Mongabay.co.id

Antara Kampret, Karst, Karbon dan Politik Uang

Karst Sangkulirang kala dilihat dari atas puncak Bukit Ketepu. Karst Sangkulirang termasuk ke dalam tipe bentukan tower karst karena bentuk menyerupai tower-tower yang menjulang tinggi. Foto: Lawalata IPB

 

 

 

 

 

Ketika kepedulian terhadap masa depan generasi dan keselamatan alam dianggap dungu, sedang perusakan alam adalah akal sehat, yang terjadi kekerasan terhadap mahasiswa Kalimantan Timur (Kaltim), penolak tambang dan pabrik semen di Sangkulirang Mangkalihat.

Aksi mereka April dan Mei 2019, di depan Kantor Gubernur Kaltim, menuntut pencabutan izin tambang dan pabrik semen di karts berakhir kekerasan aparat keamanan. Padahal pegunungan kapur di Kutai Timur itu tak hanya sumber air bersih, juga rumah bagi polinator dan keragaman hayati khas, situs arkeologi penting. Terutama, sistem penopang ekonomi dan sosial budaya masyarakat sekitar hingga ibu kota Kaltim, Samarinda, sekitar 420 kilometer dari wilayah karst.

Protes mahasiswa itu mewakili perasaan penduduk Kalimantan Timur yang mencintai Sangkulirang Mangkalihat di Kutai Timur, sebagai sumber penghidupan, antara lain, sebagai pemasok ikan terbesar di Kaltim.

Karst Sangkulirang-Mangkalihat, terbentang dari hulu di Kabupaten Kutai Timur hingga kawasan paling rendahpesisir Biduk-biduk, Kabupaten Berau. Biduk-biduk memasok ikan laut segar terbesar di Kaltim yang dikonsumsi warga Kota Sangata, Bontang, Samarinda hingga Balikpapan, bahkan dijual hingga Palu, Sulawesi Tengah.

Kai Mustar, nelayan dan pengepul ikan di Biduk-biduk mengatakan, hampir setiap hari bisa membawa ikan lebih 10 ton keluar dari Biduk-biduk. Pada musim barat, dia bahkan bisa mengumpulkan sekitar 18 ton hasil tangkapan nelayan tradisional. “Ikan lebih banyak dan lebih dekat ditangkap,”katanya.

Orang Kaltim, pecinta makanan bersantan dan manis gula merah, mulai kue-kue manis kelompok amparan tatak, bingka, bolu peca, hingga makanan berat seperti nasi kuning, buras, ketupat, tentu saja coto Makassar. Biduk-biduk penghasil kelapa terbesar di Kaltim.

Nasir, pengepul kelapa teman Kai Mustar menceritakan, bisa mengumpulkan 400-1.000-an biji kelapa dari kecamatan Biduk-biduk saat musim panen. Penjualan kelapa Biduk-biduk sampai ke Tanjung Selor, Sangata, Bontang dan Samarinda. Harga satu butir kelapa Rp5.000 dari penduduk desa, dijual ke konsumen di Samarinda Rp12.000. Data 2016, kebun kelapa di Biduk-biduk mencapai 1.440 hektar.

Itu baru dua hasil layanan alam Sangkulirang Mangkalihat, yang seharusnya membuat pemerintah wajib melindungi kawasan itu. Belum lagi hasil panen lada dan budidaya tanaman lain, dan keindahan alam yang menarik wisatawan tiap tahun.

Pada Juni 2019, Pulau Kanjungan, pusat wisata di Biduk-biduk, dikunjungi 1.632 wisatawan, belum lagi Labuan Cermin, Air Terjun Bidadari, Lamin Guntur, Goa Kelelawar dan ekowisata Sigending.

Mas’ud, pengurus ekowisata di Biduk-biduk memperkirakan, wisatawan hampir 10.000 orang tiap tahun, berdasarkan cacatan kasar setiap bulan.

 

Goa Lubang Tembus, sebagai pintu untuk memasuki dunia gelap sistem pergoaan. Uniknya, mulut goa ini berupa dinding yang jarang ditemukan di goa-goa di Jawa. Foto: Lawalata IPB

 

 

Alih fungsi karts & politik uang

Sayangnya, pengalaman dan pandangan Kai Mustar, Nasir dan warga lain yang tinggal di wilayah Sangkulirang Mangkalihat berbeda dengan para pejabat yang tinggal di kota-kota kabupaten, provinsi dan Jakarta. Mereka melihat gunung kapur ini bentang komoditas. Saat menjabat periode kedua Bupati Kutai Timur, Isran Noor –pejabat Gubenur Kaltim saat ini, telah menerbitkan izin usaha pertambangan  batu gamping, gypsum, lempung, pasir, batubara dan emas sejak 2009. Total 154 izin meliputi wilayah 16 kali kota Samarinda.  Sebanyak 66% izin keluar saat  dia baru menang pemilihan kepala daerah–sebagai Bupati Kutim pada 2009.

