Mongabay.co.id

Kebijakan Setop Izin Hutan dan Gambut Bakal Permanen, Ini Catatan Organisasi Lingkungan

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Instruksi Presiden Nomor 6/2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut berakhir 17 Juli 2019. Pemeirintah berencana menjadikan kebijakan ini permanen. Kalangan organisasi lingkungan pun menanggapi.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi Eksekutif Nasional di Jakarta, Selasa (16/7/19) mengatakan, selama masa moratorium pemberian izin baru dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo, sudah ada penerbitan izin seluas 18 juta hektar.

Kondisi ini memperlihatan, meskipun ada kebijakan moratorium, penerbitan izin masih terjadi. Selama masa moratorium, katanya, terjadi pelepasan kawasan hutan untuk pemenuhan permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk area peruntukan lain (APL) seluas 7,7 Juta hektar di 20 provinsi.

Zenzi mengatakan, selama masa moratorium perubahan peruntukan kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan untuk RTRW cenderung mengalami peningkatan. Pada 2011, pelepasan kawasan hutan seluas 159.300 hektar, 2012 jadi 1,8 juta hektar. Pada 2013, sebesar 2,4 juta hektar, dan puncaknya 2014 terjadi pelepasan sampai 3,2 juta hektar.

Moratorium, katanya, tak cukup hanya dengan instruksi presiden. Kalau mau menyelamatkan hutan dari izin baru dan mencegah kayu baru tumbang, kebijakan pemerintah harus bersifat regulasi. “Ini kekuatan hukum mengikat tak hanya ke internal pemerintahan, juga bisa menjadi payung hukum penegakan hukum,” katanya.

Seharusnya, kata Zenzi, dalam penguatan Inpres Moratorium, tak ada pasal-pasal pengecualian penerbitan izin baru. Pengaturan moratorium, katanya, harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah kelola rakyat, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem gambut.

“Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan penguasaan korporasi masuk dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan padi, jagung, kedelai, bisa jadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat,” katanya.

 

Kebakaran terjadi di belakang rumah penduduk Jalan Akit Jaya Desa Kembung Baru. Perbaikan tata kelola gambut, salah satu lewat setop izin di lahan gambut. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Abimanyu Sasongko Aji, manajer proyek Kemitraan mengatakan, dari sisi tata kelola, Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut ini sudah layak jadi landasan hukum permanen. Seharusnya, ini diperkuat menjadi perpres atau aturan lain yang lebih kuat.

“Kita menunggu inisiatif lebih solid dari pemerintah untuk melindungi hutan tersisa. Juga perlu dilihat akses masyarakat baik itu melalui skema perhutanan sosial maupun hutan adat. Termasuk, tata kelola lahan gambut yang baik,” katanya.

Peningkatan status kebijakan dari inpres jadi perpres, katanya, perlu guna memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

“Perpres diharapkan jadi solusi. Saat ini, belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” katanya.

Lola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut mengatakan, luasan areal peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) pada lahan gambut sejak revisi kedua hingga 15 berkurang 589.391,98 hektar. Luasan PIPPIB pada gambut pasca bergulir PP 57/2016 berkurang 42.527,19 hektar.

“Identifikasi tata kelola gambut pada PIPPIB, terutama untuk program prioritas pemerintah dalam menekan laju degradasi lahan dan jadi bagian pengurangan konflik lahan harus dipercepat,” katanya.

Juga, percepatan kebijakan satu peta untuk mendukung program moratorium dan menyelesaikan permasalahan tumpang tindih pemanfaatan lahan.

Peta PIPPIB, kata Lola, seharusnya dipadukan dan jadi dasar rencana tata ruang pada provinsi dan kabupaten untuk menghasilkan berkala.

Berdasarkan analisa pantau gambut, sejak Inpres Moratorium Hutan dan Gambut keluar 2012-2018, terjadi kenaikan angka burn-scar (area bekas terbakar) seluas 126.652,51 hektar.

