Mongabay.co.id

Kuat Nuansa Pebisnis, Minim Urus Masalah Rakyat, Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Berbagai pihak menyuarakan penolakan atas rencana pengesahan Rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU Pertanahan). Mereka menilai, rancangan hukum ini lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha besar, daripada membahas berbagai permasalahan besar, seperti ketimpangan struktur agraria, kerusakan lingkungan, sampai penyelesaian konflik lahan. RUU ini juga melihat tanah hanya urusan administrasi dan komoditas ekonomi semata, mengabaikan fungsi lain seperti ekologi dan sosial. Berbagai kalangan inipun menolak pengesahan RUU Pertanahan dan meminta pembahasan ulang.

Baru-baru ini, Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kelapa BPN, bahkan mengusulkan agar umur hak guna usaha (HGU), lebih panjang lagi jadi 90 tahun dalam tiga periode. Rinciannya, periode pertama 35 tahun, dan kedua 35 tahun, dan pemberian hak ketiga 20 tahun. Dalam aturan sebelumnya, HGU untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menyebut, dalam RUU Pertanahan saat ini, terkandung semangat menghilangkan hak-hak masyarakat. Semangat RUU Pertanahan, katanya, hanya menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi dan urusan administratif.

“Ini menghilangkan fungsi yang melekat pada tanah itu sendiri. Tanah hanya dilihat sebagai komoditas ekonomi, tidak dilihat sebagai fungsi sosial, budaya, spiritual, termasuk fungsi ekologis. Ini hal mendasar yang berbahaya. Apalagi ini diperkuat dengan pengusulan soal bank tanah,” kata Yaya, panggilan akrabnya, di Jakarta, belum lama ini.

RUU Pertanahan, katanya, kuat mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar. Monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar banyak diatur dalam RUU ini. Hal ini tercermin dalam pasal mengenai hak pengelolaan instansi pemerintah dan rencana bank tanah.

“Kemudian untuk pemegang izin yang melebihi HGU, itu bisa didaftarkan. Padahal, saat ini ada 1,8 juta hektar perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Ini ilegal, melanggar hukum dan diupayakan untuk diputihkan. Ini tendensi yang berbahaya,” katanya.

Dia menyisalir, ada upaya memutihkan perkebunan sawit ilegal di dalam kawasan hutan lewat UU ini.

“Pemerintah harus dikiritisi. Kami menolak draf saat ini dan meminta pembahasan RUU ini diundur pada periode selanjutnya dengan melibatkan seluas mungkin pihak yang berkaitan dengan isu sumber daya alam dan agraria.”

 

Ada yang menunggangi?

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, tanah tak bisa lepas dari aspek sosial dan lingkungan. Dalam rumusan RUU Pertanahan, katanya, haeus ditunjang dengan konstruksi norma yang memastikan pembangunan berkelanjutan.

“Banyak tragedi lingkungan itu sumber ada di pertanahan. Kalau kita lihat dulu ada bencana di Sulawesi Tengah yang mengakibatkan banyak kampung hilang. Ini mekanisme seperti apa? Tidak tercover dalam suatu norma terkait perundang-undangan ini,” katanya.

Dia bilang, ada indikasi state capture dalam perumusan RUU Pertanahan. Seharusnya, isi RUU Pertanahan itu bisa terhindar dari konflik kepentingan. Tanah, kata Hariadi, seharusnya bisa terdistribusi sesuai norma.

“Ada persoalan alokasi sumber daya, kerugian-kerugian dan konflik kepentingan yang dibiarkan. State capture ini dimensinya banyak. Intinya, sekelompok orang tertentu menggunakan kewenangan negara untuk kelompoknya. Bisa menggunakan pasal-pasal di perundang-undangan, perizinan, peraturan menteri, perda dan lain-lain,” katanya, seraya bilang, kondisi ini, bisa mempengaruhi political will, transparansi, dan kepentingan yang tak terkendali.

