnian untuk bahan baku itu.

 

Sampah kertas dan plastik impor menumpuk di depan rumah warga. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Sayid Muhadhar, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun dan Berhaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, saat ini revisi Permendag Nomor 31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya, sudah di Kementerian Perdagangan.

”Kita sudah memberikan masukan, bolanya ada disana.

Poin dari revisi itu, katanya, memperbaiki bagian lampiran soal penjelasan kode perdagangan (HS Code) “dan lain-lain” dan “mix atau campuran.” Awalnya, HS Code ini, katanya, memiliki banyak makna. Dia berharap, melalui revisi akan mendetailkan HS Code agar pendefinisian tidak membingungkan.

”Kita akan atur apa yang boleh dan tidak, jangan sampai ‘dan lain-lain’ jadi banyak daripada utamanya.”

Sayid memastikan, revisi permendag ini akan makin memperketat izin impor bahan baku kertas.

Selama ini, limbah bahan baku masuk dalam kategori HS Code “dan lain-lain.” Pendefinisian secara lebih konkrit pada poin tertentu, belum ada pembahasan.

 

***

Sampah-sampah yang diimpor oleh perusahaan ini, ada yang ‘jatuh’ ke tangan masyarakat dan menjadi sumber pencarian, seperti terjadi di Desa Bangun, Mojokerto. Ditjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, beberapa pekan lalu inspeksi ke lapangan.

”Masyarakat dapat uang, sampah ga dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir-red), ada yang menjadi bahan bakar industri tahu. Yang jadi permasalahan itu sekarang, yang dilakukan adalah sampah impor,” kata Vivien.

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton, membenarkan kalau warga memanfaatkan sampah impor itu. ”Ini easy money buat mereka. Pagi dijemur, siang bisa jual. Daripada menunggu tiga bulan buat padi, mendingan jadi petani plastik,” katanya.

Dalam jangka pendek, ini menguntungkan bagi masyarakat. Secara jangka panjang akan jadi petaka bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Keuntungan cepat yang mereka dapatkan, tidak sebanding dengan dampak lingkungan.

Prigi mencontohkan, untuk di Gresik, Jawa Timur, banyak masyarakat alih profesi menjadi pengepul dan penjual sampah plastik.

Sekitar 5-30% dari impor sampah kertas diisi sampah plastik ilegal. Biasanya, sampah plastik ilegal yang tak bisa terpakai dijual kepada masyarakat dengan harga rendah. Tujuannya, buat memilah sampah dan membantu mengeluarkan sampah dari areal pabrik. Biasanya, proses ini melibatkan tokoh masyarakat hingga pejabat di daerah.

“Mereka dapat Rp150.000-Rp200.000 per hari. Itu bisa dua hari sekali. Maka warga meninggalkan pekerjaan mereka dari petani jadi pengepul dan jual sampah.”

Dwi Sawung, juru kampanye perkotaan dan energi Walhi juga meminta pemerintah hentikan impor sampah apapun.

“Sampah kita lebih dari cukup untuk dikelola.”

Dari lima kontainer sampah yang sudah dibongkar, kata Sawung, tak bisa dilacak karena pengirim tak memberikan identitas kode barang dari mana.

Tak jelas juga, katanya, benarkan sampah kembali ke negara pengirim atau ke negara lain. Beberapa negara seperti Kanada menyatakan tak mau menerima kembali sampah mereka karena menganggap ini urusan perusahaan pengolah sampah.

Dengan pengalaman ini, Walhi meminta pemerintah tak perlu menerima lagi impor sampah dalam bentuk apapun karena kode yang diberikan sangat umum.

“Paling sial, kalaupun harus impor, harus sampah yang sudah tercacah dalam bentuk tertentu, misal, HDPE. Atau jangan ambil risiko terima barang yang tidak bisa kita kelola,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama:    Sukri menjemur sampah plastik untuk bahan bakar membakar batu kapur. Sampah-sampah ini adalah sampah impor. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version