Isran dekat dengan Gubenur kala itu-Awang Farouk, mereka bahkan berpasangan memimpin Kabupaten Kutai Timur pada 2006–2008.

Modus perizinan terkait pilkada disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu cara mendulang dana politik. Politik transaksional yang melibatkan pelaku bisnis dan pejabat daerah. Transaksinya, bisa berbentuk dukungan jasa kampanye pemenangan. Ini dikuatkan laporan Litbang KPK berjudul ”Studi Potensi Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada 2015” yang memaparkan biaya menjadi wali kota/bupati mencapai Rp20–Rp30 miliar, bahkan bisa Rp20 miliar –Rp100 miliar untuk jadi gubenur.

Para calon bupati dan gubenur ini bakal tekor kalau merujuk laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mengungkap kekayaan mereka rata-rata hanya Rp 6,7 miliar. Sistem elektoral berbiaya tinggi ini pemicu transaksi perizinan pertambangan saat pilkada. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut, fenomena ini sebagai ijon politik.

Ijon politik pilkada Kutai Timur, penting disimak karena dua mantan bupati di kabupaten ini belakangan menjabat Gubenur Kaltim, Awang Faroek Ishak (2008-2018) dan Isran Noor  (2018-2023).  Saat Isran Noor menjabat Bupati Kutim pada  2009-2015, izin pertambangan, termasuk di Sangkulirang Mangkalihat, mencapai 383 atau rata-rata satu izin tiap minggu.

Data Jatam 2018, menyebutkan, puncaknya, masa sebelum atau sesudah pilkada, pada 2009, sebanyak 68 izin, bertambah 154 pada 2014 dan 161 tahun 2015.

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan (P3EK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015 menyebutkan, ada3.569.250 hektar ekosistem karst di Kaltim. Kalau luas daratan Kaltim, 12.734.691,75 hektar, sekitar 28% karst. Peraturan Gubenur No. 67/2012 menetapkan, sekitar 52% sebagai ekosistem karst di Sangkulirang Mangkalihat.

Pada 2016, Gubenur Kaltim, memperkecil kawasan lindung  geologi karst  jadi 307.337 hektar lewat Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) Kaltim. Lebih jauh, RTRW Kaltim 2016-2035 ini menempatkan 42% Kaltim sebagai wilayah pertambangan batubara (Jatam, 2019).

Sekitar 2.465.318 hektar, karst Sangkulirang Mangkalihat, diberikan kepada perusahaan kayu, perkebunan skala besar, tambang batubara dan bahan baku semen serta pabrik semen. Pertambangan mendapatkan izin paling luas.

Semangat mengubah bentang karts juga terlihat pada rancangan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kaltim, yang sedang masukan usulan dalam program legislasi daerah DPRD Kaltim 2019. Pada raperda itu, kawasan konservasi di Desa Teluk Sumbang, Kecamatan Biduk-biduk keluar dari zona konservasi perairan Kaltim.

Tempat ini akan jadi pelabuhan, wilayah lalu lintas kapal ponton batubara, dan sejumlah kapal tanker serta kapal suplai atau kargo. Tujuannya, memasok bahan baku termasuk bahan bakar Pabrik semen PT. Semen Kalimantan dan tambang PT. Gawi Manuntung serta PT. Alam Bhana Lestari. Industri ekstraktif makin leluasa bergerak.

 

Salah satu sudut Labuan Cermin di Biduk-Biduk. Foto: Edy Sudiono@TNC

 

 

Kampret dan kontradiksi karbon 

Geologis dan ahli manajemen bencana, Eko Teguh Paripurno mengungkapkan, kerusakan kawasan karst karena pertambangan sulit dan tak mungkin pulih kembali (Widyaningsih, 2017). Ekosistem karst terdiri dari bagian-bagian unik dan sensitif terhadap kerusakan lingkungan, berupa sungai bawah tanah, goa-goa dan bagian epikarst atau zona singkapan batuan karst (Ford and Williams, 2007).

Selama sistem geo-hidrologi tidak terganggu, karts tumbuh membentuk diri dan memperbesar simpanan air di dalam tanah buat menopang kehidupan di atasnya.