 

Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Hal paling kentara dalam RUU Pertanahan, katanya, soal pemutihan lahan. Meski tak ada pernyataan kuat, tetapi dalam substansi RUU Pertanahan, mengandung hal itu.

“Hal yang tidak pernah dikemukakan itu landasan pemikiran awal. Draft tahun 2017, sebenarnya bagus sekali substansi naskah akademiknya. Jadi UU Pokok Agraria tidak hilang, lalu ada RUU Pertanahan. Makna, UU Pokok Agraria itu lex generalis, yang memayungi semua hal yang berkaitan tetapi sangat normatif hingga harus dijabarkan dengan regulasi lain lebih lanjut.”

“Kelemahan-kelemahan UU Pokok Agraria terkait pertanahan, itulah yang dimasuki RUU Pertanahan. Tetapi kalau kit abaca Pasal 1, mengenai definisi tanah dan pertanahan, itu seperti ngambang.”

Implikasinya, muncul keraguan dari berbagai kementerian mengenai hak pengelolaan, ruang dan kawasan. Dalam draf RUU Pertanahan ada klausul soal ruang yang sebenarnya diatur dalam UU Tata Ruang. Klausul kawasan juga banyak sekali disebut.

“Saya lihat juga ada beberapa menteri sudah kirim surat ke presiden untuk mempertanyakan hal itu. Sebenarnya ini agraria atau tanah?”

“Ketika kita lihat pasal lima dan turunan ke bawah, setiap izin dari semua sektor kawasan bukan ruang seperti Energi dan Sumber Daya Mineral, harus melaporkan kepada Menteri ATR/BPN untuk jadi sistem pendaftaran tanah nasional. Ide sistem pendaftaran tanah nasional sebenarnya sudah dari dulu. Tetapi sifatnya waktu itu adalah resiprokal. Bukan ada satu menteri tertentu yang menguasai itu,” katanya.

Hariadi menyebut, ada beberapa kelemahan dalam RUU Pertanahan, seperti pemegang HGU yang menguasai tanah melebihi izin. Dalam hal ini, status tanah langsung menjadi hilang berganti dengan tanah yang dikuasai negara dengan status hak pengelolaan.

“Pasal ini mengarah pada pemutihan lahan. Seolah menguasai fisik tanah melebihi haknya, menjadi bukan kesalahan pemegang HGU,” katanya.

Selain itu, terkait bank tanah yang akan dibentuk meskipun menyebutkan tujuan untuk kepentingan umum dan non profit, tetapi isi tidak berkaitan untuk melindungi tanah sesuai fungsi perlindungan lingkungan hidup.

“RUU Pertanahan ini sebaiknya ditunda dan dilanjutkan pembahasan pada periode DPR selanjutnya. Pembahasan saat ini tidak efektif. Harusnya dimatangkan dulu dan dibahas holistik di periode berikutnya,” katanya.

 

Ancaman bagi petani dan nelayan

Dari gerakan petani dan nelayan juga bicara. Erni Kartini, Divisi Hukum Serikat Petani Pasundan (SPP) mengatakan, kepastian hak atas tanah untuk rakyat terutama petani, nelayan, dan masyarakat adat masih belum terjamin dalam RUU ini. Begitu juga soal keberlangsungan tanah sebagai alat produksi pangan terancam.

Nuansa kepentingan dalam penyusunan RUU Pertanahan, katanya, masih didominasi pihak bermodal dan memiliki kekuasaan politik cukup besar.

“Kami yang masih termarjinalkan seperti ini lagi-lagi harapan tipis untuk bisa dilindungi dalam mendapatkan hak atas tanah. Belum ada jaminan yang bisa melindungi kami bagaimana menguasai tanah dan produksi agar produktif memenuhi hak atas pangan. Bagaimana kami bisa menanam kalau tanah sendiri masih belum jelas?” katanya, baru-baru ini di Jakarta.

Hak tanah dan mekanisme penyelesian konflik, kata Erni, masih belum jelas dibahas dalam RUU Pertanahan. Kondisi ini bikin para petani cemas.

