- Presiden Jokowi mengeluhkan banyak dan lamanya pengurusan izin investasi di Indonesia dibandingkan dengan di banyak negara. Meski sejak jadi presiden, jumlah izin dinyatakan sudah jauh berkurang, tapi Jokowi berucap “Kalau perlu, investasi tak usah pakai izin.”
- Pernyataan Jokowi ‘tak perlu izin’ itu sangat mengkhawatirkan. Lantaran kita telah menyaksikan bahwa dampak investasi itu tak selalu positif. Bagaimana sebaiknya?
- KPK menghimbau agar berhati-hati atas investasi dari Tiongkok, karena tata kelola perusahaan mereka yang buruk. Pragmatisme pengusaha dari Tiongkok memang sangat terkenal di seluruh dunia
- Pembangunan berkelanjutan sudah ditetapkan sebagai pemandu pembangunan Indonesia, sehingga investasi harus tunduk pada paradigma itu. Tetapi apakah peraturan investasi di Indonesia cukup untuk menapis jenis-jenis industri yang membahayakan bagi lingkungan dan menggerogoti kesejahteraan masyarakat?
Merindukan Investasi, tapi Harus Hati-hati
Soal investasi kembali menjadi pusat perhatian bangsa Indonesia. Penyebab yang paling menonjol adalah keluhan Presiden Jokowi atas betapa banyak izin yang harus diurus dan betapa lamanya pengurusan izin untuk investasi di Indonesia dibandingkan dengan di banyak negara.
Dibandingkan dengan ketika Jokowi memulai waktunya sebagai presiden, jumlah izin dinyatakan sudah jauh berkurang. Demikian pula lamanya pengurusan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Sampai-sampai Jokowi mengucapkan kalimat yang membuatnya tak popular di banyak kalangan, “Kalau perlu, investasi tak usah pakai izin.” Menurut Jokowi, investasi yang berorientasi ekspor dan substitusi barang impor itulah yang sangat perlu dipermudah izinnya.
Di sisi lain, pada waktu yang hampir bersamaan KPK mengeluarkan himbauan untuk jauh lebih berhati-hati atas investasi yang berasal dari Tiongkok. Alasannya? Perusahaan dari Tiongkok disebut KPK tak mengenal tata kelola perusahaan yang baik, atau good corporate governance (GCG).
Laode Syarif, salah satu pemimpin KPK, menyatakan bahwa data dari Foreign Corruption Practices Act (FCPA) menyebutkan Tiongkok sebagai negara dengan tingkat pembayaran tidak wajar nomor wahid. FCPA sendiri adalah inisiatif dari Amerika Serikat, tetapi peringkat tersebut bisa menjadi indikasi atas apa yang dilakukan oleh investor dari Tiongkok ketika beroperasi di luar negeri.
baca : Catatan Hari Bumi 2019: Memilih Sendiri Masa Depan Kita
Apakah memang berbisnis di Indonesia sedemikian sulitnya?
Begitulah faktanya. Laporan Doing Business 2019 menyatakan bahwa Indonesia ada di peringkat ke-73 dunia, dengan skor 67,96 dalam skala 100. Peringkat itu sudah membaik sebetulnya, tetapi dibandingkan dengan Malaysia, yang tahun ini ada di peringkat 15, kita jelas kalah menarik. Dan, sangat penting untuk diingat, bahwa peringkat kemudahan bisnis itu sebetulnya tak betul-betul menggambarkan Indonesia, lantaran hanya mencakup Jakarta dan Surabaya.
Kalau dibedah lebih lanjut, dalam urusan memulai bisnis—di mana perizinan menjadi komponen sangat penting—peringkat Indonesia merosot jauh. Ada di angka 134 dari 190 negara yang dinilai. Skornya sendiri tidaklah buruk, yaitu 81,22. Namun, selain itu hanya mewakili perizinan di tingkat nasional dan di ibukota Provinsi Jawa Timur, jelas ada 133 negara yang lebih baik daripada Indonesia dalam memudahkan memulai bisnis. Buat Indonesia, peringkat itu adalah yang nomor dua paling buruk dari 10 kategori. Yang lebih buruk adalah urusan penegakan kontrak, termasuk penyelesaian hukum apabila ada perselisihan. Indonesia berada pada peringkat 146, dengan skor yang benar-benar rendah, 47,23.
Jadi, Presiden Jokowi benar adanya. Walaupun pemerintahannya telah memangkas 201 jenis izin—yaitu dari 259 menjadi ‘hanya’ 58 saja—dibandingkan dengan negara-negara lain, kita memang masih jauh lebih tertinggal. Kalau kita hendak menarik investasi, maka peringkat kemudahan menjalankan bisnis itu harus terus diperbaiki. Buat banyak pengusaha nusantara, apalagi mancanegara, jumlah izin yang masih harus diurus itu sungguh memberatkan.
