Mongabay.co.id

Mewujudkan Keadilan untuk Rakyat Indonesia di Pulau Reklamasi

 

Keinginan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menggelar upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di salah satu pulau reklamasi yang ada di Teluk Jakarta, menuai protes keras. Rencana tersebut dinilai sangat berlebihan, karena upacara peringatan 17 Agustus 1945 di pantai Maju atau pulau D, hanya akan melukai masyarakat pesisir di sekitar Teluk Jakarta.

Pandangan tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, Selasa (13/8/2019). Bagi KIARA, pulau D tidak selayaknya menjadi lokasi untuk upacara peringatan kemerdekaan RI ke-74. Kegiatan tersebut, akan menajamkan amarah masyarakat di sana, terutama nelayan tradisional.

“Kita mengecam Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atas rencana tersebut,” ucapnya.

baca : Walhi Desak Anies Cabut IMB di Pulau Reklamasi Jakarta

 

Proyek pembangunan pada pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta pada Februari 2016. Foto : Andika Wahyu/Antara Foto/Geotimes

 

Menurut Susan, rencana kegiatan yang akan digelar pada Sabtu (17/8/2019) itu dinilai sudah bertentangan dengan semangat kemerdekaan RI yang dikobarkan oleh para pendiri Negara. Hal itu, karena kemerdekaan RI mendorong terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara, apa yang terjadi di pulau D itu sebaliknya.

Di pulau hasil reklamasi itu, faktanya saat ini ada ketidakadilan sosial yang sudah lama hadir dan tumbuh di antara masyarakat pesisir. Dengan kata lain, rencana kegiatan Pemprov DKI tersebut menjadi bentuk pengkhianatan terhadap semangat dan nilai kemerdekaan RI.

Susan menegaskan, dengan terungkapnya rencana di pulau D tersebut, itu semakin memperjelas bahwa Anies Baswedan tidak memiliki visi untuk melakukan pemulihan Teluk Jakarta, menegakkan hukum, dan mewujudkan keadilan sosio-ekologis bagi lebih dari 25 ribu nelayan yang ada di sekitar kawasan tersebut.

“Rencana Anies Baswedan peringati HUT Kemerdekaan RI ke-74 di Pulau D menegaskan bahwa ia tidak berpihak kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional di Teluk Jakarta,” ungkapnya.

Di mata Susan, penolakan masyarakat sipil di sekitar Teluk Jakarta terhadap proyek reklamasi terus menguat dan membesar, karena mereka sudah sadar sejak awal kalau proyek tersebut bermasalah. Penolakan itu didasarkan pada sejumlah hal, yaitu hukum, sosial, ekonomi, keterbukaan informasi dan lingkungan hidup.

“Dari sisi hukum, keberadaan Pulau D jelas-jelas tidak memiliki landasan hukum,” tuturnya.

baca juga : Pulau Reklamasi Teluk Jakarta Lebih Baik Untuk RTH, Kenapa?

 

Bangunan Pulau C dan D. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Kesejahteraan Pesisir

Dari catatan KIARA, Susan menyebutkan, proyek reklamasi yang dilaksanakan di Teluk Jakarta, mengakibatkan terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan yang dilakukan para nelayan tradisional. Kondisi itu mengakibatkan munculnya penurunan ekonomi secara cepat di lingkungan masyarakat pesisir, dan disaat yang sama justru biaya operasional untuk melaut semakin mahal.

Susan menerangkan, sebelum ada proyek reklamasi, nelayan di sekitar Teluk Jakarta sudah terbiasa mendapatkan hasil tangkapan ikan minimal 25 kilogram hingga 3 kuintal/hari. Tetapi, setelah dilaksanakan reklamasi, hasil tangkapan maksimal didapat para nelayan hanya 5 kg/hari. Padahal, biaya untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) untuk operasional perahu terus membengkak.

“Tak hanya itu, kini nelayan hanya bisa mendapatkan penghasilan dari menangkap ikan sebanyak Rp300 ribu/hari. Padahal sebelum ada proyek reklamasi bisa mendapatkan penghasilan sampai dengan Rp3 juta/hari,” ungkapnya.

Oleh itu, alih-alih untuk membuat afirmasi pulau reklamasi, Susan mendorong kepada Pemprov DKI untuk bisa menyelesaikan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang ada di sekitar Teluk Jakarta. Sudah jelas, bahwa peringatan kemerdekaan RI yang sebenarnya muncul adalah peringatan hilangnya keadilan di tengah masyarakat pesisir.

“Anies justru memperkuat ketidakadilan itu,” pungkasnya.

