Mongabay.co.id

Para Pakar Agraria sampai Organisasi Masyarakat Sipil Kritik RUU Pertanahan

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Para pakar agraria, akademisi, gerakan tani, gerakan masyarakat adat dan berbagai organisasi masyarakat sipil sampai organisasi agama, mengkritisi Rancangan Undang-undang Pertanahan, yang sedang dibahas DPR dan pemerintah dan rencana pengesahan pada September tahun ini. Berbagai kalangan ini memberikan poin-poin catatan kritis sekaligus penolakan terhadap RUU Pertanahan ini.

Indonesia, tengah mengalami lima pokok krisis agraria, yakni, pertama, ketimpangan struktur agraria tajam, kedua, konflik agraria struktural. Ketiga, kerusakan ekologis meluas, keempat, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, kelima, kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas. Sayangnya, RUU Pertanahan malah absen membahas berbagai persoalan pokok agraria ini.

Mereka nyatakan, RUU Pertahanan seharusnya menjawab lima krisis pokok agraria itu yang semua dipicu masalah-masalah pertanahan.

Baca juga: RUU Pertanahan, Sudahkan Menjawab Persoalan Agraria

Berbagai kalangan ini menilai, RUU Pertanahan tak memenuhi syarat ideologis, sosiologis dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 serta  RUU ini nyata-nyata berwatak kapitalisme.

“Dengan pertimbangan itu, kami menolak RUU Pertanahan yang tengah digodok DPR dan pemerintah, serta mendesak Ketua DPR dan presiden membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan,” bunyi  pernyataan sikap bersama mereka pada Selasa (13/8/19).

Tokoh-tokoh dan pakar agraria ini antara lain, Gunawan Wiradi (IPB), Endriatmo Soetarto (IPB), Achmad Sodiki (Universitas Brawijaya), dan Maria Rita Roewiastoeti (Konsorsium Pembaruan Agraria).

Baca juga: RUU Pertanahan, Bagaiman Perkembangannya?

Ada juga Hariadi Kartodihardjo (IPB), Bonnie Setiawan (KPA), Ida Nurlinda (Universitas Padjajaran), Muhammad Maksum Mahfoedz (PB NU), Busyro Muqoddas (PP Muhammadiyah), Noer Fauzi Rachman (Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa & Kawasan).

Kemudian, Rikardo Simarmata dan Laksmi Adriani Savitri dari Universitas Gadjah Mada, Nurhidayati, (Walhi), Mujahid Hizbullah (Sekjend Serikat Tani Indramayu), Dahniar Ramanjani, (HuMa), David Sitorus (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) serta banyak lagi.

Baca juga: RUU Pertanahan Target Selesai 2019, Berbagai Kalangan Minta Tunda

Para pakar dan tokoh dari berbagai lembaga ini menyoroti beberapa poin yang mengindikasikan RUU bermasalah.

Pertama, mereka nilai, RUU Pertanahan bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960. “Meskipun dalam konsideran dinyatakan RUUP hendak melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur UUPA, tetapi substansinya makin menjauh, bahkan bertentangan dengan UUPA 1960,” bunyi pernyataan yang rilis Selasa (13/8/19 di Jakarta.

Kedua, dalam draf RUU Pertanahan ada poin hak pengelolaan (HPL) dan penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN). HPL, selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang tegas dihapus UUPA 1960.”

 

Bagaimana nasib hutan adat yang nasih berkonflik dengan perusahaan, kalau RUU Pertanahan, sah? Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Ketiga, soal hak guna usaha (HGU). Dalam RUU Pertanahan, HGU tetap prioritas bagi pemodal besar, pembatasan maksimum konsesi perkebunan tak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.

Masalah lain, kata pernyataan sikap itu, RUU Pertanahan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila melanggar ketentuan luas alas hak.

“RUU Pertanahan juga tak mengatur keharusan keterbukaan informasi HGU, sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung.”

