Mongabay.co.id

Ini Dampak Rencana Penutupan Pulau Komodo Bagi Warga dan Wisatawan

Seekor komodo di Pulau Komodo dalam kawasan TN Komodo. Foto : indonesia.travel/Mongabay Indonesia

 

Rencana penutupan Pulau Komodo dalam kawasan Taman Nasional (TN) Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) makin menjadi polemik. Wacana penutupan sendiri digulirkan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat sejak awal 2019.

Karena kesimpangsiuran informasi penutupan itu, warga Pulau Komodo menggelar aksi demo di Kantor Bupati Manggarai Barat, Kantor DPRD, dan Kantor Balai TN Komodo, pada Rabu (17/7/2019).

Dalam aksinya, warga menuntut 4 hal, yaitu Gubernur NTT segera membatalkan rencana penutupan Pulau Komodo dan pemindahan warga dari Pulau Komodo. Kedua, menuntut Presiden Jokowi mencabut kembali pernyataan dukungannya terhadap rencana penutupan Pulau Komodo.

Ketiga menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas model pengembangan pariwisata di desa Komodo yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Keempat, menuntut pihak Balai TN Komodo agar berpihak pada kepentingan warga selain menjalankan tupoksinya sebagai lembaga konservasi.

baca : Demi Konservasi dan Wisata, Jokowi Minta Taman Nasional Komodo Ditata, Akankah Terlaksana?

 

Warga Desa Komodo di Pulau Komodo, kabupaten Manggarai Barat, NTT saat demo di Kantor Bupati Manggarai Barat, Kantor DPRD, dan Kantor Balai TN Komodo, pada Rabu (17/7/2019). Mereka menolak rencana penutupan pulau Komodo yang diwacanakan Gubernur NTT. Foto : Ardiansyah/Mongabay Indonesia

 

Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur NTT Josef  Nae Soi menjelaskan pihaknya tidak menutup keseluruhan kawasan TN Komodo, tetapi hanya menutup Pulau Komodo saja untuk memulihkan populasi Komodo dan konservasi habitatnya.

“Untuk menyelamatkan Komodo dari kepunahan kita harus melakukan konservasi,’ kata Josef kepada Mongabay Indonesia, Jumat (26/7/2019).

Dia menjelaskan penutupan dilakukan selama setahun, yang kemungkinan besar dimulai pada 1 Januari 2020, setelah tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turun ke lokasi dan telah melakukan rapat bersama pihak Pemprov NTT.

Konservasi diperlukan untuk mengembalikan Pulau Komodo menjadi hutan sesuai dengan habitat komodo (Varanus komodoensis). Dan mengembalikan populasi rusa liar, kerbau dan babi hutan liar sebagai pasokan makanan komodo.

Idealnya, kata Josef, komodo sebagai hewan purba liar bisa hidup secara alami di Pulau Komodo dengan ketersediaan pakan dan habitatnya yang mendukung. Selama ini wisatawan melihat komodo sebagai hewan jinak yang bisa berinteraksi dengan dengan manusia.

“Kalau (lihat komodo) jinak ya di Pulau Rinca. Tapi kalau di Pulau Komodo kita buat agar dia bisa atraktif. Bagaimana komodo jantan saling berkelahi sampai muntah dan komodo betina datang ke jantan yang menang untuk kawin,” tuturnya.

Karakter liar komodo tersebut yang terkesan hilang. “Inilah atraksi yang luar biasa yang melekat di binatang purba ini. Sekarang kan hampir tidak terlihat lagi sifat atraktif seperti ini,” tambahnya.

baca juga : Buka atau Tutup? Nasib Pulau Komodo Putus Juli 2019

 

Komodo, satwa yang menjadi daya tarik utama wisatawan berkunjung ke Pulau Komodo, Labuan Bajo, Manggarai, Barat, Flores, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penutupan Pulau Komodo, sekaligus untuk meneliti jumlah populasi komodo sebenarnya dari informasi sebelumnya yang berkisar 1.000-2000 ekor. Tapi komodo jarang terlihat di Pulau Komoo.

“Kalau dikatakan banyak (jumlah komodo) maka kita bisa tunjukan datanya secara riil,” ucapnya.

