- Percepatan pembangunan industri perikanan nasional yang dicanangkan Pemerintah Indonesia pada 2016, hingga saat ini masih belum terwujud. Keterlambatan itu mengakibatkan para pekerja di sektor perikanan sampai saat ini masih belum mendapatkan level kesejahteraan yang diharapkan
- Tanpa ada perlindungan yang kuat, pekerja perikanan juga terancam untuk selalu terjerat dalam permasalahan yang terjadi di atas kapal perikanan. Mereka tak lagi hanya terancam tidak sejahtera, namun juga tidak bisa bebas dari jeratan hukum
- Upaya Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kesejahteraan pekerja perikanan dimulai pada 2017 dengan rencana melakukan ratifikasi Konvensi ILO 188 (C188). Sayangnya, rencana tersebut batal diwujudkan, karena ada perselisihan paham antar kementerian berkaitan dengan kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pekerja perikanan
- Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru, diharapkan bisa menjadikan masyarakat pesisir sebagai subjek utama pembangunan, dan bukan sebagai objek pembangunan. Dengan demikian, harapan untuk tidak terjadinya perampasan ruang hidup bisa terwujud
Upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembangunan industri perikanan nasional yang sudah dicanangkan pada 2016, hingga saat ini dinilai masih berjalan di tempat. Bahkan, untuk kesejahteraan pekerja perikanan, baik yang bekerja di sektor perikanan tangkap maupun pengolahan, hingga saat ini dinilai masih jauh dari harapan.
Penilaian itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurut dia, selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan ataupun program strategis untuk membangun industri perikanan. Akan tetapi, beragam program dan kebijakan itu nyatanya masih belum mampu untuk mewujudkan percepatan.
Padahal, Susan mengatakan, Presiden RI Joko Widodo sudah menerbitkan Peraturan Presiden No.3/2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional yang menjadi tindak lanjut dari Instruksi Presiden No.7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
“Keinginan Pemerintah dalam memajukan sektor perikanan Indonesia juga terlihat dalam salah satu pidato Presiden Joko Widodo di tahun 2014 dengan tujuannya untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘Poros Maritim Dunia’,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.
baca : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?
Mandeknya industrialisasi pada sektor perikanan, menurut Susan, tidak lain karena selama beberapa tahun ini Pemerintah Indonesia masih memilih orientasi keuntungan ekonomi saat melaksanakan pembangunan di sektor tersebut. Sementara, di saat yang sama, Pemerintah mengabaikan hak pekerja sektor perikanan untuk mendapatkan kesejahteraan setinggi-tingginya.
“Tidak membangun kesejahteraan bagi pekerja yang ada di sektor perikanan tangkap atau pengolahan,” tuturnya.
Fakta tersebut, menurut Susan cukup aneh. Mengingat, jumlah buruh yang bekerja pada sektor perikanan jumlahnya paling sedikit sudah mencapai 12 juta orang. Tetapi, dari jumlah tersebut, pekerja yang sudah mendapat sertifikat baru mencapai 44.300 orang saja.
Padahal, dengan latar belakang mereka yang berasal dari kelompok masyarakat menengah ke bawah dan tingkat pendidikan yang rendah, pekerja perikanan dinilai sangat rentan terjerat pelanggaran hukum. Kerentanan tersebut membuat pekerja perikanan menjadikan pelanggaran ketenagakerjaan yang ada pada sektor perikanan menjadi sangat masif dan terstruktur.
Jeratan Hukum
Susan menyebutkan, dari laporan Kementerian Luar Negeri Indonesia, sepanjang periode 2010-2015, Pemerintah Indonesia membantu 2.368 nelayan Indonesia di luar negeri yang telah mengalami kejahatan terkait illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing. Mereka terjerat kasus perselisihan perburuhan, penyelundupan manusia, perdagangan manusia, penangkapan ilegal, dan penyalahgunaan narkoba.
“Masing-masing sebanyak 1.148 kasus, 833 kasus, 287 kasus, 94 kasus, dan 6 kasus,” ucap dia.
Meski jumlahnya tidak sedikit, Susan mengatakan kalau laporan tersebut hanya sebagian kecil saja dari kasus lain yang menimpa pekerja di sektor perikanan. Kasus-kasus yang tidak tercatat, sebagian besar adalah pelanggaran hak ketenagakerjaan dan hak asasi manusia (HAM) yang diterima pekerja perikanan.
Menurut Susan, kondisi tersebut menjelaskan bahwa perlindungan pekerja perikanan hingga saat ini masih belum cukup baik. Mesikpun, kebijakan perburuhan sudah lama disahkan oleh Negara, seperti Undang-Undang No.21/2000 tentang Serikat Pekerja, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Ironisnya, implementasi dari pemenuhan hak-hak pekerja masih sangat minim,” tutur dia.
baca juga : Nelayan dan Masyarakat Pesisir Terdampak Perubahan Iklim?
