Mongabay.co.id

Absennya Keberlanjutan dalam Pidato Jokowi

 

Absennya Beberapa Isu Penting

Presiden Republik Indonesia 2014 – 2019 dan Presiden Terpilih Republik Indonesia 2019 – 2024 Joko Widodo telah menyampaikan pidato politik berjudul Visi Indonesia Minggu malam, 14 Juli 2019 lalu di Sentul. Pemilihan waktu pidato itu tak bisa lebih baik lagi, lantaran pada pagi hingga siang harinya, Jokowi telah bersua dengan Prabowo, rivalnya dalam Pilpres 2019. Pertemuan itu menunjukkan berakhirnya ketegangan para elit politik dari kedua kubu, sehingga pidato politik Jokowi sebagai pemenang menjadi benar-benar terasa legitimasinya.

Pidato itu sendiri ringkas. Isi pokoknya ada lima: pembangunan infrastruktur akan terus dilanjutkan, pembangunan SDM akan menjadi prioritas tertinggi, undangan seluas-luasnya terhadap investasi yang membuka lapangan kerja, reformasi birokrasi, dan jaminan APBN yang tepat sasaran untuk ekonomi rakyat dan kesejahteraan. Banyak yang memuji pidato tersebut—terutama mereka yang hadir langsung dan ditanya segera setelah pidato itu—namun tak sedikit yang menyatakan kekhawatiran kekecewaan.

Kekhawatiran dan kekecewaan ini misalnya datang dari kelompok-kelompok yang merasa bahwa apa yang menjadi bidang yang diperjuangkannya selama ini ternyata tidak disinggung oleh Jokowi. Para penggiat HAM misalnya. Mereka melihat bahwa sepanjang kekuasaan Jokowi 2014 – 2019, urusan penting ini tak kunjung selesai. Bukan saja pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tidak sempat dibereskan, (dugaan) pelanggaran HAM berat baru juga terjadi. Mereka yang bergiat di reformasi hukum pun demikian. Persoalan-persoalan hukum masih banyak ditemukan di sepanjang pemerintahan pertama Jokowi, tetapi tak ada komentar soal hukum di pidato politik itu.

Begitu juga dengan pegiat kebencanaan dan keberlanjutan. Mereka mengeluhkan tidak disinggungnya sama sekali dua hal yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia itu. Sebagai negeri dengan tingkat bencana yang tinggi, sudah sepantasnya ada komitmen untuk membuat Indonesia menjadi tangguh dalam menghadapi bencana. Juga, sebagai negeri yang ingin masyarakatnya tidak sekadar memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik, maka aspek sosial dan lingkungan perlu mendapatkan perhatian dalam pidato Jokowi.

Tetapi pidato ringkas itu memang tak bisa memuat seluruh hal. Isu-isu besar yang seharusnya disinggung—kalau menggunakan political correctness sebagai kacamata—ternyata luput dari perhatian Jokowi, dan kini mendapatkan sorotan dari banyak pihak. Komentar-komentar tertulis banyak yang sudah muncul di berbagai media massa, dan lebih banyak lagi yang muncul di media sosial. Di media massa, tentu sifatnya lebih analitik; tetapi di media sosial banyak yang sekadar nyinyir, atau bahkan mulai memicu serangkaian fitnah dan ujaran kebencian.

baca : Pesan Kepada Jokowi soal Investasi

 

Jokowi saat kampanye Pilpres di Jakarta. Sumber: Jokoway.com

 

Sudut Pandang Keberlanjutan

Kalau mau melakukan analisis atas pidato Jokowi dari sudut pandang keberlanjutan misalnya, tampak jelas bahwa bolong besar ada pada aspek sosial dan lingkungan. Pendekatan Five Capitals yang diperkenalkan oleh Jonathon Porritt menyatakan bahwa ada lima modal yang diperlukan oleh masyarakat agar menjadi sejahtera dalam jangka panjang (berkelanjutan), yaitu modal insani (kesehatan dan pendidikan), modal finansial, modal fisikal (infrastruktur), modal sosial, dan modal natural. Seandainya Jokowi menyusun lima butir pokok pidatonya berdasarkan lima jenis modal ini, maka para aktivis keberlanjutan pasti akan memuji-mujinya.

