- Lahan hasil reklamasi di Teluk Jakarta, sebaiknya dimanfaatkan dengan bijak dan tepat dengan prinsip kehati-hatian oleh Pemprov DKI Jakarta untuk kebaikan masyarakat dan alam
- Untuk bangunan yang sudah ada, sebaiknya itu dimanfaatkan untuk kepentingan publik, agar tidak menjadi mubazir. Tetapi, bangunan yang sudah ada tersebut, harus dikelola dengan sangat baik agar tidak menambah pencemaran yang sudah lama ada di Teluk Jakarta lama
- Selain bangunan, lahan hasil reklamasi bisa dimanfaatkan untuk area ruang terbuka hijau (RTH) dan untuk mengurangi pencemaran yang sangat tinggi di pesisir Jakarta
- Salah satu sumber pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta, selain karena proyek reklamasi, juga dari antropogenik yang berasal dari kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dan sekitarnya, terutama dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
Pemanfaatan lahan hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta, sebaiknya dilakukan dengan sangat hati-hati dan terencana. Jika memang diperlukan, maka lahan hasil reklamasi bisa dipergunakan untuk kepentingan publik. Namun sebaliknya, jika dinilai tidak perlu, maka lahan yang sudah ada, sebaiknya dijadikan ruang terbuka hijau (RTH).
Demikian pandangan Peneliti Kimia Laut dan Ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Reza Cordova kepada Mongabay-Indonesia, Minggu (16/6/2019). Pandangan Reza tersebut, diungkapkan untuk menanggapi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sudah menerbitkan 932 izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan-bangunan di pulau D, salah satu pulau hasil reklamasi.
Reza mengatakan, walau dia tidak mengetahui secara detail berkaitan dengan perizinan dan administrasi bangunan yang ada di atas lahan hasil reklamasi, tetapi dia menyarankan kalau seluruh bangunan yang sudah ada sekarang sebaiknya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Namun, pemanfaatan tersebut hanya terbatas untuk bangunan yang sudah ada saja saat ini.
“Untuk bangunan yang sudah ada ada, lebih baik dimanfaatkan daripada mubazir. Tetapi (bangunan) jumlahnya tidak perlu ditambah lagi,” ucapnya.
Menurut Reza, perlunya dilakukan penghentian pembangunan di atas lahan hasil reklamasi, karena saat ini DKI Jakarta sudah kehilangan kawasan RTH pesisir. Yang tersisa saat ini, adalah satu kawasan hutan bakau (mangrove) di Muara Angke dan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara. Di luar itu, DKI Jakarta praktis hanya mengandalkan RTH yang ada di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Dengan fakta tersebut, Reza mengatakan, DKI Jakarta saat ini memerlukan tambahan area RTH di kawasan pesisir. Peluang tersebut, kini terbuka lebar untuk diwujudkan di atas lahan hasil reklamasi. Jika itu bisa diwujudkan, maka kemampuan pesisir DKI Jakarta untuk mereduksi beban pencemaran pesisir bisa semakin meningkat.
baca : Gubernur DKI Jakarta Diragukan Komitmennya pada Reklamasi
Pencemaran
Besarnya pencemaran yang terjadi di kawasan Teluk Jakarta, kata Reza, menjadi bagian dari pencemaran pesisir yang berlangsung di seluruh Indonesia. Teluk Jakarta sebagai bagian dari pesisir nasional, menjadi salah satu kawasan yang proses pencemaranya berlangsung sangat cepat. Salah satu sebabnya, karena di Teluk Jakarta dilaksanakan proyek reklamasi.
Reza menjelaskan, saat proses pembentukan pulau reklamasi dilaksanakan, itu akan menambah pencemaran di kawasan Teluk Jakarta. Minimalnya, terjadi peningkatan kekeruhan air laut, padatan tersuspensi, dan padatan terlarut. Proses peningkatan tersebut, menambah beban pencemaran tinggi yang sudah ada dari sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.
“Dari sisi sampah pun juga sama, pulau reklamasi yang telah terbangun membuat adanya akumulasi sampah di beberapa titik, salah satunya di Muara angke. Maka dari itu tidak heran awal tahun lalu ada akumulasi sampah di sana dengan jumlah yang tinggi,” paparnya.
baca juga : Gubernur DKI Jakarta Langgar Aturan di Teluk Jakarta?
Dengan potensi pencemaran yang semakin meningkat di Teluk Jakarta, Reza menilai kalau pemanfaatan lahan hasil reklamasi, akan terus menuai polemik di kemudian hari. Meski pun, dia menilai kalau lahan hasil reklamasi oleh Pemprov DKI sebaiknya dijadikan sebagai area RTH saja. Mengingat, alih fungsi tersebut akan memberi manfaat yang banyak untuk lingkungan dan juga masyarakat yang tinggal dan menetap di sekitar Teluk Jakarta.