Minimnya pemenuhan hak pekerja perikanan sendiri, bagi Susan seharusnya menjadi perhatian dari Pemerintah Indonesia. Terlebih, sejak setahun terakhir, Negara berkeinginan untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (C188) untuk memperbaiki kesejahteraan pekerja di sektor perikanan tangkap. Namun sayangnya, upaya tersebut terganjal karena ada perselisihan antar kementerian terkait.
Perselisihan itu, menurut Susan, berkaitan dengan isu pelanggaran hak pekerja di sektor perikanan tangkap dan itu berdampk pada penundaan proses ratifikasi C188. Apa yang terjadi tersebut, di mata Susan menjadi bentuk kemunduran Pemerintah Indonesia karena masih belum bisa memperbaiki kesejahteraan pekerja perikanan.
Sementara, di saat yang sama, kata Susan, Thailand justru berhasil melakukan ratifikasi C188 pada awal 2019. Langkah negeri Gajah Putih tersebut menjadikan mereka sebagai satu-satunya negara dari kawasan Asia Tenggara yang berani melakukan ratifikasi Konvensi ILO 188.
“Tetapi, Pemilihan Presiden baru selesai dilaksanakan dan itu memberikan angin baru untuk mensejahterakan pekerja perikanan,” sebut dia.
Agar harapan itu bisa tetap terpelihara, KIARA mendesak pada Pemerintahan yang baru untuk bisa:
- Menyelesaikan tumpang tindih kepentingan antar kementerian dan menyegerakan proses ratifikasi Konvensi ILO No.188/2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No.199/2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perikanan;
- Memerintahkan kepada Menteri Ketenagakerjaan menghentikan praktik- praktik hubungan industrial outsourcing dan kerja kontrak yang ada di dalam sektor pengolahan perikanan yang hanya akan melanggengkan praktek perbudakan tanpa ada hubungan kerja seimbang antara pekerja dan pengusaha;
- Memperketat pengawasan terhadap industri perikanan yang banyak mempekerjakan pekerja perikanan di sektor perikanan tangkap;
- Memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum pidana perburuhan di Indonesia, seperti melakukan pemberangusan serikat buruh, tidak membayar upah kerja, membayar upah dibawah standar regional, dst.
perlu dibaca: Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir
Masyarakat Pesisir
Selain desakan di atas, Susan juga mendesak agar Presiden dan Wakil Presiden yang baru nanti bisa memprioritaskan masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir di Indonesia dalam pembangunan pesisir. Dari catatan KIARA, saat ini diketahui ada sebanyak 8.077.719 rumah tangga yang tinggal di 12.827 desa pesisir di seluruh provinsi.
“Mereka adalah produsen perikanan terbesar di Indonesia. Di antara kontribusi penting mereka adalah menghadirkan ikan ke meja makan, sehingga masyarakat Indonesia dapat menikmatinya setiap saat,” jelas dia.
Menurut Susan, angka konsumsi ikan di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, karena masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional, terus bekerja memberikan suplai ikan untuk masyarakat Indonesia. Data KKP pada 2018, mencatat konsumsi ikan masyarakat Indonesia sudah mencapai 50,69 kilogram per kapita.
Dengan kontribusi yang begitu besar, Susan mendesak kepada pemimpin Indonesia yang baru nanti untuk menjadikan masyarakat pesisir sebagai subjek utama pembangunan. Selain itu, pimpinan yang baru juga harus memastikan kehidupan mereka bebas dari perampasan ruang hidup, baik di tanah maupun lautnya.
“Presiden dan Wakil Presiden terpilih wajib melindungi ruang hidup mereka,” tegas dia.
Desakan tersebut diungkapkan, karena Susan menyebutkan, KIARA sudah mencatat sepanjang empat tahun terakhir dan menunjukkan kalau masyarakat pesisir seringkali menjadi korban kebijakan pembangunan. Dia mencontohkan, pembangunan proyek reklamasi di 42 titik, pembangunan proyek pariwisata di sejumlah kawasan pesisir dan pulau- pulau kecil, serta proyek pertambangan di 26 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk itu, KIARA mendesak Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sebagai panduan dalam merumuskan kebijakan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan dalam lima tahun mendatang.
“Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 memberikan mandat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk melindungi hak-hak masyarakat pesisir beserta ruang hidup mereka. Sementara itu, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan kepada Pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam dengan cara-cara yang adil dan berkelanjutan,” pungkas dia.