Lalu, apakah investasi dari Tiongkok memang dominan di Indonesia? Pengecekan atas besaran investasi asing di Indonesia selalu menempatkan Tiongkok di peringkat ketiga. Di tahun 2018, invetasi terbesar masuk dari Singapura, diikuti Jepang. Investasi dari kedua negara ini mencapai lebih dari 56% investasi asing. Investasi Tiongkok sendiri sekitar 8,3%. Listrik, gas, dan air adalah sektor-sektor yang paling diminati asing, disusul oleh transportasi, gudang, telekomunikasi; pertambangan; makanan dan minuman; lalu perumahan, kawasan industri dan perkantoran. Peringkat tiga besar itu tak bergeser sejak tiga tahun terakhir, tetapi proporsi investasi serta sektor yang disasarnya berubah-ubah.
baca juga : Pembangunan Rendah Karbon Harus Jadi Perhatian Capres-Cawapres
Apakah investasi asing dominan di Indonesia?
Datanya menunjukkan demikian. Sejak UU Penanaman Modal yang baru diluncurkan di tahun 2007, kecenderungan investasi itu terus meningkat, kecuali penurunan yang dalam di tahun 2009 dan yang dangkal di tahun 2016. Di tahun 2007, total investasi di Indonesia hanya Rp100 triliun, dan di tahun 2018 dilaporkan jumlahnya Rp721,3 triliun. Proporsi investasi asing sendiri di tahun 2007 adalah 72%, meningkat tajam menjadi 89% di tahun berikutnya, namun stabil di proporsi 70-73% antara 2009-2013.
Di tahun Jokowi menjadi presiden, proporsi investasi asing itu turun menjadi 69%, kemudian 69% lagi, 64%, 62%, dan terakhir 54%. Dengan jumlah investasi yang cenderung terus naik, sesungguhnya bisa dilihat bahwa Presiden Jokowi telah bisa menarik investasi dalam negeri dan asing; dan terutama sekali lebih berhasil menarik investasi dalam negeri hingga ke tingkat yang hampir menyamai investasi asing. Kalau kemudian Presiden Jokowi masih mengeluhkan soal realisasi investasi yang terhambat perizinan, itu lantaran ia menginginkan tingkat investasi yang lebih tinggi lagi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tak Ada yang Harus Dikorbankan Demi Investasi
Tetapi, bagaimanapun, pernyataan ‘tak perlu izin’ itu sangat mengkhawatirkan. Lantaran kita telah menyaksikan bahwa dampak investasi itu tak selalu positif. Kalau kita hanya membatasi diri untuk melihat investasi sebagai isu ekonomi di atas kertas belaka, jumlah investasi yang semakin besar memang bisa disamakan dengan kemajuan.
Namun, ketika perspektif diperluas, maka hasilnya belum tentu demikian. Perspektif yang terbaik untuk melihat investasi adalah pembangunan berkelanjutan, yang menggabungkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara komprehensif. Karenanya, dalam menimbang apa yang perlu dilakukan atas perizinan investasi, perspektif inilah yang seharusnya dipergunakan.
Berbagai tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki perizinan bisa dilakukan dengan melihat bagaimana negara-negara yang mendapatkan peringkat lebih tinggi dibandingkan Indonesia memberikan izin bagi bisnis. Dengan peringkat yang sangat rendah dalam memulai usaha, ada banyak contoh yang bisa diambil. Kalau mau melihat yang paling baik, contohnya ada di New Zealand dan Slovenia.
Tetapi, dengan nilai yang sebetulnya sudah tinggi (81,22), perbaikan dalam persoalan izin saja tidak akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kemudahan berbisnis di Indonesia. Bahkan, secara nilai total, memulai bisnis ini menempati peringkat nilai kedua tertinggi di Indonesia, hanya kalah oleh akses atas listrik. Di bawah kemudahan akses atas listrik dan kemudahan memulai bisnis, masih ada delapan isu lainnya yang perlu diperbaiki.
baca juga : Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?
Bertentangan dengan banyak prasangka di kalangan pengusaha, sama sekali tidak ada urusan kemudahan berbisnis dengan kewajiban lingkungan dan sosial seperti AMDAL, yang beberapa tahun lampau sempat digosipkan akan dihilangkan karena dianggap menghambat investasi. Siapapun yang memeriksa kesepuluh isu yang dilihat World Bank dalam kemudahan bisnis itu, bisa menilai bahwa pengelolaan sosial dan lingkungan tidaklah secara langsung berkaitan dengan peringkat.