Sayangnya, tidak demikian. Butir pertama pidatonya menyangkut modal infrastruktur. Butir kedua terkait dengan modal insani. Butir ketiga dan kelima menyangkut modal finansial. Butir keempat bisa dinyatakan sebagai persyaratan untuk berjalannya pemerintahan yang bersih dan efektif, yang membuat berbagai jenis modal itu bisa dikelola dengan baik. Jokowi belum menyentuh modal sosial dan modal natural. Tentu saja, bagi yang mengamini pandangan Porritt, ada bolong besar dari pidato tersebut.

Tetapi, untuk adilnya, menjelang akhir pidatonya, Jokowi menyatakan “Pancasila adalah rumah kita bersama, rumah bersama kita sebagai saudara sebangsa! Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila! Yang mempermasalahkan Pancasila! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak mau ber-Bhinneka Tunggal Ika! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak toleran terhadap perbedaan! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak menghargai penganut agama lain, warga suku lain, dan etnis lain.” Walaupun tidak dinyatakan sebagai lima butir pokok pidatonya, sesungguhnya Jokowi sudah memasukkan modal sosial di dalam pidato itu.

Hal ini menyisakan satu lagi modal yang tidak disebutkan: modal natural. Dan hal ini sangatlah mengkhawatirkan, lantaran banyak catatan yang belum menggembirakan dalam persoalan ini. Sepanjang memerintah, Jokowi memang meneruskan kebijakan moratorium hutan, menurunkan kasus kebakaran hutan dan lahan, menyeret perusak lingkungan ke meja hijau dengan vonis paling berat yang pernah ada, mengeluarkan kebijakan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan meluncurkan Low Carbon Development Initiative (LCDI). Artinya, ada banyak prestasi terkait aspek lingkungan yang sebetulnya bisa dibanggakan.

Dengan tidak disebutkannya aspek lingkungan, banyak pihak kemudian berpikir bahwa Jokowi akan tidak memedulikan lingkungan ketika membangun infrastruktur, dan memprioritaskan investasi dibandingkan kelestarian ekosistem. Pembangunan infrastruktur yang masif dan investasi yang meningkat memang kerap mengorbankan modal natural yang dimiliki oleh sebuah bangsa—walau tidak harus dan tidak selalu demikian.

Banyaknya kasus pembangunan infrastruktur dan investasi yang berdampak negatif pada lingkungan di Indonesia sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi membuat kekhawatiran itu memang beralasan. Beberapa hari sebelum pidato itu, kedongkolan Jokowi soal lambatnya perizinan investasi—yang sesungguhnya sudah banyak dia pangkas waktunya—diungkapkan dengan diksi “tutup mata” bagi pemberian izin yang sifatnya pro-ekspor dan substitusi impor, menambah kekhawatiran banyak pihak. Penyebutan pembangunan infrastruktur sebagai butir pertama dalam pidato, semakin membuat khawatir.

baca juga : Poros Investasi, Penggeser Poros Maritim

 

Presiden Joko Widodo melakukan penanaman bibit mangrove setelah melakukan penebaran benih udang sebagai tanda peresmian beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/17). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Itu Cuma Pidato Politik

Walaupun kekhawatiran-kekhawatiran itu beralasan, mungkin mereka yang melancarkan kritik terhadap pidato politik Jokowi ini terlampau bersemangat sehingga melihat pidato ini secara tidak proporsional. Pidato itu seperti dianggap sebagai panduan pembangunan sepanjang lima tahun ke depan, dan karenanya apa yang absen dari pidato tersebut dianggap sebagai hal-hal yang tidak akan diurus dengan serius oleh Jokowi.

Mereka yang mengajukan kritik mungkin beranggapan bahwa Jokowi akan memerintahkan pelanggaran hukum—apalagi isu ini tak disebut sama sekali—demi infrastruktur dan investasi. Tetapi apakah ini masuk akal keluar dari seorang Presiden RI yang telah mengeluarkan beragam kebijakan dan regulasi seperti KLHS, TPB dan LCDI? Apalagi, Jokowi jugalah yang membuat RPJMN 2020-2024 yang banyak dilabel sebagai RPJMN Hijau pertama dalam sejarah Indonesia?