 

Imran, memegang dua tuna hasil tangkapan di Perairan Wawonii. Penghasilan ikan dari rutinitas nelayan mencapai 15 ton perbulan. Hidup mereka terancam kala lahan-lahan di pulau ini sudah terbagi-bagi dalam izin buat perusahaan yang diberikan pemerintah daerah. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Dia minta pengesahan penundahaan pengesahan RUU ini. Erni mendesak, ada perumusan kembali terkait hal-hal substansial dalam RUU Pertanahan. Isi RUU Pertanahan, katanya, perlu dibahas kembali secara seksama dan bersama-sama.

Menurut dia, isi RUU Pertanahan belum mewakili kepentingan petani tetapi rentan dominasi kepentingan korporasi dan penguasa.

Terkait penyelesiaan konflik, katanya, perlu dibentuk badan penyelesaian konflik atau peradilan pertanahan seperti yang pernah ada. Jadi, kasus pertanahan tak dibawa ke pengadilan umum. Kalau konflik pertanahan ke peradilan umum, maka masyarakat rentan kalah.

Kalau draf ini jadi UU, katanya, berpotensi menambah permasalahan. Bukan memberikan kepastian hak bagi rakyat, malah merebut. “Kami sepakat, ini perlu ditunda dan dirumuskan kembali dengan melibatkan pakar agraria dan masyarakat sipil secara langsung.”

Erni menyayangkan, minim keterlibatan para pakar agraria dalam proses pembuatan atau perumusan RUU Pertanahan ini. Begitu juga partisipasi rakyat langsung yang berkepentingan terhadap tanah ini juga kurang.

“Saat awal dibahas, proses RUU ini masih cukup baik. Bagaimana rakyat diakui untuk berpartisipasi hingga bisa mengetahui maksud dan tujuan bagaimana RUU Pertanahan dibuat. Juga bagaimana anggaran dan lain-lain. Di tengah jalan, kok jadi seperti ini? Proses perumusan RUU Pertanahan ini jadi tertutup,” katanya.

Susan Herawati, Sekjen Kiara mengatakan, RUU Pertanahan tak melihat obyek agraria secara utuh. Isinya, belum mencerminkan solusi penyelesaian konflik agraria yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Sekarang ada zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang notabene ini tak membenahi konflik-konflik di pesisir. Ini akan diperparah dengan RUU Pertanahan.”

Kalau spirit RUU Pertanahan kemudian didorong jadi hak pengelolaan, katanya, akan terjadi peningkatan konflik agraria di peisisr dan pulau-pulau kecil.

“Di pesisir, investasi terbesar sekarang ini kawasan strategis nasional pariwisata. Darimana kita mau melihat keadilan dalam RUU Pertanahan kalau dalam konteks paling mendasar saja, tak terjawab dalam perlindungan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil?”

Menurut Susan, spirit dari RUU Pertanahan tak sesuai dengan UU Pokok Agraria. Bahasan soal reforma agraria minim.

“RUU jangan disahkan dulu. Kalau spririt masih terus kejar setoran dan belum berbicara atas nama rakyat. Kalau ini tetap sah, membuat nelayan makin tidak berdaya.”

Puspa Dewi, Katua Solidaritas Perempuan mengatakan, tanah bukan hanya memiliki nilai ekonomi tetapi nilai politik, sosial dan ekologis. Soal tanah, katanya, juga erat kaitan dengan kepentingan perempuan.

“Ketika berbicara tanah, selama ini ada ketimpangan. Bagi kami, bukan hanya soal ketimpangan sosial, juga ketimpangan penguasaan antara perempuan dan laki-laki. Catatan kami, 80% penguasaan tanah itu atas nama laki-laki. Ini punya implikasi pada penentuan, pemanfaatan dan pengelolaan tanah,” katanya.

Josi Khatarina, Peneliti Senior Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, RUU Pertanahan seharusnya mampu menjawab masalah ketimpangan struktural penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Selama ini, penguasaan tanah bertumpuk di sedikit orang atau grup perusahaan tertentu.