Keempat, kontradiksi dengan agenda dan spirit reforma agraria. Mereka menilai, ada kontradiksi antara semangat reforma di dalam konsideran dan ketentuan umum dan batang tubuh RUU Pertanahan, seperti reforma agraria dalam RUU Pertanahan dikerdilkan jadi sekadar program penataan aset dan akses.

RUU, juga tak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, pendanaan untuk menjamin reforma agraria sejati, di mana operasi negara menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang secara sistematis, terstruktur dan memiliki kerangka waktu jelas.

Lalu, tak ada prioritas obyek dan subyek reforma agraria untuk memastikan sejalan dengan tujuan-tujuan reforma agraria di Indonesia. Belum lagi, spirit reforma agraria dalam RUU itu sangat parsial– sebatas bab reforma agraria. Ia tak tercermin di bab-bab lain terkait rumusan-rumusan baru mengenai hak atas tanah–hak pengelolaan, hak milik, HGU, HGB, hak pakai– dan pendaftaran tanah, pengadaan tanah, bank tanah, maupun pengadilan pertanahan.

Kelima, kekosongan penyelesaian konflik agraria. RUU ini, tak mengatur penyelesaian konflik agraria struktural di semua sektor. RUU ini menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa, yang rencana penyelesaian melalui mekanisme win-win solution atau mediasi, dan pengadilan pertanahan.

Padahal, menurut mereka, karakter dan sifat konflik agraria struktural bersifat extraordinary crime. Ia berdampak luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis dan memakan korban nyawa. “Perlu sesegera mungkin, terobosan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria. Bukan melalui pengadilan pertanahan.”

Keenam, masalah sektoralisme pertanahan dan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dalam RUU ini bukan terjemahan dari pendaftaran tanah seperti UUPA 1960 yang berisi tentang kewajiban pemerintah mendaftarkan seluruh tanah di wilayah Indonesia, mulai desa ke desa. Tujuannya, Indonesia memiliki data agraria akurat dan lengkap guna penetapan arah strategi pembangunan nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat.

Dalam RUU Pertanahan ini, semata-mata percepatan sertifikasi tanah dan diskriminatif terhadap wilayah konflik agraria, wilayah adat, dan desa-desa yang tumpang tindih dengan konsesi kebun dan hutan.

Masalah lain, sebut pernyatan ini, cita-cita administrasi pertanahan yang tunggal–satu pintu, single land administration— sulit dicapai, bila RUU tak berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Ketujuh, pengingkaran hak ulayat masyarakat adat. Dalam RUU Pertanahan ini, tak memiliki langkah konkrit dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat atau serupa dengan itu.

Kedelapan, bahaya pengadaan tanah dan bank tanah. RUU Pertanahan ingin membentuk bank tanah, tampaknya, hanya menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur.

Andai terbentuk, bank tanah berisiko memperparah ketimpangan, konflik, melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah dan meneruskan praktik spekulan tanah.

“Ironisnya, sumber tanah bank tanah justru dari tanah negara hingga berpotensi menghalangi agenda reforma agraria.”

 

Warga memperlihatkan tanahnya yang berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Dengan ada inpres percepatan pendaftaran tanah, bagaimana dampak terhadap para petani ini?
Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

 

Jauh dari keadilan agraria dan ekologis

Sebelumnya, Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, merujuk draf RUU Pertanahan per 22 Juni 2019, substansi makin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan ekologis bagi keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.

“Dari sepanjang proses perumusan dan pembahasan, kami melihat draf terakhir ini secara kualitas bukan makin membaik, justru mengkhawatirkan,” katanya.

Awalnya, KPA mengapresiasi RUU Pertanahan. Dari sisi konsideran, posisi RUU Pertanahan tetap mengacu pada UUPA1960. Sayangnya, kata Dewi, antara konsideran dengan batang tubuh RUU ini banyak inkonsistensi dan kontradiktif.

“Dari sisi konsideran semangatnya cukup progersif, kalau dibaca pasal-per pasal justru banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip UUPA.”

Dalam RUU ini, katanya, belum menjamin perlindungan hak-hak atas tanah dari petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan atas keberlanjutan wilayah hidup mereka.

