Mongabay.co.id

Cerita Dolphin, Penyelamat Tukad Mati Penerima Kalpataru dari Bali

 

Masih ada kelompok nelayan di Kuta Bali?

Masih. salah satunya mendapat penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan 2019. Mereka adalah Kelompok Nelayan Prapat Agung Mangening Patasari.

Kalpataru diterima I Nyoman Sukra, penggerak kelompok nelayan yang dinilai turut menghijaukan areal Taman Hutan Rakyat (Tahura) Mangrove Ngurah Rai dan revitalisasi sungai Tukad Mati. Sungai ini kadung dicap sebagai tempat sampah dan penyebab utama banjir di seputaran Kuta dan Jalan Bypass Ngurah Rai, kawasan tersibuk yang menghubungkan bandara, pelabuhan, Nusa Dua, dan Kuta. Padahal perilaku warga penyampahlah penyebabnya.

Nama panggilannya, Pak Dolphin, lebih populer dibanding nama di KTP. “Waktu remaja saya ikut jadi penyelamat pantai dan pernah nolong bule tenggelam. Kamu seperti dolphin saja,” ingatnya meniru ucapan rekannya. Jadilah bahasa Inggris untuk lumba-lumba itu melekat hingga kini.

Ditemui Sabtu (20/7/2019), Dolphin sedang mengawasi penanaman bibit mangrove di pinggir proyek penataan Tukad Mati. Pihak kontraktor PT Adhi Karya menanami Tahura yang terdampak karena pembuatan jalan setapak yang mengelilingi Tukad Mati di hilirnya.

baca : Kedonganan, Kampung Nelayan yang Bertahan di Pusat Turisme Bali

 

Bendung Gerak adalah salah satu sarana proyek revitalisasi Tukad Mati oleh pemerintah areal Tahura Mangrove Ngurah Rai, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jalan setapak dengan paving dan tembok batu bata ini selebar mobil, dibangun kokoh persis samping tapak mangrove. Di antara jalan ini ada sungai yang sedang dikeruk oleh sejumlah ekskavator. “Sungai ini dulu penuh sampah, makanya disebut tukad (sungai) mati, tidak ada airnya,” ujar Dolphin.

Ia mengingat ada dua versi nama Tukad Mati yang dikisahkan bapaknya dan warga sekitar. Pertama, karena penuh sampah. Kedua, sungai ini tempat meninggalnya Mads Lange, seorang saudagar asal Denmark yang terkenal saat Kuta menjadi pusat pelabuhan.

Dolphin bercerita ia memulai pada 2012 dengan Program Kali Bersih atau Prokasih dengan mengajak warga bantaran sungai membersihkan sumbatan sampah. Karena merasa tak banyak perubahan, ia membuat Relawan Tukad Mati untuk mengajak orang luar juga bergabung. “Kita perlu dukungan luar,” katanya.

Atas saran sejumlah pihak, ia mengubah haluan dengan membentuk kelompok nelayan agar punya dasar hukum lebih kuat dalam mengadvokasi normalisasi Tukad Mati. Dengan begitu, kelompok ini bisa mengundang pemerintah ke sejumlah rapat untuk menghidupkan kembali Tukad Mati. “Kalau nelayan ingin melaut kan harus punya jalur. Ayo bersihkan jalur sungainya biar ada air dan bisa ke laut,” ajaknya saat itu. Kelompok nelayan inilah terlibat hingga kini, bersama pemerintah merencanakan proyek revitalisasi Tukad Mati.

baca juga : Peringatan Dini Terkikisnya Hutan Mangrove, Benteng Alami di Selatan Bali [Bagian 1]

 

I Nyoman Sukra alias Dolphin, penggerak Kelompok Nelayan Patasari di Kuta, Bali, yang menerima Kalpataru 2019. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dolphin mengaku memiliki kepekaan pada masalah sungai karena kerap mengamati kondisi dan sejarah sungai-sungai di sejumlah negara yang bisa berubah jadi rapi dan tempat wisata. Misalnya di sekitar patung Merlion Singapura dan Marina Bay yang jadi landmark kota. Demikian juga di Thailand, Philipina, dan lainnya.

Usulan kelompoknya untuk Tukad Mati saat itu adalah disender, sampah diangkut, dan alurnya diperdalam. “Tidak besar seperti proyek sekarang ini,” lanjut pria 44 tahun ini. Ia mengaku sungai ini tempat bermain, berenangnya di masa kecil. Ia juga melihat potensinya sebagai petilasan sejarah maritim Kuta yang terlupa pasca booming-nya Pantai Kuta mulai tahun 80-an.