Rencana penutupan ini, diapresiasi positif masyarakat global. Terbukti saat Wagub mempresentasikan di Auckland, Selandia Baru, masyarakat disana, sangat respek. “Kalau komodo tidak dilestarikan maka 50 sampai 100 tahun ke depan  orang tidak akan melihat lagi dragon raksasa seperti di pulau Komodo,” katanya saat presentasi itu.

Sedangkan dragon komodo yang berukuran lebih kecil tersebar di Pulau Rinca dan daerah lainnya di pantura Flores seperti di Manggarai Timur dan Riung kabupaten Ngada.

Seiring wacana penutupan, beredar kabar warga penghuni Pulau Komodo juga akan direlokasi keluar. Menanggapi hal tersebut, Josef mengatakan Pemprov NTT sedang mempertimbangkan keberadaan warga tersebut.

Ada tiga alternatif, lanjutnya, yaitu warga harus direlokasi keluar Pulau Komodo. Alternatif kedua, membuat batas antara hunian manusia dan komodo dengan tembok atau pohon. Opsi ketiga, apakah dibiarkan seperti sekarang.

“Masing-masing opsi ada kelemahan dan kelebihan. Tapi yang terpenting soal konservasi harus berjalan, sementara soal penduduk yang menetap di pulau ini nanti akan didiskusikan bersama dengan warga disana dan segenap pemangku kepentingan,” ucapnya.

perlu dibaca : Gubernur NTT Wacanakan Penutupan TN Komodo, Ada Apa?

 

Permukiman warga desa Komodo di Pulau Komodo yang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo, NTT. Foto : Ardiansyah/Mongabay Indonesia

 

Hidup Berdampingan

Pulau Komodo, selain dihuni dragon komodo, juga terdapat Desa Komodo yang dihuni sekitar  2.000 orang atau 500 kepala keluarga dalam 10 RT dan 5 RW. Warga telah lama menempati pulau Komodo jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan taman nasional.

“Kakek saya KTP-nya lahir di pulau Komodo tahun 1929. Artinya sebelum ada TN Komodo warga sudah tinggal jauh sebelumnya dan ini juga diakui pihak TN Komodo,” kata Ardiansyah, warga Pulau Komodo kepada Mongabay Indonesia, Jumat (26/7/2019).

Dian sapaannya menjelaskan jelaskan warga telah terbiasa hidup berdampingan komodo. Misalnya bila warga menangkap rusa, maka kepala, kulit, isi perut dan kaki rusa diberikan kepada komodo.

Hasil laut saat tangkapan melimpah juga diberikan untuk makanan komodo. Warga pun pasrah bila komodo hanya masuk kampung untuk memangsa ternak kambing.

“Ada pesan leluhur agar komodo jangan diganggu karena saudara kita sendiri. Kami juga tidak merasa ketakutan diserang komodo saat masuk hutan mencari kayu bakar, srikaya, asam dan madu,” ceritanya.

Selama tidak mengganggu komodo, warga percaya mereka tidak akan diganggu komodo. Itu dibuktikan Ardiansyah bila bertemu sebae –sebutan lokal untuk komodo–.

baca juga : Menyongsong Wisata. Berapa Daya Dukung Lingkungan Maksimal TN Komodo?

 

Panorama Pulau Komodo dengan perkampungan di desa Komodo. Sejak dulu warga telah menghuni Pulau Komodo. Foto : Ardiansyah/Mongabay Indonesia

 

Penolakan Penutupan

Penutupan Pulau Komodo akan berdampak pada penghidupan warga karena terjadi perubahan zona dari zona pemanfaatan menjadi zona inti. Warga sendiri terbiasa menjadi nelayan yang mencari ikan, kerang dan teripang pada zona pemanfaatan.

“Saat ditetapkan menjadi zona inti maka warga dilarang menangkap ikan di daerah ini. Kami pun patuh dan sudah sekitar 80 persen warga beralih mencari nafkah pada sektor pariwisata. Warga patuh dan terlibat melakukan konservasi,” jelas Ardiansyah.

Penutupan Pulau Komodo yang berpengaruh pada sektor wisata tentu berdampak pada perekonomian warga. Sejak beralih ke sektor wisata, jelasnya, warga yang rata-rata hanya lulusan SD, mampu menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Pendapatan warga berasal dari home stay, guide, ranger serta menjual makanan dan minuman serta penjualan souvenir. Sehingga warga menolak rencana penutupan Pulau Komodo

“Warga tetap pada pendiriannya tidak mau dipindahkan dari pulau Komodo. Kami beranggapan ini wacana liar dan tidak sesuai data yang dirilis,” tegasnya. Ardiansyah pun membantah penjelasan Wagub NTT bahwa komodo sudah tidak liar dan kurus.

perlu dibaca : KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?

