Mongabay.co.id

Poros Investasi, Penggeser Poros Maritim

 

Keberlanjutan visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim di dunia yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo saat memulai masa jabatan pada 2014 silam, kini dipertanyakan sejumlah kalangan. Pada periode kedua masa jabatan yang akan dijalani Joko Widodo mulai 2019 hingga 2024, tidak terlihat ada penegasan khusus terhadap visi poros maritim.

Penilaian itu diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada Kamis (18/7/2019). Poin penilaian tersebut keluar, setelah pada Minggu (14/7/2019) lalu, Jokowi membacakan pidato lima pembangunan prioritas yang akan dijalankan pada lima tahun ke depan. Dalam lima prioritas tersebut, tak ada pernyataan khusus tentang pembangunan di sektor kemaritiman dan kelautan.

Adapun, kelima prioritas yang dibacakan pada pidator Jokowi, adalah pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, mengundang investasi seluas-luasnya, melakukan reformasi birokrasi, dan menjamin penggunaan anggaran pendapatan belanja nasional (APBN) yang fokus dan tepat sasaran.

“Tapi, minum komitmen visi poros maritim dunia,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati.

baca :  Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses?

 

Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana berjalan menyisir pantai di Pulau Rinca, kawasan Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, NTT, Kamis (11/7/2019) pagi. Foto: Humas Setkab/Mongabay Indonesia

 

Ketiadaan visi poros maritim dunia tersebut, bagi dia sangatlah aneh. Mengingat, saat memulai masa jabatan periode pertama sebagai Presiden RI pada 2014, Jokowi justru menjadikan visi poros maritim dunia sebagai pijakan utama. Padahal, keberlanjutan dari visi tersebut sangat penting pada periode kepemimpinan yang kedua dari 2019 hingga 2024.

Susan menerangkan, sebagai negara kepulauan yang memiliki sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat kaya serta melimpah, Jokowi seharusnya menempatkan poros maritim dunia sebagai agenda pembangunan prioritas penting dalam masa jabatannya yang kedua. Cara untuk bisa menerapkan itu, di antaranya adalah dengan melindungi dan memberdayakan nelayan, serta masyarakat pesisir lainnya.

“Sebagai pilar utama poros maritim sekaligus melindungi ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dari industri ekstraktif dan eksploitatif,” tuturnya.

Akan tetapi, saat harapan tersebut melambung tinggi, Susan menyebutkan, Jokowi justru menggunakan diksi kekerasan seperti kata ‘hajar’ untuk memuluskan ambisinya yang dijabarkan dalam lima program prioritas. Diksi tersebut, tidak saja makna meniadakan perlindungan yang seharusnya diberikan Negara kepada masyarakat pesisir, namun juga menjadi penegas adanya perlindungan kepada para pengusaha.

baca juga : KIARA: Membangun Kemaritiman itu Tak Melulu dengan Infrastruktur

 

Presiden Joko Widodo disaksikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (kiri) dan Gubernur Sulsel Yasin Limpo (belakang) meresmikan dan mengunjungi Pelabuhan Perikanan Untia yang berlokasi di kawasan Industri Makassar (KIMAH). Foto : Humas KKP

 

Poros Investasi

Diksi yang mengandung makna kekerasan tersebut, menurut Susan, diutarakan Jokowi dalam pidatonya, untuk menegaskan bahwa dia sangat ingin membangun Indonesia secara fisik. Dengan demikian, siapa saja yang berusaha menghalangi upaya pembangunan tersebut, maka Jokowi tanpa segan akan menertibkannya dengan segera.

“Inilah wajah sesungguhnya pemerintah Jokowi. Menggunakan cara apapun, termasuk kekerasan demi memuluskan investasi. Sejak awal, ini berlawanan dengan konstitusi Republik Indonesia,” ungkap dia.

Alih-alih untuk mendorong kedaulatan dan kemandirian bangsa sebagai poros maritim, KIARA mencatat sepanjang 2018 justru muncul proyek-proyek ekstraktif dan eksploitatif yang dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi. Proyek-proyek itu contohnya, adalah reklamasi, tambang, ekspansi perkebunan sawit, dan pariwisata yang sangat cepat dilaksanakan dan merampas ruang hidup dunia, terutama masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K).

Menurut Susan, fakta yang sudah terlihat dalam masa kepemimpinan Jokowi pada periode pertama tersebut, menegaskan bahwa arah kebijakan Pemerintahan Jokowi pada periode kedua 2019-2024 tidak akan jauh berbeda. Dan karenanya, tidak heran jika kebijakan poros maritim ditiadakan dan bergeser menjadi poros investasi.

“Yang bisa meminggirkan masyarakat bahari dari ruang hidupnya,” tegasnya.

perlu dibaca : Seperti Apa Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Kedaulatan Maritim?