Sampah di Tukad Mati juga mengakibatkan matinya sejumlah mangrove yang akarnya tertutup sampah plastik. “Sepanjang sungai, kita hijaukan sebelum proyek normalisasi. Tanam sekarang, ditutupi plastik lagi pasti mati,” keluhnya. Selain sampah, tantangan lain adalah pencurian kayu pohon mangrove untuk kayu bakar. Menurutnya kayu ini sangat bagus buat bakar pizza, karena tahan lama dan apinya biru. Sekitar tahun 2008-2012, ia mengatakan masih ada pencurian kayu.

Di sela-sela wawancara sambil berkeliling di proyek normalisasi Tukad Mati ini, Dolphin memergoki dua laki-laki yang mencari ikan dengan menembakkan mata pisau. “Pak, nangkap ikan tak boleh nembak, saya pengawas di sini, mancing boleh. Tolong keluar dari proyek, sudah beberapa kali bapak diperingati,” teriaknya pada dua orang berbeda yang menembak ikan di lokasi berdekatan.

Menurutnya, menembak ikan seperti itu malah membuat ikan-ikan lari, merasa terancam. Ancaman lain di kawasan Tahura Mangrove ini adalah pemburu burung dan biawak.

menarik dibaca : Degradasi Mangrove Indonesia: Fenomena Dieback Pada Kawasan Teluk Benoa Bali

 

Areal Tahura Mangrove ini adalah muara Tukad Mati yang selama ini dituduh biang banjir di kawasan Kuta. Karena belasan tahun dicemari limbah sampah dan berbahaya lainnya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Matahari makin naik, air laut di sekitar Tahura mulai pasang. Kami beranjak ke sebuah tempat yang jadi lokasi sementara Kelompok Nelayan Prapat Agung. Selama proyek revitalisasi Tukad Mati, ia mengaku harus pindah lokasi. Lokasi kelompok penting karena jadi tempat pembibitan mangrove untuk program penghijauan kembali yang terus-terusan digenjot.

Tiga anak-anak terlihat membantu pekerja proyek menanam bibit mangrove di pinggiran proyek. Ketiganya kerap nongkrong dan ikut kegiatan kelompok nelayan. “Senang saja ikut,” seru Aditya.

Karena sungai diperlebar dan sedimentasinya dikeruk, sejumlah mangrove terdampak. Area inilah ditanami kembali, walau tak mudah. Dolphin bahkan kerap menyirami bibit yang tak mendapat akses air pasang. Tak sedikit bibit terlihat mati, karena ditanam di area yang masih memiliki lapisan sampah tebal dan material sedimentasi sungai.

Namun dari penanaman terakhir 5000 bibit tahun ini, menurutnya yang hidup masih lumayan sekitar 75%. “Kuta tak punya lahan hijau, sebagai paru-paru kota. Kalau punya hutan seperti ini akan berguna,” tambah pria yang pernah jadi relawan evakuasi bom Bali pada 2002. Studio tattoo-nya berdampingan dengan lokasi yang luluh lantak dibom. Pegawainya juga ada yang jadi korban.

baca juga : Tahura Mangrove: Mudahnya Merusak, Sulitnya Menumbuhkan [Bagian 3]

 

Kegiatan pembibitan untuk penanaman kembali sekitar areal Tahura yang terdampak proyek dan sampah Tukad Mati. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dengan penghargaan Kalpataru ini, ia ingin menyebarkan semangat penyelamatan lingkungan dengan membuat area edukasi dan monumen Kalpataru yang mengarsipkan perjuangan memperbaiki Tukad Mati. Namun ada hal yang perlu diantisipasi jika kawasan ini sudah tertata. Salah satunya alih fungsi lahan mangrove jadi fasilitas pariwisata.

“Sinergi jadi kawasan ekowisata berbasis lingkungan. Jika beri nilai ekonomis, maka masyarakat akan jaga,” harapnya. Ia mempersilakan pemerintah mengelola asal masih jadi kawasan hijau.

Kami pun naik boat mengeliling area Tahura sampai Teluk Benoa yang dilintasi jalan tol di atas perairan. Hutan mangrove memberi kesejukan dan kelimpahan pangan. Suara burung bersahutan terdengar lamat-lamat. Sebuah oase di pikuknya Selatan Bali ini. Tak heran banyak pihak ingin berinvestasi di kawasan ini. Sisa-sisa sampah dari Tukad Mati masih terlihat di lapisan tanah, sangat tebal sekitar satu meter karena mencemari hutan belasan tahun.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dikutip dari  antaranews.com, tengah membangun prasarana pengendali banjir Tukad (sungai) Mati yang mengalir di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam siaran pers memaparkan, program penataan dan normalisasi sungai atau Tukad Mati tersebut akan memberi manfaat dalam mengurangi risiko bencana banjir.

baca : Sedihnya Duta Earth Hour Lihat Mangrove Benoa Bali Tersisa 1%. Kok Bisa?