 

Home stay milik warga di desa Komodo pulau Komodo yang disewakan kepada wisatawan yang berkunjung ke pulau ini. Foto : Ardiansyah/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan aktivis lingkungan yang juga pelaku industri wisata, Martha Muslim mempertanyakan alasan penutupan Pulau Komodo yang dijelaskan Wagub NTT. Karena terkesan Pemprov NTT tidak mempercayai keberadaan dan tupoksi Balai TN Komodo.

Martha kepada Mongabay Indonesia, Jumat (26/7/2019) melihat justru Balai TN Komodo melakukan pengelolaan sesuai dengan konservasi, dengan misalnya memberlakukan berbagai zona, termasuk zona pemanfaatannya.

Martha menegaskan wacana penutupan diungkapkan Gubernur NTT tanpa ada dialog publik terlebih dahulu. Gubernur juga tidak mempunyai legal standing karena pengelolaan TN Komodo berada ditangan KLHK.

Dia menyarankan agar Gubernur berdialog langsung dengan warga pulau Komodo dahulu sebelum membuat wacana penutupan dan melemparkannya ke media. Karena hal itu berdampak langsung pada 4.550 orang yang hidup dari sektor wisata di Pulau Komodo.

“Sejak wacana (penutupan) tersebut dilemparkan, sudah 600 pembatalan kunjungan yang diterima menurut data ASITA (Asosiasi Perjalanan Wisata) Manggarai Barat,” terangnya.

Padahal, kata Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia provinsi NTT, Agustinus Bataona, pelaku wisata menjual paket wisata termasuk ke pulau Komodo sejak setahun hingga dua tahun sebelumnya. Ketidakpastian wacana penutupan, lanjut Agustinus, sangat mempengaruhi pasar wisata. Tarif paket wisata pun berubah karena menghilangkan satu spot wisata.

menarik dibaca : Setelah Terbongkarnya Perdagangan Komodo, Perlukah TN Komodo Dikelola Pemprov NTT?

 

Seorang warga desa di Pulau Komodo sedang membuat souvenir untuk dijual kepada wisatawan. Foto : Ardiansyah/Mongabay Indonesia.

 

Resiko Penutupan

Wagub NTT mengakui menjadi sebuah resiko bila pendapatan sektor pariwisata bakal menurun terkait penutupan Pulau Komodo. Dia mencontohkan penutupan sebagian akses jalan di Jakarta karena pembangunan kereta layang (MRT). Resiko penutupan mengganggu ekonomi, tetapi setelahnya lalu lintas akan lebih lancar dan keuntungan lainnya yang didapat berlipat ganda.

“Apa yang didapat pun jauh lebih hebat dibandingkan dengan tidak berbuat apa-apa.” ucapnya.

Penutupan Pulau Komodo, kata Josef, jangan sampai merugikan warga Desa Komodo. Dia mencontohkan salah solusinya memindahkan penjualan souvenir oleh warga ke tempat lain seperti di pulau Rinca atau Labuan Bajo.

Josef meyakini proses konservasi selama penutupan Pulau Komodo akan mengembalikan kondisi hutan, yang kemudian mengembalikan populasi rusa, kerbau dan babi hutan. Selain itu, penutupan jalan-jalan tikus pencurian hewan mangsa komodo seperti rusa oleh orang luar.

Sedangkan Ardiansyah membantah tentang viralnya foto penangkapan rusa oleh warga NTB pada 2017. Karena diselidiki pihak TN Komodo, ternyata rusa tersebut ditangkap di pulau Flores, bukan di TN Komodo.

“Tanggal 29 Desember 2018 juga ada warga Sape NTB yang ditangkap dan ditemukan 9 ekor rusa dan satu kepala kerbau. Dalam berita, Gubernur katakan ratusan rusa diburu setiap tahunnya. Padahal datanya tidak ada (perburuan di TN Komodo) dan saya mengganggapnya ini hoaks,” pungkasnya.

 

Permukiman warga desa Komodo di Pulau Komodo yang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo, NTT. Pulau Komodo merupakan habitat binatang purba komodo hidup dan berkembangbiak hingga saat ini. Foto : Ardiansyah/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version