Sebaliknya, kita malah bisa menarik kesimpulan bahwa negara-negara yang mendapatkan peringkat tinggi dalam kemudahan berbisnis adalah negara-negara yang pengelolaan lingkungannya dianggap cukup ketat, sebagaimana yang tergambarkan dalam peringkat Environmental Performance Index.
New Zealand, peringkat pertama dalam kemudahan berbisnis, adalah negeri peringkat ke-17 dalam pengelolaan lingkungan. Denmark, yang menghuni peringkat ke-3 dalam kemudahan berbisnis, adalah negara peringkat ke-3 juga dalam pengelolaan lingkungan. Norwegia, peringkat ke-7 kemudahan berbisnis, menempati peringkat ke-14 dalam pengelolaan lingkungan. Jadi, jangan bermimpi bahwa melonggarkan regulasi lingkungan maka peringkat kita akan membaik.
Pembangunan berkelanjutan sudah ditetapkan sebagai pemandu pembangunan Indonesia, sehingga investasi harus tunduk pada paradigma itu. Kita memiliki Peraturan Presiden tentang Tujuan Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) di mana seluruh sektor bertanggung jawab untuk mencapai tujuannya.
Kita juga memiliki regulasi soal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diharuskan menjadi dasar tata ruang, sehingga akan ada kejelasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan suatu wilayah. Ada juga regulasi tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) yang dapat membedakan mana investasi yang baik dan buruk bagi lingkungan. RPJM Nasional 2020-2024 sendiri dinyatakan sebagai RPJMN Hijau dan dibuat berdasarkan skenario pembangunan rendah karbon. Seluruh RPJM Provinsi juga harus dibuat dengan mengacu ke sana.
Di luar itu, ada beragam aturan sektoral yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang berbisnis di sektor-sektor yang diatur itu. Ada pula regulasi isu spesifik seperti HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik berbisnis yang adil, perlindungan konsumen, serta pengembangan masyarakat—yang seluruhnya harus dipatuhi oleh perusahaan manapun yang beroperasi di Indonesia.
baca juga : Industri Batubara Rawan Korupsi? Ini Kajiannya
Tentang Investasi Tiongkok dan Negeri-negeri Lain
Lalu, bagaimana soal tata kelola perusahaan yang baik, sebagaimana yang diangkat oleh KPK terkait dengan Tiongkok? Tata kelola, atau cara perusahaan mengambil keputusan (dengan memperhatikan seluruh pemangku kepentingannya), adalah hal yang sangat penting, dan menjadi determinan kinerja perusahaan dalam seluruh pengelolaan isu. Sehingga, apabila ada negara yang memang terkenal lantaran dianggap memiliki kinerja tata kelola yang rendah, maka investasi dari negara tersebut memang patut mendapat perhatian ekstra.
Tetapi soal itu, kita tak seharusnya membatasi melihat atau mencurigai Tiongkok sebagai satu-satunya negara yang investasinya berpotensi untuk membawa masalah. Di sektor yang berbasis lahan, terutama kehutanan dan perkebunan, investasi-investasi yang merisikokan kelestarian hutan di Indonesia antara 2013-2018 secara berturut-turut datang dari Jepang, Tiongkok, Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Demikian yang dicatat datanya oleh situs www.forestsandfinance.org. Jadi, kita juga wajib memperhatikan soal potensi tata kelola yang buruk dari perusahaan asal negara-negara lain, termasuk dari Indonesia sendiri.
Tiongkok sebetulnya adalah sebuah negara dengan kontradiksi. Dia adalah negara yang memiliki aturan investasi berkelanjutan sangat awal di negaranya, namun investasi di negara-negara lain banyak menunjukkan kinerja yang buruk. Produksi energi terbarukan, terutama dari surya dan bayu, kini menjadi yang terbesar di dunia, tetapi pembangkit listrik tenaga batubaranya juga luar biasa massif dan diekspor ke banyak negara. Di sana, jalur hijau dan jalur hitam sepertinya berjalan bersama, dan mereka seperti tak memiliki masalah dengan mengekspor jalur hitamnya itu ke negara-negara lain.
Pragmatisme pengusaha dari Tiongkok memang sangat terkenal di seluruh dunia. Mereka mampu berbisnis di Eropa yang segala persyaratannya ketat, namun ketika berhadap-hadapan dengan atmosfer bisnis yang dianggap longgar, maka merekapun dengan luwes mengikutinya. Salah satu yang menjelaskan mengapa mereka mendapatkan perhatian khusus di FCPA sebetulnya juga adalah masih mungkinnya suap dilakukan oleh perusahaan asal Tiongkok di Amerika Serikat, selain perang dagang yang terjadi di antara mereka.