Geomorfologi bentang tubuh karst Sangkulirang-Mangkalihat, terdiri dari beberapa blok karst utama yaitu Blok Suaran, Merabu-Kulat, Batu Onyen, Gergaji, Sakerat, Tutunambo-Nyere, Tabalar-Domaring, dan Mangkalihat (UGM, 2016). Pada Blok-blok itu ditemukan 147 goa dan ceruk yang menyimpan jejak-jejak arkeologis sejarah peradaban manusia. Goa-goa ini rumah bagi manusia dan bukan manusia (non-human) di masa periode savana sekitar 8.000 tahun lalu hingga periode tropis setelahnya. Gambar cadas yang dibuat para pemburu-pengumpul sekitar 5.000 tahun lalu pada dinding goa ditemukan di 35 situs gua (2018).

Goa-goa itu, rumah bagi mahluk bukan manusia yang jadi kunci kestabilan sistem ekonomi dan sosial manusia, seperti, kelelawar dan walet, duo satwa pengendali serangga, penyebar benih dan pollinator atau agen penyerbukan.

Menurut The Nature Conservacy (2004), terdapat sekitar 38 jenis kelelawar di pulau Kalimantan dan ditemukan hidup tersebar pada goa-goa karst Sangkulirang-Mangkalihat. Kelelawar hidup berkoloni mencapai ratusan bahkan ribuan ekor dalam satu gua. Sekitar 70% jenis kelelawar itu merupakan pemangsa serangga, sisanya, pemakan buah-buahan.

Kelelawar dikenal dengan sebutan ‘kampret’ dalam bahasa Jawa (sebenarnya sebutan buat anak kelelawar) hampir tak pernah kita lihat di siang hari, pun malam hari jika tinggal di kota. Peran kelelawar sebagai penyerbuk bunga tumbuhan sangat bernilai, membuat hidup manusia jadi bermakna.

Kelelawar membantu penyerbukan (polinasi) tanaman buah seperti kelapa, durian, rambutan, dan lain-lain hingga bisa berbuah. Ia juga penyebar biji buah-buahan seperti jambu air, sawo, rambutan dan lain-lain serta memastikan populasi hama serangga tidak membahayakan keselamatan pohon-pohon itu. (Suyanto, 2011).

Di Kecamatan Biduk-biduk, di mana kelapa salah satu penopang ekonomi utama, hanya kelelawar yang bisa membantu penyerbukan kelapa berumur 80 tahunan yang menjulang tinggi hingga 50-an meter. Kebun kelapa salah satu wilayah favorit mereka mencari makan di malam hari, baik kelelawar pemakan serangga maupun buah-buahan. Ia mengkonsumsi serangga-serangga di sekitar perkebunan kelapa hingga populasi masih aman bagi pohon Kelapa.

Satu kelelawar bisa memangsa 1.045 serangga per malam. Selain kelelawar, walet juga penghuni goa, sejak lama menyediakan putaran ekonomi luar biasa. Pada bentang tubuh karst Sangkulirang-Mangkalihat, ada tiga goa paling banyak menghasilkan sarang walet yaitu Lubang Ranggasan dan Kulat di blok karst Merbabu Kulat dan Goa Puttak di blok karst Suaran. Ratusan kilogram sarang walet tiap musim panen, sepanjang tahun. Harga sarang walet berkisar Rp3 juta–Rp13 juta perkilogram.

Kelelawar dan walet hanya sebagian mahluk hidup yang memerlukan goa dengan kelembaban khas karena merupakan kawasan penyimpan air. Tak heran, kalau pada goa ditemukan kolam air dan sungai bawah tanah yang jadi tempat simpanan air sepanjang masa.

Bentang tubuh karst Sangkulirang-Mangkalihat, bagai tandon air raksasa yang menghidupi kawasan sekitar. Bentang tubuh karst Sangkulirang-Mangkalihat, jadi hulu dari enam sungai besar utama yang mengalir di Kutai Timur dan Berau, yaitu Sungai Tabalar, Lesan, Suaran, Bengalon, Manubar dan Karangan.

Setidaknya, delapan kecamatan di Kutai Timur—Muara Wahau, Kongbeng, Kaubun, Bengalon, Kaliorang, Karangan, Sangkulirang dan Sandaran—teraliri sungai-sungai itu. Sungai-sungai ini jadi mata air utama dan menghidupi desa-desa, pertanian, dan kebun masyarakat.

Antara izin tambang dan komitmen perlindungan, terjadi kontradiksi kalau melihat pengelolaan karst Sangkulirang-Mangkalihat. April lalu, Gubenur Kaltim menghadiri Governor’s Climate  and Forest  (GCF) Task Force 2019 di Kolumbia. Provinsi ini menjanjikan kepada dunia target pencapaian pengurangan emisi karbon 15,6% dan berkontribusi bagi pengurangan emisi Indonesia 26% pada 2030. Sedangkan, pertambangan di karts Sangkulirang, terus berlangsung bahkan makin luas. Menjanjikan penurunan emisi karbon, padahal izin di kawasan karst terus jalan, merupakan sesuatu yang bertolak belakang. Kontradiksi.