“Dengan dijadikan RTH, maka itu bisa mereduksi cemaran yang masuk ke area ini. Selain itu, RTH juga bisa menjadi tempat wisata edukasi untuk publik,” tutur dia.
Menjadikan lahan eks reklamasi sebagai RTH di pesisir Jakarta, menurut Reza, sama juga dengan memberikan solusi atas isu pencemaran yang sudah berjalan sejak lama di kawasan tersebut. Tetapi, agar tujuan itu bisa terlaksana, maka perlu dilakukan pendekatan lebih dulu melalui studi lingkungan yang komprehensif, manajemen perkotaan yang adaptif, serta perubahan sosial dari masyarakat di daratan Jakarta yang ada sekarang.
“Perubahan untuk lebih peduli terhadap lingkungan perairannya. Memang, kajian penelitian banyak dilakukan. Tetapi jujur saja antara hasil penelitian dengan kebijakan belum berjalan beriringan, jadinya pengelolaan tidak optimal,” tegasnya.
Adapun, Reza menambahkan, dari hasil penelitian yang dilakukan LIPI di Teluk Jakarta, pencemaran yang terjadi di kawasan pesisir tersebut disebabkan karena banyak masalah. Tetapi, salah satu yang terungkap adalah karena bersumber dari antropogenik yang berasal dari kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dan sekitarnya, terutama dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.
“Nah reklamasi memberikan dampak yang lebih kompleks, memang sekarang belum terlihat nyata, tetapi arus laut yang “membersihkan” polutan yang masuk ke Teluk Jakarta itu menurun kemampuannya karena terhalang oleh pulau reklamasi,” sebutnya.
perlu dibaca : Gubernur DKI Jakarta Tak Serius Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta?
Magnet Baru
Diketahui, publik dikejutkan dengan keputusan Pemprov DKI Jakarta yang menerbitkan 932 IMB di pulau D atau pulau Maju yang merupakan hasil reklamasi. Seluruh IMB tersebut diberikan untuk 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor, dan 311 bangunan lain yang belum selesai. Seluruh IMB tersebut diterbitkan dengan ditandatangani langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Penerbitan IMB tersebut menjadi kontroversi, karena setahun lalu, Pemprov DKI resmi menghentikan proyek reklamasi dan menyegel seluruh bangunan yang ada di sana. Tetapi, semua pulau yang dibangun dari reklamasi, terdapat tiga pulau yang dizinkan untuk dikembangkan atas pengelolaan salah satu badan usaha milik daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta, yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
Pulau D, menjadi satu dari tiga pulau yang berkembang menjadi magnet baru pariwisata di pesisir Jakarta. Di sana, sejak akhir Desember 2018, dioperasikan pusat kuliner yang menyajikan pemandangan langsung ke laut lepas. Wisata baru tersebut semakin berkembang hingga sekarang dan diikuti dengan 932 bangunan yang sudah mendapatkan IMB.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada akhir pekan lalu merilis keterangan resmi yang menyebutkan bahwa penerbitan IMB terbukti sudah melawan putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 yang di dalamnya disebutkan pelarangan melaksanakan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Seharusnya, dengan adanya putusan MK tersebut, Pemprov DKI mempertimbangkan penerbitan IMB di pulau eks reklamasi.
Selain putusan MK, KIARA menambahkan, proyek reklamasi di Teluk Jakarta juga terbukti melanggar sejumlah undang-undang. Seperti Undang-Undang No.27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan UU No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, polemik yang terjadi sekarang di pulau D, akan berhenti jika Pemprov DKI Jakarta berani bertindak tegas dengan menghentikan semua bentuk pembangunan di atas lahan hasil reklamasi. Dengan demikian, proyek reklamasi yang sudah dihentikan sejak 2018 lalu, akan benar-benar terhenti secara keseluruhan.
Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan bahwa penerbitan IMB sudah sesuai prosedur yang berlaku. Hal itu, karena sebelum dia menjabat sebagai Gubernur, ada sekitar seribu unit rumah yang telah dibangun tanpa IMB pada periode 2015-2017. Bangunan tersebut ada dipayungi Peraturan Gubernur No.206/2016 tentang Panduang Rancang Kota (PRK).
“Agar tidak bermasalah, maka dibuatkan IMB, dengan syarat semua sesuai prosedur yang ada,” tandasnya.
perlu dibaca : Walau Ada Indikasi Pelanggaran, Pemerintah Ngotot Cabut Moratorium Reklamasi Teluk Jakarta