Kalau dibandingkan dari angka bekas bakar 2015-2018, terdapat penurunan seluas 58.583 hektar. Naik turun luasan burn-scar di sini mengacu pada luasan area bekas terbakar di satu wilayah tanpa menjelaskan penyebab kejadian itu.

Luasan burn-scar pada 2018, di moratorium lahan gambut PIPPIB revisi 15 seluas 107.501 hektar.

Pasca inpres keluar, Menteri Kehutanan masih memberikan surat keputusan Nomor 844 tahun 2014 soal pelepasan kawasan hutan terhadap perusahaan sawit, PT Tunas Sawa Erma– anak perusahaan Korindo–seluas 2.656 hektar.

Di Papua, katanya, juga terjadi penerbitan izin lokasi dan hak guna usaha kepada perusahaan PT Indo Sawah Lestari, untuk usaha pertanian padi sawah yang diduga pada lahan gambut di Wapeko, Distrik Kurik. “Lahan gambut pada perusahaan perkebunan sawit PT Nabire Baru dan pemukiman masyarakat di Distrik Yaro,” katanya.

Kemudian, terdapat pemberian izin kepada PT Andalan Sukses Makmur oleh Bupati Kotawaringin Barat, dengan wilayah masuk PIPPIB setelah inpres terbit. Juga terdapat pelanggaran pembukaan kanal sepanjang 8,1 kilometer pada ekosistem gambut oleh PT Mohairson Pawan Khatulistiwa di Sungai Putri.

Dia merekomendasikan, kebijakan pemerintah agar terintegrasi dengan program restorasi gambut setelah 2020. Jadi, katanya, ada penataan kembali pengelolaan hutan, termasuk konflik dan pencegahan kebakaran hutan, penguatan izin gambut dan penegakan hukum bagi pelanggar kebijakan.

“Evaluasi terhadap izin terus dijalankan dan diperketat.”

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, kebijakan moratorium selama ini tak mampu mengevaluasi perizinan yang ada. Dalam inpres, memang tak memandatkan proses evaluasi terhadap perizinan yang ada.

“Mestinya, kalau ini mau dipermanenkan, sebaiknya peraturan ini harus mencakup hal yang bersifat mandatori terhadap perushaan untuk pemulihan ekosistem gambut.

Sampai saat ini hasil pengakuan perusahaan sendiri masih minim yang pemulihan ekosistem gambut. “Kalau tidak, peraturan ini hanya jadi monumen tertulis saja,” kata Inda.

Moratorium hutan dan gambut, katanya, jadi persoalan karena beberapa peraturan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saling menegasikan. Contoh, Permen LHK 16/2017 tentang pedoman pemulihan ekosistem gambut yang justru bertentangan dengan permen LHK Nomor 10/2019 tentang penetuan puncak kubah gambut berbasis kesatuan hidrologis.

“Terkait pemulihan ekosistem gambut, ada peraturan dirjen terkait izin HGU, di mana, upaya-upaya restorasi itu hanya jadi pengetahuan atau informasi antara KLHK dengan perusahaan. Ini tak transparan.”

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sepanjang inpres berjalan tak pengaruh signifikan.

“Tahun 2015, KLHK berjanji penguatan implementasi inpres dan pelibatan masyarakat sipil. Tak terjadi. Tak ada satupun draf konsultasi publik proper dilakukan KLHK untuk rencana jadikan inpres ini permanen,” katanya, seraya bilang, selama inpres ini tak ada pengawasan.

Dia berharap, ada penguatan dalam bentuk perpres agar mengikat dalam suatu kebijakan. “Bukan hanya instruksi internal. Ada mekanisme pengawasan, karena delapan tahun berjalan, pengawasan tak terjadi.”

Sejak 2011 hingga kini, dalam masa implementasi inpres, ada 19 surat keputusan pelepasan kawasan hutan, sembilan, untuk perkebunan sawit dan 1,3 juta hektar hutan alam terancam karena sudah ada konsesi sawit.