Begitu juga soal reforma agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat. RUU Pertanahan, kata Dewi, belum jelas dan konsisten hendak menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pengelolaan tanah serta sumber-sumber agraria lain yang timpang jadi berkeadilan.

“Reforma agraria itu selalu jadi bungkusan besar dalam RUU Pertanahan. Kalau kita melihat betul-betul, itu baru cangkang saja. RUU Pertanahan, bahkan tidak eksplisit menyatakan apa tujuan reforma agraria,” katanya, meskipun dalam konsideran menyatakan, menyadari ada ketimpangan struktur agraria, konflik agraria bersifat struktural, kerusakan ekologis dan lain-lain.

Dalam batang tubuh, katanya, terutama pasal mengenai reforma agraria, sama sekali tak tercermin dan sangat teknis. “Tidak ada upaya reforma agraria itu dikembalikan ke tujuan semula untuk mengatasi ketimpangan dan menjaga keberlangsungan wilayah masyarakat.”

Berdasarkan sensus 2013, petani gurem di Indonesia ada 11,5 juta keluarga. Dari tahun ke tahun, katanya, makin banyak petani gurem bahkan yang tak memiliki tanah atau hanya jadi buruh tani. Sisi lain, segelintir kelompok pengusaha perkebunan sawit menguasai tanah melalui HGU dan izin lokasi sekitar 14 juta hektar.

Selain itu, RUU Pertanahan juga tak disusun untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria struktural di sektor pertanahan. Dalam 11 tahun terakhir, katanya terjadi 2.836 konflik agraria dengan luasan 7.572.431 hektar. Ada puluhan ribu desa, kampung, pertanian dan kebun rakyat masih belum keluar dari konsesi-konsesi perusahaan.

“Tidak ada satu pasal pun dalam RUU Pertanahan ini hendak menyelesaikan konflik-konflik agraria. Pembentukan pengadilan pertanahan untuk sengketa pertanahan bukanlah jawaban,” katanya.

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, draf RUU Pertanahan banyak masalah. Dia melihat dari judul saja, tak layak untuk dilanjutkan.

“RUU ini tidak memiliki sensitivitas terhadap penyelesaian masalah agraria pada wilayah adat.”

RUU Pertanahan, katanya, mengatur pengukuhan hak ulayat dimulai dari usulan pemerintah daerah dan ditetapkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.

“Skema seperti ini, sama sekali tak menjawab persoalan. Pengakuan hak ulayat sulit karena sangat politis melalui tindakan-tindakan penetapan pemerintah.”

Padahal, katanya, UUPA memandatkan ada pengakuan terhadap hal ulayat. Sampai sekarang, dari 10 juta hektar lebih wilayah adat yang diserahkan kepada pemerintah belum terakomodir dengan baik. Bahkan, dalam kebijakan satu peta, tidak ada kementerian yang bersedia jadi wali data.

Muhammad Rifai, Ketua Departemen Penataan Produksi dan Usaha Tani Aliansi Petani Indonesia (API) mengatakan, draf RUU Pertanahan bertentangan dengan misi Presiden Joko Widodo, yang ingin membangun kedaulatan pangan dan petani.

Kedaulatan pangan, katanya, bisa tercapai kalau pemerintah menjamin ketersediaan lahan untuk petani. Kondisi ini, katanya, betolak belakang dengan isi RUU Pertanahan, malah bisa membuat petani sulit memperoleh tanah.

“Isi RUU ini tidak menjawab permasalahan mengenai berapa banyak cadangan tanah untuk pertanian. Apalagi dengan ada wacana pembentukan bank tanah. Saya khawatir, ini justtru mempersulit distribusi tanah bagi pertanian.”

Bank tanah, kata Rifai, ibarat pisau bermata dua. “Kalau dijalankan oleh orang baik, akan baik. Begitu pun sebaliknya.” Dia khawatir, bank tanah justru membuat petani sulit mendapatkan hak atas tanah.

 

Keterangan foto utama:  Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version