Mongabay.co.id

Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

Komunitas Laman Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah, 29-30 Juli 2019 punya gawe. Mereka menerima rombongan kecil organisasi non pemerintah bidang riset dan advokasi hak asasi manusia dari Jakarta.

Di tengah kesibukan melayani tamu, Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan, dan Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, menerima undangan dari Kantor Staf Presiden (KSP), via pesan Whatsapp. Isi undangan, rapat koordinasi penanganan konflik agraria Laman Kinipan, di Jakarta Jumat, 2 Agustus 2019.

Sinyal seluler sulit di sana, pesan undangan itu tak serta-merta cepat mereka terima. Waktu mepet dan biaya tiket pesawat mahal, sempat membuat mereka berpikir panjang. Meskipun begitu, mengingat pentingnya pertemuan ini, mereka memutuskan berangkat.

Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Daftar undangan menyebutkan menghadirkan para pihak, ada Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati Lamandau, dinas-dinas terkait provinsi dan kabupaten. Para direktorat jenderal dari kementerian terkait juga masuk dalam undangan.

Bagi mereka, acara ini strategis untuk menyelesaikan sengketa lahan mereka dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Warga Dayak Tomun di tepi Sungai Batang Kawa Lamandau ini melawan usaha SML buka kebun sawit ke hutan adat Kinipan, sejak awal 2018.

“Paling tidak, aktivitas perusahaan berhenti dulu. Saat ini, bukan rimba lagi, mereka sudah masuk babas (hutan eks ladang yang banyak pohon buah-red),” kata Buhing.

Kamis (25/7/19), sebelum mereka terima tamu dari Jakarta, warga adat Laman Kinipan, mengusir eksavator perusahaan yang tengah membabat hutan. Mereka lalu memasang apa potas, sebuah tali pantangan. Secara adat potas tak boleh dilanggar.

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Mereka merekam ritual adat ini, dan menyebarkan melalui media sosial. Tercatat lebih 42.000 pasang mata yang menyaksikan video ini di laman Facebook Save Kinipan.

 

Warga Kinipan menanam pohon di lokasi land clearing PT SML. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Bupati dan gubernur absen

Akhirnya, lima perwakilan Kinipan, berangkat. Ada Hengki dan Buhing, juga Ketua PD AMAN Lamandau, dan dua warga Laman Kinipan.

Apa yang terjadi setelah pertemuan itu berlangsung? “Pertemuan ini sebenarnya tak memuaskan bagi kita. Mengingat bupati, gubernur tidak datang,” kata Hengki, setelah pertemuan di KSP.

“Sangat disayangkan. Padahal, itu rapat koordinasi. Semua pihak harus datang. Supaya jelas, terang-benderang. Penjelasan semua pihak, baik masyarakat atau bupati sangat-sangat diperlukan. Ini supaya percepatan penyelesaian konflik tidak berkepanjangan,” kata Kepala Desa Kinipan yang baru menjabat kurang setahun ini.

Warga kecewa karena orang-orang dari daerah, dari gubernur, bupati sampai dinas tak ada muncul. “Kalau di KSP, dirjen-dirjen yang diundang hadir,” kata Buhing.

Baca juga: Warga Kinipan Tanam Pohon di Hutan Adat yang Terbabat Sawit

Pemerintah daerah tak hadir, tuntutan jangka pendek Kinipan agar babat hutan dan babas alias pembersihan lahan (land clearing) oleh perusahaan setop, tak menemukan jawab.

Buhing bilang, KSP merasa bukan dalam kapasitas menghentikan land clearing. “Dibilang orang KSP, itu kewenangan pemerintah daerah. Kita tidak punya penekanan gimana. Keinginan kita, itu dihentikan!”

Buhing bilang, KSP berjanji menggelar pertemuan lanjutan dengan menghadirkan bupati, gubernur dan instansi terkait lagi. “Mereka hanya akan memfasilitasi. Ada penekanan betul-betul bupati dan gubernur harus bisa hadir dalam pertemuan selanjutnya. Artinya, akan ada pertemuan lagi.”