 

Kondisi bangunan tempat pelelangan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ukurlalan, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Pelabuhan ini rencananya akan digunakan sebagai bagian dari Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Saumlaki, Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Susan kemudian memaparkan, di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Pemerintah memiliki tugas sebagia berikut: pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum; Kedua, mencerdaskan kehidupan berbangsa; Dan ketiga, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Ketiga mandat konstitusi tersebut, sebutnya, seharusnya menjadi visi Pemerintahan Jokowi dan sekaligus menjalankannya selama lima tahun ke depan. Mandat tersebut sangat kuat karena dasarnya dari UUD 1945, dan berbanding terbalik dengan visi poros investasi yang tidak berdasar pada konstitusi apapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam konteks kelautan dan perikanan, Susan menambahkan, pada periode kedua seharusnya Jokowi memprioritaskan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir yang merupakan pahlawan protein bangsa, dengan cara menjalankan mandat UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Jika berpihak terhadap kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, Jokowi harus jalankan mandat UU No.7/2016. Jika enggan dan lebih berpihak terhadap investasi, maka pemerintah Jokowi melawan konstitusi,” pungkasnya.

menarik dibaca : Harapan Masyarakat Pesisir untuk Presiden dan Wakil Presiden Baru

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Isu Pinggiran

Pemerhati Sektor Kemaritiman dan Kelautan Abdul Halim, kepada Mongabay, Rabu (17/7/2019) mengataka, periode kedua kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden akan semakin menegaskan arah kebijakan untuk investasi. Kalaupun dalam pidato resmi Jokowi ada prioritas pembangunan sumber daya manusia, itu juga hanya akan menjadi isu pinggiran saja selama lima tahun ke depan.

Menurut Halim, yang menjadi perhatian utama Jokowi adalah bagaimana menggenjot infrastruktur yang sudah ditandatangani perjanjiannya, baik itu bersama investor asing ataupun dalam negeri. Prioritas tersebut, yang membuat dia mengeluarkan pernyataan bahwa siapapun yang berusaha menghalangi investasi, maka akan dihajar.

“Istilah itu kemudian yang menjadi resonansi di kalangan intelektual, baik akademisi, LSM maupun masyarakat terkejut. Karena ini seolah-olah tidak memberikan perlindungan dalam upaya membangun sumber daya manusia, tetapi justru melegalkan segala cara untuk melegitimasi proyek infrastruktur yang sudah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan investor asing,” paparnya.

Dengan kondisi seperti itu, Halim melihat bahwa isu kemaritiman, termasuk kelautan dan perikanan di dalamnya, di masa mendatang tidak lebih dan kurang hanya menjadi sebatas isu untuk memperbanyak proyek saja. Selain itu, juga tidak ada upaya untuk melihat seberapa besar manfaat yang bisa didapatkan oleh masyarakat pesisir, dalam hal ini adalah tingkat kesejahteraan, tingkat keberlanjutan sumber daya ikan, dan seterusnya.

Menurut Halim, kalaupun sektor kemaritiman di masa kepemimpinan Jokowi periode kedua dinilai nanti ada kemajuan, itu juga hanya terbatas pada pembanguan fisik saja tanpa ada kejelasan manfaat bagi masyarakat pesisir. Misalnya, selama 2019-2024 ada banyak pelabuhan yang dibangun, itu juga tidak ketahuan manfaatnya untuk masyarakat pesisir.

“Yang terjadi justru bangunannya tidak terpakai, tidak adanya dukungan seperti pasokan listriknya, akses transportasinya, dan lainnya. Ini yang berakibat pada terbuangnya anggaran kelautan dan perikanan secara cuma-cuma dan menimbulkan beban bagi masyarakat. Belum lagi kalau kita bicara terkait proyek kapal yang dijalankan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” sebut dia.

Halim menerangkan, apa yang sudah dikerjakan lima tahun yang lalu, lazimnya harus dilakukan evaluasi yang menyeluruh apa yang menjadi kelemahan dan kekuatan. Apa yang menjadi kekuatan kemudian ditingkatkan dayanya, dan yang jadi kelemahan kemudian diperbaiki. Kata dia, salah satu masalah yang menjadi halangan utama dalam upaya mewujudkan kemandirian industri perikanan nasional, baik dari skala kecil, menengah, maupun besar, adalah ketidakpastian usaha yang sangat tinggi.

“Yang justru diciptakan oleh pemerintah sendiri, dalam hal ini KKP,” ungkap dia.

Menurut Halim, selama ini banyak aturan yang boleh jadi bagus, tapi momentumnya tidak baik dan tidak didahului komunikasi yang baik antar pelaku kepentingan. Dalam hal ini antara Pemerintah dengan pengusaha, dan masyarakat nelayan, dan itu yang berulangkali terjadi. Untuk itu, dia berharap pada periode 2019-2024 semua itu tidak lagi terulang. Tetapi, jika melihat pidato resmi Jokowi, harapan itu akan sulit terwujud.

“Sepertinya terus akan berulang seperti ini, ketidakpastian akan terus terjadi,” tegasnya.

 

Exit mobile version