Mongabay.co.id

Melindungi Jejak Penyerap Karbondioksida di Kawasan Pesisir

 

Tanaman bakau yang tumbuh di wilayah pesisir memiliki potensi sangat besar untuk menyerap karbondioksida (CO2) yang ada di wilayah udara bumi. Potensi tersebut akan semakin besar, karena tanaman bakau biasanya tumbuh secara bersama dalam jumlah berkelompok dan membentuk kawasan hutan di pesisir pantai.

Kemampuan tersebut sudah diakui oleh Pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, tanaman bakau oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai sebagai salah satu ekosistem pesisir yang bisa bersinergi dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim. Hutan bakau, memiliki kemampuan untuk menyimpan emisi gas rumah kaca (GRK) lima kali lebih banyak dibandingkan hutan daratan.

Hal itu diungkapkan Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal atau Satgas 115 Mas Achmad Santosa saat berada di Amsterdam, Belanda, pekan lalu. Dalam keterangan resmi yang dikirimkan ke Mongabay, dia menyatakan kalau Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kawasan bakau terluas di dunia, yakni seluas 3,5 juta hektare.

“Saat ini rehabilitasi hutan mangrove sudah menjadi prioritas nasional,” ucap dia saat menjadi Sherpa Indonesia untuk memimpin perwakilan Indonesia pada Sherpa High-Level Panel for A Sustainable Ocean Economy (HLP) ke-5.

baca : Indonesia Kembali Serukan Blue Carbon Untuk Penanganan Perubahan Iklim

 

Indonesia memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Achmad menjelaskan, luasnya kawasan hutan bakau yang ada di Indonesia, menjadikan Nusantara sebagai pemilik seperempat luas hutan bakau di dunia. Dengan status tersebut, maka sudah seharusnya Negara menjaga hutan bakau sebagai salah satu program prioritas, seperti yang sudah dilakukan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dengan program perhutanan sosial.

Sebagai tanaman yang memiliki potensi sangat besar dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim, terutama dalam menyerap emisi GRK, Achmad menyebutkan kalau sekitar 22 persen hutan bakau yang ada di Indonesia statusnya sudah dilindungi dan ada dalam kawasan konservasi. Seluruh hutan bakau yang sudah dilindungi tersebut memiliki kemampuan memyimpan emisi GRK sebesar 0,82-1,09 giga ton per ha.

Akan tetapi, potensi besar tersebut, diiringi fakta bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017.

 

Penyerap CO2

Mengingat besarnya potensi yang sangat besar tersebut, Achmad mewakili Indonesia menyuarakan pentingnya bakau untuk perubahan iklim. Dia mengajak negara-negara yang hadir dalam panel HLP untuk bisa berkomitmen melaksanakan restorasi dan rehabilitasi hutan bakau sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim.

Ajakan untuk berkomitmen disuarakan Achmad, karena dia menilai kalau negara-negara panel HLP semuanya memiliki kawasan hutan bakau. Adapun, enam dari empat belas negara anggota HLP, adalah Indonesia, Kenya, Australia, Meksiko, Jamaika, dan Ghana bahkan diketahui memiliki kawasan hutan bakau yang besar.

“Apabila digabungkan, luas kawasan mangrove yang dimiliki oleh keenam negara tersebut meliputi satu per tiga dari luas mangrove dunia atau sekitar 5,4 juta hektare,” tuturnya.

baca juga : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

 

Wisatawan menikmati hutan mangrove di Pulau Mangare, Gresik, Jatim. Salah satu jenis tumbuhan mangrove itu adalah api-api (Avicennia sp.). Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Achmad, ajakan untuk berkomitmen tersebut selanjutnya bisa diumumkan sebagai bagian dari deklarasi Call to Ocean-Based Climate Action pada UN Climate Action Summit di New York pada 23 September 2019 mendatang. Selain di Amsterdam, pertemuan negara HLP di waktu bersamaan juga dilaksanakan di Canberra, Australia.

Diketahui, Call to Ocean-Based Climate Action merupakan deklarasi terbuka yang mengajak negara-negara untuk mulai memperhatikan upaya pengurangan emisi dari laut. Dokumen deklarasi tersebut berisi rekomendasi aksi yang perlu dilakukan dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim.

Di antaranya, adalah konservasi ekosistem laut dan wilayah pesisir; pemanfaatan energi terbarukan lepas pantai; peningkatan konsumsi protein alternatif rendah karbon yang berumber dari laut; pengurangan emisi dari industri kelautan (seperti industri pelayaran, pariwisata, dan perikanan); dan penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut dan wilayah pesisir.

Call to Ocean-Based Climate Action tersebut saat ini sedang dalam proses persetujuan oleh masing-masing Kepala Negara/Pemerintahan anggota HLP,” jelas dia.

Selanjutnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan segera mengundang Kemenko Kemaritiman, Kemenko Perekonomian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk merumuskan dan meneguhkan komitmen Indonesia dalam penyelamatan mangrove sebagai sumber daya alam penyerap emisi GRK tinggi.

menarik dibaca : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Mangrove tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga memberi kehidupan untuk semua makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain tanaman bakau, kawasan pesisir juga menjadi kawasan penting untuk mitigasi perubahan iklim. Hal itu, karena di sana ada padang lamun yang juga memiliki kemampuan serupa untuk menyerap dan menyimpan karbondioksida. Hal itu ditegaskan oleh Peneliti Biogeokimia Pusat Penelitan Oseaonografi (P2O LIPI) Aan J Wahyudi belum lama ini.

Ia menerangkan, padang lamun di Indonesia memiliki kemampuan menyerap karbondioksida sampai 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun. Kemampuan menyerap sebanyak itu, berasal dari padang lamun seluas 293.464 hektare.

 

Padang Lamun

Seperti halnya bakau, Aan menyebutkan bahwa kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan. Dalam setiap hektare padang lamun, dari hasil penelitian LIPI, kemampuan menyerap karbon diketahui bisa mencapai 6,59 ton per tahun.

“Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di daratan,” jelasnya.

Dengan fakta itu, Aan menyebutkan, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77 persen lebih banyak dari vegetasi daratan seperti hutan. Untuk bisa menyerap karbon sebanyak mungkin, maka kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan.

“Di laut, mangrove dan lamun bisa diandalkan untuk melakukan tugas itu. Vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50 persen penimbunan karbon di sedimen,” jelasnya.

perlu dibaca : Lestarikan Mangrove Sama Dengan Menunda Perubahan Iklim. Kok Bisa?

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya menjaga dan mempertahankan ekosistem mangrove, juga dikampanyekan oleh Kemenko Kemaritiman. Manfaat yang banyak dari bakau, membuat tanaman tersebut wajib untuk dijaga oleh siapa pun dan sampai kapan pun. Terlebih, karena bakau juga memiliki kemampuan sangat besar untuk menyerap CO2 dan ikut membantu proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara nasional.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim Agung Kuswandono mengatakan, Indonesia harus memperhatikan ekosistem bakau, karena pemanfaatannya sudah banyak dilakukan. Bahkan, saat ini ada 1,8 juta ha hutan bakau yang hilang.

“Yang menangani mangrove di Indonesia luar biasa banyak, mestinya 1,8 juta hektar tadi bisa kita selesaikan rehabilitasinya, tapi kejadian itu sampai saat ini belum terjadi. Kalaupun kita menanam mangrove, maka sifatnya masih seremonial, sifatnya masih terkotak-kotak di daerah-daerah tertentu, sedangkan tingkat kerusakannya, menyeluruh dari Sabang sampai merauke,” tegas dia.

Agar proses rehabilitasi hutan bakau bisa berjalan baik, Agung menyebut kalau peran regulasi seperti peraturan daerah (Perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) akan sangat diperlukan. Itu akan menjadi pendekatan baru dalam menjaga dan mempertahankan kawasan hutan bakau di seluruh Indonesia.

Dengan adanya RZWP3K, maka pemetaan konservasi hutan bakau akan bisa dilakukan dengan lebih mudah di semua daerah. Setelah itu, baru ditetapkan melalui Perda akan seperti apa pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dan disesuaikan dengan peruntukannya.

“Mana untuk industri, mana untuk mining, mana untuk pariwisata, ekosistem, atau perbaikan lingkungan, dan seterusnya,” tandas dia.

Sejauh ini, Agung menyebutkan, baru 22 provinsi dari total 34 provinsi yang sudah menyelesaikan pembuatan Perda RZWP3K. jika sudah berhasil menyelesaikan, ada manfaat yang sangat banyak dalam penataan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, diharapkan juga tidak ada lagi tumpang tindih peraturan di kawasan tersebut.

“Jika sudah selesai, tidak ada lagi ijin membuat tambang di hutan lindung, membuat tambang di hutan konservasi,” pungkas dia.

 

Exit mobile version