Pegunungan kapur memiliki cadangan karbon tinggi atau kandungan jumlah karbon yang tersimpan pada suatu ekosistem. Bentang tubuh karst Sangkulirang-Mangkalihat, memiliki cadangan karbon organik – berasal dari tetumbuhan di permukaan ekosistem karst dan inorganik dari volume cadangan batu gamping.

Total cadangan karbon organik dan inorganik mencapai 275.57 gigatonC, sebagian besar dari karbon Inorganik, sebesar 275.25 gigatonC. Sisanya, karbon organik 57.76 gigatonC.

Selain itu, ekosistem karst ini memiliki kemampuan menyerap karbon. Penelitian UGM pada 2018 menunjukkan, nilai serapan karbon atau jumlah nilai karbon dapat diserap mencapai 6,39 jutaton-CO2 per tahun.

Pada dasarnya, pendekatan ekonomi pengurangan emisi karbon ini saja sudah kontradiktif karena memandang bentang alam seolah hanya tumpukan senyawa karbon–komoditas baru sejak isu perubahan iklim mengglobal. Serupa dengan memandang bentang karst semata tumpukan gamping dan batubara. Cara pandang ini meletakkan manusia sebagai penguasa semesta, yang bisa memutus ruang dan waktu sejarah pembentukan batubara ataupun karbon, dan hubungan dengan bagian alam lain. Ia juga menghapus bagaimana ikatan-ikatan biologis dan sosial yanng terbentuk antara alam, manusia dan bukan manusia di sekitar ribuan bahkan jutaan tahun.

Sebenarnya, tak sedikit rujukan penelitian tentang manfaat karst pun tentang daya rusak tambang batu gamping dan pabrik semen. Seperti negara-negara produsen semen terbesar dunia macam Tiongkok, Amerika dan India.

Shraddha dan Nehal (2014) peneliti dari University of Petroleum and Energy, Uttarakand India menemukan, dampak lingkungan dan kesehatan serta emisi dari pabrik dan tambang semen di India berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat.

Pabrik semen merupakan salah satu kontributor utama pemanasan global dan perubahan iklim serta menjadi penyebab masalah kesehatan.

Daur pembuatan semen membutuhkan banyak bahan bakar fosil dan menghasilkan emisi karbon sangat besar. Daur pembuatan semen menghasilkan pencemaran termasuk emisi beracun yang membawa zat karsinogen (zat penyebab penyakit kanker), mutagen (zat yang mampu meningkatkan frekuensi mutasi gen), imunotoksin (senyawa kimia yang bisa menyebabkan kegagalan fungsi dari sistem imunitas), racun pernapasan, dan racun neurologis (menyebabkan kerusakan pada sistem syaraf).

Penelitian lain, Eamare RE and Singh OP dari Departemen Study Lingkungan North-Eastern Hill University India (2016) tentang dampak tambang batu gamping terhadap lingkungan sekitar di Meghalaya, India. Proses penambangan batu kapur menyebabkan tutupan hutan hilang, polusi pada air, tanah, serta udara. Flora dan fauna endemik penghuni ekosistem asli wilayah itu juga terganggu bahkan hilang. Tambang juga menyebabkan erosi tanah, ketidakstabilan masa tanah dan batuan, serta perubahan bentang alam dan degarasi lahan pertanian.

Pada akhirnya cukup mudah membedakan siapa yang belajar dan siapa yang dungu dalam kasus protes perusakan kawasan Sangkulirang Mangkalihat. Kai Mustar, Nasir, Mas’ud, kelelawar, walet, ikan-ikan, pohon kelapa dan buah buahan serta mata air di kawasan Sangkulirang Mangkalihat, mengajarkan betapa penting menyelamatkan karst Sangkulirang Mangkalihat, seperti disuarakan protes mahasiswa Kaltim. Protes dan ratusan studi mungkin tak cukup bagi mereka yang bebal dan haus kekuasaan.

 

*Penulis:  Sarah Agustio, aktivis TKPT/Jatam & Siti Maimunah, mahasiswa program doktoral di Universitas Passau-Jerman

 

Keterangan foto utama:  Karst Sangkulirang kala dilihat dari atas puncak Bukit Ketepu. Karst Sangkulirang termasuk ke dalam tipe bentukan tower karst karena bentuk menyerupai tower-tower yang menjulang tinggi. Foto: Lawalata IPB

Labuan Cermin yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga sensasi danau dua warna. Foto: Yustinus S. Hardjanto

 

 

Exit mobile version