“Tanpa evaluasi dan konsultasi publik mumpuni, kami khawatir akan memberikan celah lain untuk hutan alam dan gambut,” katanya.

Selain itu, ada 43,3 juta hektar hutan sekunder dan 5,4 juta hektar APL dengan tutupan lahan masih bagus yang seharusnya masuk dalam inpres akan diperpanjang atau dipermanenkan.

“Inpres masih mengecualikan hutan sekunder dalam wilayah perlindungan hutan. Kemudian, masih mengecualikan perpanjangan izin-izin lama dalam artian izin eksploitasi hutan masih dilakukan meskipun ada Inpres Moratorium.”

 

Kelompok Mekar Sari tanam nenas pada lahan gambut. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Jadi permanen

Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, proses membuat inpres permanen sudah melalui tahapan pembahasan tingkat menteri. Inpres, katanya, tinggal menunggu paraf.

“Kalau soal tanggal, saya rasa tidak terlalu khawatir karena arahnya sudah penghentian total. Kemarin kan penghentian sementara, sekarang penghentian total. Berarti, hutan alam primer dan hutan gambut itu sudah tak boleh ada lagi izin baru.”

Perpanjangan ini, katanya, masih berbentuk inpres. “Masih sama, setelah empat kali inpres dari 2011. Memang, ada pengecualian hal-hal strategis dan masih dimungkinkan.”

Abetnego Tarigan, tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, perubahan tidak terlalu signifikan. Hanya dari penundaan jadi penghentian pemberian izin.

Inpres setop izin permanen ini, katanya, berisi penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini segera terbit meskipun ada jeda beberapa hari setelah kebijakan sebelumnya berakhir.

“Kemudian yang membedakan juga ada tambahan yang dikecualikan, antara lain untuk pembangunan jalur evakuasi bencana, pertanahan keamanan negara, berkaitan dengan pengembangan kota pemerintahan.”

“Kebijakannya karena berkaitan dengan perizinan ini ada di internal pemerintah, karena ini hanya mengatur di dalam pemerintah jadi tetap Inpres,” katanya.

Abetnego mengatakan, perhutanan sosial dan reforma agraria tak eksplisit masuk pengecualian inpres ini. Selama ini, katanya, reforma agraria lebih dari obyek tanah terlantar, berkonflik dan wilayah-wilayah yang sudah dikelola masyarakat.

“Perlu nanti dilihat, apakah terkait peraturan ini dengan aturan gambut untuk perubahan terakhir yang membuka ruang bagi perhutanan sosial, itu juga perlu dilihat nanti. Tapi itu tak eksplisit dibahas dalam inpres baru ini. PIPPIB tetap diberi ruang untuk evaluasi dua kali dalam setahun.”

Para menteri, katanya, sudah paraf inpres ini. “Tinggal Menteri Dalam Negeri dan Menteri ATR/BPN yang belum membubuhkan paraf.”

Dia memahami kalau ada kekhawatiran dari berbagai pihak kalau inpres tak segera keluar. Mengingat ada jeda beberapa hari sebelum sah, bisa jadi celah menerbitkan izin baru.

“Kekhawatiran itu mungkin. Kan dalam proses perizinan tidak juga datang langsung diproses. Di dalam konteks kebijakan itu, semua harus tertulis, ketika ada rencana kebijakan mengarah ke sana, kan sebenarnya pejabat itu sudah jadikan pertimbangan.”

 

Keterangan foto utama:  Kebijakan moratorium izin hutan primer dan lahan gambut berakhir 17 Juli 2019. pemerintah akan bikin kebijakan ini jadi permanen.  Organisasi lingkungan berharap, pemerintah memperkuat kebijakan jadi aturan lebih kuat. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Hutan hujan tua di sepanjang Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler

 

Exit mobile version