Dengan pragmatisme seperti itu, dan bila Tiongkok memang memiliki kepentingan untuk terus berbisnis di Indonesia (dan Indonesia juga merasakan kebutuhan yang sama), maka yang lebih masuk akal adalah memperkuat tata kelola di Indonesia sendiri. Maka dengan sendirinya kelak perusahaan-perusahaan Tiongkok akan mengikuti standar tata kelola yang tinggi.
Demikian pula, dalam soal jenis investasi yang kita inginkan dari Tiongkok. Mereka kini menjadi pemimpin dalam teknologi-teknologi yang sesuai dengan tujuan keberlanjutan, seperti energi terbarukan dan penyimpanannya. Oleh karena itu, kita sendirilah yang perlu menentukan invetasi seperti apa yang kita butuhkan dari negeri yang ‘palugada’ itu. Kalau kita terus-menerus hanya meminta teknologi yang medioker atau bahkan rendah, maka mereka juga akan terus memberikannya. Sebaliknya, bila kita hanya meminta teknologi yang canggih dan berkelanjutan, kita juga akan mendapatkan sebagaimana yang kita minta.
perlu dibaca : Laporan Ungkap Karut Marut Tata Kelola Batubara Berelasi dengan Para Elite Politik
Pembangunan Berkelanjutan sebagai Pemandu Investasi
Kalau kita memanfaatkan paradigma pembangunan berkelanjutan untuk menapis investasi, maka kita akan bisa menentukan apa saja investasi yang harus kita hindari dan apa yang perlu kita perbanyak. Jenis-jenis industri yang membahayakan bagi lingkungan, menggerogoti kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan individu, sudah selayaknya ditinggalkan; sementara industri yang meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus kita galakkan. Jadi, daftar negatif investasi seharusnya dibuat berdasarkan mudarat yang muncul terhadap pembangunan berkelanjutan, sementara segala kemudahan investasi dan dukungan bagi operasi harus diberikan kepada yang membawa manfaat keberlanjutan.
Apakah hal ini sudah tercermin secara regulatori di Indonesia?
UUD kita sudah menyatakan demikian, lantaran secara eksplisit menyebutkan keberlanjutan sebagai azas ekonomi Indonesia pada Pasal 33 Ayat 4. Sementara, Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan, sebagai penjabarannya, juga menyatakan bahwa prinsip pertama dari keuangan berkelanjutan adalah investasi yang bertanggung jawab. Jadi, sebetulnya tak ada celah untuk investasi yang merugikan keberlanjutan, karena investasi yang demikian adalah inkonstitusional.
Perizinan bagi bisnis di Indonesia memang perlu terus diperbaiki. Namun, tentu saja bukan dengan jalan menghilangkannya—karena bahkan negara-negara yang peringkat kemudahan bisnisnya paling tinggi sekalipun tetap memiliki sejumlah izin yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang hendak berbisnis. Kita membutuhkan petunjuk yang benderang atas mana saja izin yang harus dihilangkan, harus disederhanakan, dipertahankan, atau bahkan harus diperkuat; selain petunjuk tentang jenis investasi yang kita butuhkan bagi kebaikan Indonesia—yang bukan sekadar soal orientasi ekspor dan substitusi impor. Dan petunjuk terbaik untuk itu adalah paradigma pembangunan berkelanjutan.
Sebelum melontarkan kekesalannya soal perizinan bagi bisnis yang masih jauh dari harapannya itu, Presiden Jokowi juga melontarkan kalimat, “Lima tahun ke depan, mohon maaf saya sudah nggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalonkan lagi. Jadi, apa pun yang paling baik, terbaik untuk negara, akan saya lakukan.” Orang-orang di sekitar Presiden Jokowi perlu mengingatkan bahwa keberlanjutanlah yang terbaik untuk Indonesia, bukan sekadar adu tinggi angka pertumbuhan ekonomi—yang bisa berarti bencana apabila itu dikejar dengan korbanan masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang.
Periode kedua kepemimpinannya kelak, setelah dinyatakan sebagai pemenang yang sah dan dilantik kembali, hendaknya hanya diisi dengan mereka yang melek dan mau menegakkan keberlanjutan. Untuk itu, kabinetnya harus berisi mereka yang berani melepaskan diri dari cengkeraman para oligark hitam untuk menegakkan pembangunan yang hijau. Tidak ada yang lebih baik bagi Indonesia dibandingkan itu.
***
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability