Mongabay.co.id

Manusia Memang Kejam Pada Gajah Sumatera

 

 

Kehidupan gajah sumatera tak pernah lepas dari ancaman. Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, tiga tahun terakhir, sejumlah individu gajah sumatera mati karena ditembak, diracun maupun dijerat.

Pada 2016, tiga individu gajah ditemukan mati. Di 2017, 11 gajah liar dan satu gajah jinak mati. Tahun 2018, tercatat 11 individu mati, delapan dibunuh sementara sisanya gajah jinak milik BKSDA Aceh. Sementara 2019, gajah yang mati karena dibunuh atau dianggap hama, Januari – Agustus 2019, belum ditemukan.

Pada 2017 dan 2018, meski kematian gajah tinggi, namun hanya dua kasus yang sampai ke pengadilan hingga pelakunya dihukum.

“Kasus pertama, pembunuhan gajah jantan di Kabupaten Aceh Tengah menggunakan senjata api AK-56 yang terjadi pada 17 Juli 2017. Para pelaku divonis 10 bulan penjara,” terang Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh.

Berikutnya, pembunuh gajah jinak di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, atau dikenal Gajah Bunta pada 9 Juni 2018. Pada 20 Desember 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, memvonis dua pelaku, Amiruddin dan Alidin bersalah dan masing-masing dihukum empat tahun penjara, denda masing-masing Rp100 juta.

“Semua kematian, kami laporan ke kepolisian. Kami tidak memiliki wewenang melakukan penyelidikan,” terang Sapto, Sabtu [10/8/2019].

Baca: Lagi-lagi Jerat Pemburu! Dua Gajah Sumatera Kembali Terluka

 

Salma, anak gajah sumatera yang kena jerat Juni 2019 lalu, tengah diobati dan dirawat di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Kondisinya semakin membaik. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 2018, matinya gajah di Kabupaten Aceh Timur, tidak hanya terjadi di hutan. Tapi juga di area hak guna usaha [HGU] perkebunan sawit PT. Bumi Flora pada 12 Juli serta HGU PT. Citra Ganda Utama, 10 Agustus.

“Kasus di Bumi Flora telah dilimpahkan ke Ditjen Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hanya saja penetapan tersangka belum ada. Untuk di Citra Ganda Utama, ditangani Kepolisian Aceh Timur, tapi kami belum tahu perkembangannya,” sebut Sapto.

Baca: Foto: Salma, Anak Gajah yang Terluka Akibat Jerat

 

Dokter Hewan BKSDA Aceh melakukan nekropsi gajah liar yang mati di Kabupaten Aceh Timur, Aceh, beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tahun ini, BKSDA Aceh juga menemukan dua gajah mati dan satu anakan malnutrisi di HGU PT. Dwi Kencana Semesta, Kabupaten Aceh Timur. Konflik gajah dengan masyarakat pun masih tinggi.

BKSDA bersama Pemerintah Aceh, khususnya dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah [Bappeda] tengah menyusun master plan untuk mengatasi konflik satwa liar dengan masyarakat. Khususnya, gajah sumatera.

“Harus diingat, sebagian besar konflik gajah dengan masyarakat terjadi di luar kawasan konservasi, atau di hutan lindung, hutan produksi, dan areal penggunaan lain. Sebagian besar habitat gajah berada di daerah ini,” ungkapnya.

Baca: Akibat Jerat Pemburu, Kaki Gajah Sumatera Ini Nyaris Putus 

 

Gajah ini terluka akibat jerat di Desa Alur Kuyun, Kecamatan Reusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, pada 9 Agustus 2019. Foto: Sapto Aji Prabowo/BKSDA Aceh

 

Jerat lagi

Sapto menambahkan, jerat pemburu masih menjadi persoalan utama yang harus diselesaikan. Kejadian terbaru, satu individu kembali terluka di Desa Alur Kuyun, Kecamatan Reusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, pada 9 Agustus 2019.

“Gajah liar jantan itu berumur sekitar enam tahun. Terluka kaki kiri depan. Perkiraan tim, jerat nilon telah mengikat kakinya selama sebulan.”

Sapto mengatakan, setelah luka diobati, gajah itu dilepaskan untuk bergabung dengan kelompoknya yang berada di sekitar hutan Alur Kuyun, Kecamatan Reusip Antara. “Ini kejadian ke empat gajah terluka karena jerat selama 2019. Tiga kasus lain di Kabupaten Aceh Timur,” ujarnya.

Sapto mengakui, jerat merupakan masalah krusial penyelamatan gajah sumatera. Banyak gajah terluka bahkan terbunuh, pemburu memanfaatkan situasi konflik ini. “Penegakan hukum harus segera dilakukan, termasuk operasi pembersihan jerat di hutan,” jelasnya.

Baca juga: Aceh Timur, Wilayah Tidak Aman untuk Gajah Sumatera

 

Ragam jerat yang dipasang pemburu untuk menyakiti satwa liar di hutan. Seluruh jerat ini hasil pembersihan tim Forum Konservasi Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Minim pengungkapan kasus

Project Leader WWF Indonesia-Program Aceh, Dede Suhendra mengatakan, minimnya pengungkapan kasus pembunuhan gajah di Aceh, adalah tantangan untuk memperkuat lembaga penegak hukum.

“Komitmen sudah ada, tapi proses penegakkan hukum harus diperkuat lagi, baik itu kapasitas, sehingga ada pemahaman cukup terkait kejahatan satwa liar.”

Selain itu, koordinasi antarpenegak hukum harus ditingkatkan, seperti kepolisian, balai gakkum, dan kejaksaan.

“Misal, ketika ada gajah mati, koordinasi intens dijalankan, sehingga kasus bisa diselesaikan. Hakim juga harus ditingkatkan kapasitasnya sehingga vonis yang diberikan ke pelaku maksimal,” ujar Dede.

Dwi Adhiasto, Program Manager Wildlife Crime Unit [WCU] mengatakan, mengungkap kasus perburuan gading gajah bukan perkara mudah. Jaringannya sangat tertutup, tidak sembarang menerima barang dari orang, selain kelompoknya. “Untuk gading gajah, mereka tidak asal menjual atau membeli.”

Masalah lain, sambung Dwi, pengungkapan pembunuhan sering terkendala rusaknya tempat kejadian perkara [TKP], sehingga kepolisian kesulitan mendapatkan bukti.

“Pengungkapan pembunuhan gajah, sebagian besar sangat tergantung TKP yang tidak rusak, termasuk menemukan sidik jari. Selama ini, lokasi kejadian lebih dulu rusak sebelum olah TKP dilakukan,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version