 

Sejak 2010, Tahura Ngurah Rai terbuka untuk pengunjung umum. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Tukad Mati memiliki fungsi utama sebagai drainase wilayah perkotaan, dengan panjang sungai utama 22,49 km. Selama ini banjir diakibatkan oleh Tukad Mati yang tidak dapat menampung debit air hujan sehingga meluap dan menggenangi wilayah sekitarnya, ditambah terjadinya air rob dari muara. Tukad Mati memiliki area genangan seluas 94 Ha dengan tinggi genangan sampai 2 meter dengan lama genangan air cukup lama yakni sekitar 4-6 jam.

Melalui Balai Wilayah Sungai Bali Penida Ditjen Sumber Daya Air (SDA) dibagi dalam dua segmen, yakni Tukad Mati Hilir dan Tengah. Pelaksanaan proyeknya dikerjakan secara bertahap melalui kontrak tahun jamak (multi years) yang ditargetkan selesai tahun 2019.

Penataan dan normalisasi Tukad Mati Hilir berada di wilayah Lingkungan Patasari, Kuta sepanjang 1,9 km dengan lebar 50 meter. Cakupan pekerjaan mulai pembangunan tanggul, kisdam, pengerukan sendimen, pembuatan jalan inspeksi, dan pembangunan bendung gerak.

Total biaya pengerjaan pengendali banjir Tukad Mati Hilir sebesar Rp183,8 miliar dengan masa pelaksanaan tahun 2017-2019. Penataan Tukad Mati Tengah dikerjakan sepanjang 4,5 Km dengan lebar 20 meter dari Jalan Gatot Subroto, Gunung Soputan, Sunset Road, termasuk melewati kawasan Legian dan Kuta.

Proyek ini ternyata punya cerita lain. Dikutip dari berita beritabali.com, proyek ini sebelumnya dianggarkan Pemkab Badung pada tahun 2014 sebesar 52 milyar, dan tender dimenangkan PT Adhi Karya. Dalam berita ini, Dolphin dikutip sebagai tokoh pemrotes dihentikannya proyek ini oleh Dinas Kehutanan. Ada permintaan kawasan itu diubah dari blok perlindungan menjadi blok pemanfaatan. Sementara warga protes karena jika proyek normalisasi gagal, takut kena banjir lagi.

Laman Kementrian LHK mengarsipkan, sebanyak 10 penghargaan Kalpataru diserahkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam Pembukaan Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta Convention Center (JCC), 11-13 Juli 2019.

Penghargaan Kalpataru adalah apresiasi tertinggi yang diberikan kepada individu maupun kelompok yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Pemberian Penghargaan Kalpataru tahun 2019 ini telah memasuki usia 39 tahun yang dimulai sejak tahun 1980 dan saat ini sebanyak 378 Penerima Penghargaan Kalpataru telah tersebar di seluruh tanah air.

 

Penerima penghargaan Kalpataru 2019, salah satunya I Nyoman Sukra atau Dolphin di paling kanan. Foto: I Nyoman Sukra/Mongabay Indonesia

 

Usulan calon penerima Kalpataru 2019 sebanyak 144 usulan dari 30 Provinsi di Indonesia. Hasil penapisan dokumen, verifikasi dan validasi lapangan, sidang Dewan Pertimbangan Penghargaan Kalpataru (DPPK), serta oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan 10 Penerima Penghargaan Kalpataru baik individu maupun kelompok.

Penerimanya yaitu: Lukas Awiman Barayap (Kabupaten Manokwari, Papua Barat), Sucipto (Kabupaten Lumajang, Jawa Timur), Eliza (Kabupaten Sumbawa Barat, NTB), Nurbit (Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara), Meilinda Suriani Harefa (Kota Medan, Sumatera Utara), M. Hanif Wicaksono (Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan), Baso Situju (Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan), Kelompok Masyarakat Dayak Iban Menua Sungai Utik (Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat), KPHA Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas (Kabupaten Merangin, Jambi), dan Kelompok Nelayan Prapat Agung Mengening Patasari (Kabupaten Badung, Bali).

 

Exit mobile version