Mongabay.co.id

Gubernur Sulut Tolak Kelapa Sawit, Aktivis Usulkan Cabut Izin Perusahaan

 

Investasi kelapa sawit di Sulawesi Utara kembali memasuki babak polemik. Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey menyatakan penolakan terhadap ekspansi kelapa sawit.

Melalui akun facebooknya, Olly menyatakan tidak akan pernah memberi atau menerbitkan izin pada industri sawit selama menjabat sebagai Gubernur.

“Saya dengan tegas menolak kehadiran kelapa sawit di Sulawesi Utara. Saya tidak pernah terbitkan rekomendasi atau izin untuk kelapa sawit di Sulawesi Utara. Dan selama saya masih Gubernur, saya tidak akan mengeluarkan izin kelapa sawit di Sulawesi Utara,” katanya, Jumat (19/7/2019).

baca : Catatan Akhir Tahun: Suara Sumbang Konflik Agraria di Sulawesi Utara

Merespon hal itu, Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagouw mengatakan dia tidak bisa berbuat banyak atas keberadaan sejumlah industri sawit di daerahnya. Soalnya, izin sawit sudah terbit sejak masa pemerintah sebelumnya. Pencabutan izin dapat menimbulkan risiko hukum dan ekonomi bagi pemerintah daerah.

“Contohnya kasus PT Melisa di Poigar. Izin sawit itu digugurkan oleh pejabat Bupati, Pemkab Bolmong digugat dan harus bayar ganti rugi Rp.6 miliar,” kata Yasti dikutip dari Tribun Manado, Senin (22/7/2019).

Seperti diketahui pada 15 September 2016, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow, lewat surat No.53/2016, sempat mencabut izin HGU PT Malisya Sejahtera. Tak terima dengan keputusan itu, pada 27 September 2016, perusahaan menggugat balik. Hasilnya, 24 November 2016, PTUN Manado mengabulkan gugatan PT Malisya Sejahtera.

baca juga : Warga Desa Tiberias Menang! PTUN Manado Batalkan IUP-B PT Malisya Sejahtera

 

Tanaman Sawit di lokasi objek sengketa yang diduga milik PT Malisya Sejahtera pada Juni 2018. Foto : Walhi Sulut

 

Gubernur Perlu Tindaklanjut

Sejumlah aktivis lingkungan mengapresiasi sikap dan pernyataan Gubernur Olly. Meski demikian, mereka berharap, Gubernur mengambil tindakan lanjutan dari pernyataan tersebut. Salah satunya dengan pencabutan izin perusahaan sawit.

Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa, Jull Takaliuang mengatakan konsesi sawit di Sulut di wilayah sengketa dengan petani yang tergusur atau dirampas tanahnya. Selain itu, proses mendapatkan perizinan dinilai banyak dilakukan dengan cara melanggar HAM masyarakat petani yang ada di lokasi.

Dengan kewenangannya, lanjut Jull, Gubernur bisa menindaklanjuti keberpihakan pada masyarakat dengan membuat pemetaan wilayah dan identifikasi status lahan yang sudah ditanami sawit, hingga meninjau kembali atau membatalkan izin yang sudah dikantongi perusahaan sawit.

“Saya berharap, (pernyataan Gubernur) ditindaklanjuti dengan koordinasi yang serius antar pemerintah. Wilayah yang sudah ditanami sawit, Bupati atau Walikotanya harus dimintai data perihal status lahan dan perizinan untuk dikaji bersama. Lalu ditindaklajuti dengan pencabutan izin atau penghentian semua proses pengurusan izin yang sementara berjalan,” terang Jull kepada Mongabay Indonesia, Kamis (25/7/2019).

perlu dibaca : Konflik Lahan di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow Berlanjut, Perusahaan Bongkar Pondok Warga

 

Bangunan warga desa Tiberias yang diduga dirusak karyawan PT Malisya Sejahtera pada Mei 2017. Foto : warga desa Tiberias/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Direktur LBH Manado, Jekson Wenas menambahkan, jika izin-izin usaha sawit yang masuk di Sulut terbukti melalui proses yang bermasalah, maka Gubernur memiliki kewenangan untuk membatalkan izin-izin tersebut.

“Sampai hari ini, izin lokasi perkebunan dan izin usaha belum pernah dilihat warga. Mereka juga belum tahu apakah perusahaan sudah membuat Amdal atau belum” kata Jekson kepada Mongabay Indonesia.

Selain itu, komitmen Gubernur perlu dibuktikan dengan menjamin netralitas lembaga Negara dalam sengketa lahan, misalnya yang terjadi di Kecamatan Lolak. Berdasarkan aduan yang diterima LBH Manado, petani di desa Lolak, Lolak Tambulango, Lalow, Padang dan Desa Lolak II, kerap kali mengalami intimidasi dan ancaman kriminalisasi ketika hendak bertani.

LBH Manado berharap Gubernur Sulut dapat menjamin proses hukum di lokasi sengketa berjalan dengan baik. Menurut Jekson, hingga hari ini, warga melaporkan adanya aparat bersenjata yang melakukan pengawalan pada aktivitas perusahaan.