Agaknya, seluruh warga Indonesia memang perlu untuk menempatkan pidato politik tersebut secara proporsional. Hal yang akan terjadi adalah masuknya Visi dan Misi presiden dan wakil presiden terpilih ke dalam dokumen pembangunan resmi yang sudah ditetapkan. Dan, apabila Visi dan Misi Jokowi dan Ma’ruf Amin diperiksa secara mendalam, maka kekhawatiran akan jauh berkurang, karena sesungguhnya banyak hal yang tidak diucapkan dalam pidato politik tersebut ternyata sudah dicantumkan dalam dokumen yang ikatan politik, kebijakan, maupun regulatorinya lebih tinggi dibandingkan pidato itu.

Ketika hendak maju menjadi peserta kontestasi Pilpres 2019, pasangan tersebut telah mengirimkan dokumen Visi dan Misi yang pada butir keempat misinya menyatakan dengan tegas “Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan.” Di bawah misi tersebut, ada tiga strategi yang diajukan, yaitu: pengembangan kebijakan tata ruang yang terintegrasi; mitigasi perubahan iklim; dan penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Di bawah ketiga strategi itu, ada program-program yang diajukan.

Program-programnya sendiri sudah menyentuh banyak isu lingkungan yang sangat penting. Pada strategi ketiga, misalnya, urusan sampah plastik sudah disebutkan, termasuk dukungan untuk industri pengolahannya. Tetapi, misi keempat itu sama sekali tidak menyebutkan adaptasi—hanya mitigasi sebagai strategi kedua—perubahan iklim. Padahal, perubahan (lebih tepatnya: krisis) iklim sudah terjadi, sehingga seharusnya menjadi penting untuk muncul di tingkat strategi.

Oleh karenanya, tugas yang jauh lebih penting dibandingkan mengomentari isi pidato politik adalah memastikan bahwa visi, misi, strategi dan program yang diajukan oleh pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin itu masuk ke dalam RPJMN 2020-2024, dan mengawasi dengan lekat janji-janji yang termaktub di dalamnya. Pemastian itu adalah tugas yang lebih berat lantaran membutuhkan ketekunan dan akses terhadap pembuatan kebijakan. Sementara, pengawasan adalah pekerjaan yang akan berlangsung sepanjang periode kekuasan kedua Jokowi.

menarik dibaca : Curhat soal Debat (Pilpres)

 

Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Sumsel dan Bupati OKI saat meninjau langsung lahan gambut yang terbakar milik PT. Tempirai, Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, September 2015. Foto: Humas Pemkab OKI

 

 

Dari sudut pandang keberlanjutan, bila TPB, LCDI, dan KLHS benar-benar ditegakkan sesungguhnya sudah akan menjadi jaminan bahwa pembangunan di Indonesia coraknya akan menjadi ideal sebagaimana yang dibayangkan oleh para aktivisnya. Tetapi, kita tahu, bahwa ada banyak tantangan untuk itu. Berbagai kementerian dan lembaga punya tupoksi yang berbeda dan bisa menghasilkan kinerja yang bertentangan dengan tujuan keberlanjutan. Kementerian Perindustrian, misalnya, sangat protektif terhadap industri rokok yang merugikan produktivitas tenaga kerja dan kesehatan masyarakat. Kementerian ESDM terlampau protektif terhadap industri batubara dan minyak yang sesungguhnya berdampak sangat buruk bagi iklim.

Pertentangan kepentingan seperti ini tampaknya masih kerap dimenangkan oleh pihak yang sesungguhnya membahayakan keberlanjutan. Indonesia belum memiliki sikap yang tegas terhadap industri rokok yang di negara manapun semakin dibatasi bahkan sedang dibuatkan skenario pengakhirannya. Indonesia belum memiliki sikap yang tegas terhadap industri batubara dan minyak yang di banyak negara sudah mulai digantikan secara massif oleh industri energi terbarukan. Indonesia bahkan belum memiliki sense atas seberapa cepat transisi yang dibutuhkan untuk keluar dari industri-industri yang tidak kompatibel dengan tujuan keberlanjutan itu.

Seharusnya tidak perlu lebay dalam menyikapi pidato politik Jokowi. Itu cuma pidato doang. Dokumen Visi dan Misi-nya lah yang harus dilihat dengan lebih tajam, dan dipastikan masuk ke dalam rencana pembangunan sepanjang Jokowi memerintah mulai akhir 2019 hingga 2024 kelak. Setelah masuk, energi besar perlu dicurahkan untuk mengawalnya hingga akhir masa jabatan Jokowi yang kedua. Jadi, janganlah menghabiskan energi terlalu besar untuk mendebatkan sebuah pidato.

 

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability

 

 

Exit mobile version