Mongabay.co.id

Pesisir Timur Sumatera Selatan Kian Berkembang, Bagaimana Nasib Gajah?

Topan (belakang) yang menghormati Tulus (depan) sebagai pemimpin gajah di SM Padang Sugihan Sebokor. Foto: Nopri Ismi

 

 

Kawasan rawa gambut di pesisir timur Sumatera Selatan, tepatnya di Padang Sugihan, Sebokor, Air Sugihan, Tulungselapan dan Cengal, yang masuk Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir [OKI], masih ditemukan seratusan gajah sumatera, liar maupun jinak. Gajah di wilayah ini aman dari perburuan dan konflik, sebab masyarakatnya relatif menghargai keberadaan gajah.

Namun, habitat gajah terancam akibat pembangunan di pesisir timur, seperti pelabuhan dan jembatan. Selama ini, pesisir timur Sumatera Selatan merupakan wilayah koridor gajah yang menghubungkan sejumlah kelompok atau habitat gajah. Ada kelompok Cengal, Penyambungan, Sebokor, Jalur 23, dan Lebong Hitam.

Berdasarkan keterangan Jumiran, yang saat itu menjabat Kepala Resort Konservasi Wilayah XV PLG [Pusat Latihan Gajah] Padang Sugihan, pertengahan Desember 2018, sekitar 152 individu gajah hidup di lima kelompok tersebut. Kelompok Cengal [27 individu], Penyambungan [40 individu], Sebokor [11 individu], Jalur 23 [39 individu], dan Lebong Hitam [31 individu].

Baca: Gajah di Pesisir Timur Sumsel Tetap Berkembang Meski Habitatnya Terancam

 

Topan [belakang] dan Tulus [depan] yang hidup di SM Padang Sugihan Sebokor. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan gajah ini pun bertambah dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan pemantauan tim film dokumenter INFIS yang bekerja sama dengan CIFOR, lembaga penelitian, terlihat lima anak gajah liar di Sebokor, pada 10-13 Desember 2018.

Adanya anak gajah liar di kelompok gajah liar lainnya, sanga mungkin. Pada 2016 lalu, Mongabay Indonesia melihat sejumlah individu anak gajah liar di Dusun Sungai Pasir, Cengal.

Masih menurut Jumiran, banyak gajah sumatera dari PLG Padang Sugihan yang dikirim ke Jawa, Bali, Lampung, Jambi dan Sumatera Utara.

Baca: Pesisir Timur Sumsel Bukan Sebatas Gambut, Tapi Rumah Besar Makhluk Hidup

 

Azis, anak gajah yang dilahirkan di PLG Padang Sugihan, Banyuasin, Sumsel, dalam lima tahun terakhir. Foto: Yusuf Bahtimi

 

Potensi pesisir timur Sumatera Selatan menjadi wilayah terbuka di masa mendatang cukup besar. Keberadaan pabrik kertas terbesar di Asia yakni PT. OKI Pulp & Paper Mills di Sungai Baung, membuat pemukiman transmigran seperti Air Sugihan, dan pemukiman masyarakat lokal di sekitarnya, berkembang pesat.

Selain itu, ada rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Bangka di Desa Tanjung Tapa. Juga, di lokasi yang sama PT. OKI Pulp & Paper Mills, membangun sebuah pelabuhan di Tanjung Tapa.

Keramaian pesisir timur kian bertambah jika rencana Pemerintah Sumatera Selatan menjadikan Pulau Maspari, yang berada di Selat Bangka dan tak jauh dari Tanjung Tapa, sebagai objek wisata berjalan.

Baca juga: Pembangunan Jembatan Sumatera-Bangka, Bagaimana Dampak Ekologi dan Sosial Budaya?

 

Purun yang baru diambil dari rawa gambut ini diolah menjadi bahan tikar dan lainnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdamai dengan gajah

Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR, lembaga peneliti international yang banyak melakukan penelitian di kawasan pesisir timur Sumatera Selatan mengatakan, setiap pembangunan tidak harus merusak bentang alam atau lingkungan. “Jika ingin berdamai atau punya niat baik terhadap gajah sumatera, upaya menjaga habitat dan koridornya di pesisir timur Sumsel harus dilakukan,” katanya, Senin [12/8/2019].

Misalnya, jalan yang dibangun sebagai penghubung pelabuhan atau jembatan, jika melalui koridor atau jalur jelajah gajah, harus dibuat jembatan, sehingga tidak saling mengganggu. “Manusia pasti mampu melakukan itu. Bulan saja dapat dikunjungi, apalagi hanya menjaga koridor dan habitat gajah,” katanya.

Yusuf memprediksi, jika pelabuhan dan jembatan sudah terbangun akan banyak respon ekonomi dan sosial. Pelaku usaha maupun masyarakat akan membangun sejumlah infrastruktur, terutama pada jalan-jalan yang mengakses pelabuhan dan jembatan. “Mulai dari POM BBM, warung makan, penginapan, gudang, dan lainnya, yang tentunya membuat wilayah,” ujarnya.

“Oleh karena itu, pemerintah harus membuat tata ruang yang tepat dan benar. Aturan ini akan memperjelas wilayah yang boleh dikelola dan bentuknya seperti apa, dan wilayah yang harus dijaga. Wilayah yang dijaga itu termasuk habitat dan koridor gajah sumatera, gambut dalam dan hutan. Jika hal ini tidak dilakukan pasti akan terjadi konflik antara manusia dengan gajah, yang akhirnya membuat gajah dirugikan,” kata Yusuf.

 

 

Bagaimana jika gajah-gajah itu dipindahkan? “Waduh, dulu pernah dilakukan di masa pemerintahan Orde Baru pada 1982 dan ternyata gagal. Pemidahan gajah itu karena program transmigran, karena lokasi transmigran berada di habitat gajah. Gajah-gajah yang dipindahkan kembali ke habitatnya, sehingga akhirnya menjadikan Padang Sugihan Sebokor sebagai suaka margasatwa,” jelasnya.

“Jadi, solusinya terbaiknya berdamailah dengan gajah,” tegasnya.

Edi Rusman, tokoh petani Desa Perigi Talangnangka, desa yang berbatasan dengan habitat gajah di SM Padang Sugihan Sebokor menjelaskan, selama ini tidak ada konflik antara gajah dengan manusia. Selama ratusan tahun, masyarakat juga tidak pernah mengganggu wilayah gajah, begitu sebaliknya. Jika ada konflik, pasti ada program pemerintahan, seperti transmigran, atau aktivitas perusahaan yang tidak memahami atau menghargai habitat atau jelajah gajah di sini.

“Pembangunan, apa pun bentuknya jika tidak menjaga rumah gajah pasti terjadi konflik. Jadi, hati-hatilah dalam melaksanakan pembangunan,” tegasnya, Senin [12/8/2019].

 

 

Exit mobile version