“Gubernur juga punya kewenangan untuk berkoordinasi dengan Polda Sulut untuk menarik aparat dari perkebunan sawit. Sebab, sampai hari ini, ada aparat yang tanpa surat perintah dari atasan, menjaga perusahaan menanam bibit sawit. Warga merasa takut ketika pergi ke kebun,” ujar Jekson.

baca juga : Konflik Agraria, 31 Warga Desa Tiberias, Ditangkap, Bangunan Dibakar dan Tanaman Dirusak

 

Pembongkaran Pondok di kebun merupakan buntut dari sengketa tanah antara warga setempat dengan PT Malisya Sejahtera di Desa Tiberias, kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara,  pada Maret 2017. Foto : Warga Desa Tiberias/Mongabay Indonesia

 

Warga Tidak Bisa Berkebun

Sejak tahun 2009, sembilan perusahaan telah menjadikan kabupaten Bolaang Mongondow sebagai area konsesi sawit seluas 79.150,30 hektar. Kehadiran mereka mencemaskan petani kelapa hingga menyulut sengketa lahan dengan warga yang disebut berkebun di area konsesi perusahaan.

Menurut Satryano Pangkey, Community Organizer LBH Manado, sejak tahun 2015 petani penggarap di 6 desa, di kecamatan Lolak, mendapat intimidasi, ancaman kriminalisasi ketika hendak masuk lahan untuk bercocok tanam.

Bahkan, dia menambahkan, belasan warga dan petani penggarap telah ditersangkakan dengan alasan yang tidak jelas. Kondisi itu membuat mereka takut dan enggan melakukan aktivitas di kebun.

“Jika warga masuk lokasi (konsesi sawit), diusir. Pendapatan mereka tidak jelas, banyak yang jadi buruh serabutan. Warga sudah dibuat bungkam dengan ancaman kriminalisasi saat menuntut hak-haknya untuk menggarap tanah,” terangnya kepada Mongabay Indonesia.

perlu dibaca : Konflik Sawit di Desa Lolak, Bolaang Mongondow, 2 Orang Ditangkap

 

Konsesi sawit PT ASI yang mendapat penolakan warga kecamatan Lolak, Bolaang Mongondow, Sulut, pada November 2018. Foto : Ade Saputra Lundeto/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Rabu (7/11/2018), warga sempat berdialog dengan perwakilan Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow, PT Anugerah Sulawesi Indah (ASI) dan kepolisian setempat. Dalam pertemuan itu, Suyono, perwakilan PT ASI menyampaikan pihaknya tidak akan menyentuh wilayah yang telah ditanami warga, hingga masa panen.

“Kami tunggu panen dulu, baru kami akan sentuh. Yang kami sentuh saat ini adalah lahan yang tidak ditanami masyarakat,” ujar Suyono dikutip dari Bolmora.com, Rabu (11/7/2018).

Pada saat bersamaan, Kapolres Kotamobagu, AKBP Gani Fernando Siahaan menyampaikan, pihaknya berada di sana murni untuk menegakkan hukum dan ketertiban. “Karena izin perusahaan sudah ada, maka kami di sini melaksanakan tugas sesuai aturan,” terang Gani masih dikutip dari situs tersebut.

Berdasarkan catatan yang dihimpun Mongabay Indonesia, dalam kurun 2017 hingga 2018, konflik dan penangkapan warga akibat aksi penolakan sawit terjadi di beberapa titik di kabupaten Bolaang Mongondow.

Pada 2 Mei 2017, terjadi konflik yang dipicu protes warga desa Tiberias, kecamatan Poigar, pada aktifitas pemanenan kelapa yang dilakukan oleh pekerja PT Malisya Sejahtera. Akibat konflik itu, tanaman dan pondok mengalami kerusakan, kemudian 31 warga ditangkap.

PT Malisya Sejahtera adalah perusahaan yang berhak atas wilayah konsesi seluas 177,1320 hektar. Dari penelusuran Walhi Sulut disebutkan komoditas yang dikembangkan PT Malisya Sejahtera adalah kelapa genja dan kelapa sawit.

 

Bangunan milik petani warga desa Tiberias yang diduga dirusak karyawan PT Malisya Sejahtera di Desa Tiberias, kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pada Mei 2017. Foto : warga desa Tiberias/Mongabay Indonesia

 

Pada tahun 2018, dua orang warga desa Lolak ditetapkan sebagai tersangka pembakaran pos jaga perusahaan, tidak jauh dari lahan konsesi sawit. Di lokasi itu pada tahun 2011, PT ASI (Anugerah Sulawesi Indah) mendapat konsesi seluas 609,91 hektar. Warga baru mengetahuinya pada tahun 2013. Sejak itu, mereka mulai menyatakan penolakan pada pengembangan kelapa sawit.

Pada Oktober 2017, tak lama setelah warga berdebat dengan pekerja perusahaan yang hendak menanam bibit sawit, sebuah pos jaga terbakar. Sabtu, 21 Oktober 2017, 10 orang dipanggil sebagai saksi. Setahun kemudian, 21 Oktober 2018, 2 orang warga ditetapkan sebagai tersangka.

 

Exit mobile version