Warga Kinipan tetap berkeras, land clearing setop terlebih dahulu, terlebih sudah jauh masuk ke wilayah Kinipan. “Okelah, ada beberapa kali pertemuan. Tolong hentikan (land clearing-red) ini dulu. Itu maksudnya!”

Pada Oktober tahun lalu, KSP juga pernah menggelar pertemuan dengan perusahaan dan Bupati Lamandau. Pertemuan menyusul setelah lebih 200 orang Kinipan, turun gunung, menggeruduk DPRD Lamandau di Nanga Bulik. Saat itu, tak ada perwakilan Kinipan hadir di KSP. Kali ini, kala menerima undangan dari KSP memutuskan datang, malah pemerintah daerah semua absen.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

HGU di luar Kinipan

Kendati belum melahirkan solusi, Kinipan merasa pertemuan Jumat (2/8/19) itu memberikan informasi penting soal hak guna usaha (HGU) SML. Dalam pertemuan itu, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menginformasikan, HGU SML tak masuk sampai ke Kinipan.

“Ada kejelasan dari ATR BPN bahwa Kinipan secara izin HGU tidak masuk, 9.000 hektar itu Kinipan tidak masuk. Koperasi Kinipan pun tidak ada terdaftar. Katanya ada plasma. Plasma kan koperasi. Nah, ada 5.000 hektar katanya plasma. Tetapi didata tidak ada Kinipan,” ucap Buhing.

Penjelasan bahwa, Kinipan masih di luar HGU, sebenarnya pernah disampaikan SML. Haeruddin Tahir, Chief Operation SML, menyampaikan, soal itu seperti dalam berita di Mongabay, 11 November 2018.

Baca juga:   SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan

Dalam wawancara dengan Mongabay di Pangkalan Bun, 31 Oktober 2018, Tahir membeberkan, SML memperoleh izin pelepasan lahan 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan areal inti 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.

Selanjutnya, berdasarkan pengukuran kadastral (pertanahan) BPN 13 April 2017, mereka mendapatkan lahan 17.046 hektar. Di dalam itu, untuk perkebunan inti 9.435 hektar dan plasma 7.611 hektar dan HGU seluas 9.435,22 hektar. “Semua yang sudah HGU itu areal inti. Yang plasma izin lokasi, pelepasan, dan kadastral,” ucap Tahir, kala itu.

 

Tumpang tindih izin dengan wilayah adat

Pada pertemuan Senin (4/8/19) di Ruang Rapat PPAT Kementerian ATR-BPN, Kinipan diwakili organisasi pendamping mereka, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Dalam pertemuan dipimpin Husaini, Direktur Pengaturan Pendaftaran Hak Tanah, Ruang dan PPAT, Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrarian, Kementerian ATR-BPN, itu menyatakan, pengukuran terhadap permohonan HGU SML pada 13 April 2017. Hasil pengukuran itu lantas verifikasi panitia B pada 9 Mei 2017. Pada 9 Agustus 2017, SK HGU SML terbit, terbagi atas HGU inti 9.000 hektar dan plasma 5.000 hektar.

Kasmita Widodo, Kepala BRWA, dalam pertemuan itu juga tumpang susun (overlay) peta wilayah adat Kinipan dengan peta perizinan milik SML. Hasilnya, ada tumpang tindih HGU inti seluas 2.235 hektar plus 390.1 hektar dan plasma 343,8 hektar plus 720.2 hektar masuk dalam wilayah adat Laman Kinipan.

Berdasarkan catatan hasil pertemuan BRWA, AMAN dan Walhi., ATR-BPN menanyakan status hukum wilayah adat Kinipan. ATR-BPN juga bilang, saat proses pengukuran batas desa, melibatkan masyarakat setempat.