Bagi Susan, masyarakat pesisir saat ini menunggu tindakan lebih nyata dari Gubernur DKI Anies Baswedan berkaitan dengan polemik reklamasi Teluk Jakarta. Terlebih, nasib ribuan warga DKI yang ada di sekitar Teluk Jakarta saat ini sangat bergantung pada kebijakan publik Pemprov DKI. Untuk itu, KIARA berharap Anies Baswedan bisa bertindak lebih nyata dan paham dengan masyarakat pesisir.

Dengan fakta seperti itu, Susan meminta Gubernur untuk tidak lagi beropini tentang reklamasi Teluk Jakarta di hadapan publik. Mengingat faktanya, ada ribuan warga yang terancam tempat tinggalnya di sekitar Teluk Jakarta. Sementara, disaat yang sama, Anies justru melegalkan 932 bangunan yang ada di atas pulau reklamasi dengan diterbitkan surat izin mendirikan bangunan (IMB) di pulau D.

“Lebih- lebih jika kembali ke belakang, warga Teluk Jakarta pernah memenangi gugatan atas Pemprov DKI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” tegasnya.

Oleh itu, Susan mendesak Anies untuk segera menghentikan proyek reklamasi. Hal itu, karena tidak ada pilihan lain untuk menghentikan polemik di Teluk Jakarta saat ini, selain dengan menghentikan reklamasi. Terlebih, itu juga menyangkut hak rakyat Teluk Jakarta yang bahkan telah dimenangkan oleh PTUN.

perlu dibaca : Anies Terbitkan IMB: Kemunduran Penyelesaian Persoalan Reklamasi Jakarta?

 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (7/6/2018) melihat Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta. Foto : Andrey Gromico/tirto.id

 

Simbolisasi

Diketahui, dalam keterangan yang diungkapkan kepada media di Jakarta, Rabu (14/8/2019), Anies Baswedan menyebut rencana pelaksanaan upacara kemerdekaan RI ke-74 di pulau D, merupakan simbolisasi bahwa lahan reklamasi adalah milik Negara. Simbolisasi menjadi penting, karena sebelumnya pulau-pulau tersebut terkesan eksklusif bagi masyarakat dan tidak sembarang orang bisa memasukinya.

Dikutip dari Tirto, Rabu, Anies mengatakan bahwa dia sudah mengubah kawasan pulau reklamasi, terutama pulau D menjadi kawasan milik Republik Indonesia. Untuk itu, semua orang yang berstatus penduduk DKI Jakarta atau bukan sudah bisa memasuki kawasan pulau D tanpa ada halangan ataupun larangan lagi.

“Untuk menyimbolkan ini adalah milik negara, bukan milik pribadi,” tuturnya.

Melalui simbolisasi itu, Anies ingin memberikan gambaran kepada publik bahwa pulau D yang dulunya milik pribadi atau swasta, kini sudah berubah dan sudah beralih menjadi milik Negara.

Adapun, keputusan untuk melaksanakan upacara peringatan kemerdekaan RI ke-74 di pulau D, secara resmi tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No.71/2019 tentang Upacara Pengibaran Bendera dalam Rangka Peringatan Hari Ulang Tahun ke 74 RI. Instruksi tersebut ditandatangani sendiri oleh Anies Baswedan pada 12 Agustus 2019.

Dalam Instruksi tersebut, Anies meminta seluruh pegawai di lingkungan Pemprov DKI Jakarta untuk bisa datang dan menghadiri upacara yang digelar pada Sabtu mendatang tepat pukul 07.30 WIB. Untuk tempat, seperti tertulis dalam surat Instruksi, disebutkan dilaksanakan di kawasan pantai Maju Kota Administrasi Jakarta Utara.

Sebelum ini, Anies Baswedan juga menuai kecaman dari publik, terutama dari pemerhati lingkungan dan pesisir. Salah satunya adalah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang menyorot kebijakan Anies untuk menerbitkan 932 IMB di pulau D. kebijakan tersebut dinilai salah, karena tanpa ada aturan yang menjelaskan tentang rencana tata ruang di pulau C dan D.

Hal itu diungkapkan Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata belum lama ini. Merujuk pada aturan yang berlaku, Gubernur seharusnya mengetahui bangunan yang tidak memiliki IMB, harus dibongkar sebagai bentuk sanksi administratif. Tetapi, upaya tersebut justru tidak terlihat dan sebaliknya, Gubernur menyebutkan bahwa sanksi sudah diberikan kepada pengembang berupa pemberlakuan denda.

“Itu (denda) hanya bagian dari upaya untuk memutihkan pelanggaran tata ruang di sana. Kami tetap konsisten untuk menuntut dibongkar pulau reklamasi yang sudah terbangun,” tuturnya.

 

Exit mobile version