Kasmita mengatakan, peta Kinipan dibuat dengan menunjukkan batas-batas jelas, seperti nama tempat, pohon madu dan lain-lain. “Sementara batas-batas desa yang dibuat dan ditunjukkan desa lain tidak jelas,” katanya, melalui pesan singkat, Sabtu (10/8/19).

Dia juga menyebut desa-desa yang berbatasan dengan Kinipan sudah bersepakat soal batas. Pengecualian dengan Desa Karang Taba, Kecamatan Lamandau. Karang Taba merupakan salah satu dari 12 desa yang masuk dalam rencana pembukaan lahan sawit SML.

Pada 28 Januari 2019, Bupati Lamandau telah memutuskan batas antara Kinipan dan Karang Taba itu.

Keputusan ini tidak diterima Kinipan, karena menganggap proses belum selesai. Keputusan itu, tak saja tidak sesuai klaim mereka, juga menggugurkan kesepakatan dengan beberapa desa lain yang sudah tertuang dalam berita acara. “Bupati telah mengambil keputusan sepihak tanpa proses semestinya dalam penataan batas desa,” kata Kasmita.

Bupati Lamandau, Hendra Lesmana, dalam tulisan di Mongabay awal tahun itu, menyatakan, bertindak sesuai UU Nomor 6/2014 tentang Desa, dan telah menerima pelimpahan dari desa.

“Apabila desa dan desa di dalam satu kabupaten tidak bisa menyelesaikan bersama, tentu dengan ketentuan peraturan dilimpahkan ke bupati. Bupati yang akan mengambil keputusan dan penegasan,” katanya.

Soal putusan Bupati Lamandau, Kinipan, sampai kini belum tahu tertuang dalam bentuk apa. “Produknya apa? Perbup atau SK Bupati? Jadi terakhir kutanya Bagian Pemerintahan Setda Lamandau, mereka bilang, ini perbup bentuknya. Ini diverifikasi di Biro Hukum Provinsi, memerlukan waktu tahunan,” kata Hengki.

Sukarelawan Abadi, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah, Lamandau menyatakan, betul perbup masih verifikasi di Bagian Hukum Pemprov Kalteng.

“Iya, tapi belum tahu, enggak mungkinlah sampai tahunan, mudah-mudahan cepat terealiasi. Yang jelas masih dalam proses,” katanya, via telepon, Selasa (12/8/19).

  

Tanggung jawab pemerintah

Di luar kontroversi soal batas desa, izin lokasi dan pelepasan kawasan pada SML diakui sampai wilayah Kinipan. Berdasarkan pertemuan dengan ATR-BPN, Kasmita menyampaikan, IUP SML 26.000 hektar. Senada pernah disampaikan SML.

Dalam wawancara dengan Mongabay, 31 Oktober 2018, Bobi Lawi, project manager SML mengatakan, Kinipan masuk konsesi perusahaan berupa izin lokasi dan pelepasan kawasan.

“Kalau dari peta Kinipan enggak masuk kadastral. Pelepasan masuk, izin lokasi masuk. Cuma di kadastral tidak masuk,” katanya.

Keterangan ini, jadi penjelas kenapa terjadi tumpang-tindih peta izin perusahaan dengan wilayah hutan adat Kinipan. Satu sisi, perusahaan memperoleh izin dari pemerintah untuk menjalankan usaha, meski Kinipan merasa tak pernah memberi persetujuan. Sedang, usulan Kinipan mengamankan hutan melalui skema adat, belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berkomentar. “Pemerintah harus segera identifikasi secara partisipatif untuk menentukan bersama batas wilayah Kinipan sesuai sejarah asal-usul. Itu tanggung jawab pemerintah. Tidak tepat pemerintah tak tanggung jawab lalu Kinipan kemudian jadi korban.”

 

Keterangan foto utama:    Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Emban (baju merah) membacakan sikap penolakan Kinipan terhadap tata batas desa yang dianggap menggerus wilayah adat Kinipan.Fot: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version