Sayangnya, dalam draf RUU Pertanahan, dalam menjawab ketimpangan struktural, pembatasan maksimum tanah meskipun sudah ada, namun sumir. Kondisi ini, katanya, berpotensi mengakibatkan pengaturan reforma agraria jadi tak operasional.

“Pasal 154 dalam draf RUU ini berpotensi melanggengkan pelanggaran hukum. Pengampunan atas kesalahan masa lalu. Jangka waktu dan operasionalisasi dari aturan ini juga tidak jelas hingga kesalahan masa lalu dapat terus menerus diampunkan,” kata Josi.

Selain itu, ada tumpang tindih peraturan kehutanan dan pertanahan. Di Pasal 64, sudah menuju ke single land administration tetapi setengah hati. Obyeknya, sudah mencakup izin tetapi proses registrasi hanya mencakup obyek tanah. Padahal, tidak semua izin mensyaratkan hak atas tanah.

“Masih banyak pasal-pasal yang tidak sinkron. Misal, pasal pelanggaran tata ruang diancam sanski administrasi, sementara pada UU Penataaan Ruang dan Perkebunan diancam pidana,” katanya.

Terkait penyelesaian konflik, RUU ini meletakkan harapan terlalu besar pada pengadilan, tanpa diikuti mekanisme pro aktif dari negara yang selama ini kebijakan mereka turut menyumbang berbagai konflik agraria.

“Tidak ada klausul keterbukaan informasi dan perlindungan data pribadi yang kuat. Diskresi diberikan terlalu besar pada Kementerian ATR/BPN hingga berpotensi melanggengkan konflik.”

Selain itu, prosedur penyusunan RUU ini juga minim partisipasi publik. RUU Pertanahan, dianggap menutup mata pada berbagai masalah hukum dalam praktik, hingga aturan tidak antisipatif. Risiko aturan tak operasional, mudah disalahgunakan, dan hanya menguntungkan kelompok mampu.

“Misal, soal minimnya bukti tertulis atas kepemilikan tanah, atau sengkarut tanah adat. Dalam Pasal 153 RUU ini hanya memberikan waktu lima tahun untuk penyelesaian tanah adat.”

Belum lagi, katanya, soal fungsi ekologis tanah tidak ketat diatur, misal, Pasal 20, mengatur hal ini tetapi tak memiliki instrumen hukum jelas dan tak ada sanksi.

 

Manggala Agni Tinanggea Konawe Selatan, melakukan pemadaman api dalam wilayah HGU. Foto: Manggala Agni

 

 

Kado istimewa buat pebisnis?

Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengatakan, DPR lewat RUU Pertanahan ibarat sedang berusaha memberikan kado istimewa kepada taipan dan korporasi perkebunan sawit sebelum masa jabatan mereka selesai.

RUU ini, katanya, dipandang hendak melegalkan 378 korporasi sawit di dalam kawasan hutan seluas 1,8 juta hektar di Riau. Padahal, hal ini mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp34 triliun per tahun karena tidak membayar pajak.

“Jika ini terjadi, otomatis hutan alam tersisa di Riau akan kembali gundul, dampaknya pembakaran besar-besaran terjadi di musim kemarau, banjir besar kian melanda di musim hujan,” kata Made.

RUU Pertanahan bertentangan dengan aturan sektoral lain. Sarat konflik kepentingan antar kementerian terkait dan korupsi.

Kalau RUU Pertanahan sah, perusahaan akan mudah mengajukan kawasan hutan untuk dapat 20%. Di Riau, 370-an perusahaan sawit beroperasi ilegal di atas kawasan hutan seluas 1,8 juta hektar.

RUU ini, katanya, juga memaksaan untuk melegalkan kejahatan kehutanan korporasi perkebunan sawit.

Temuan Pansus Perizinan DPRD Riau 2015 dan hasil kajian KPK pada 2016 menemukan 370 korporasi sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa izin pelepasan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada Pasal 154 dalam RUU Pertanahan, katanya, bisa dengan mudah melegalkan korporasi itu. “Bukan saja kejahatan kehutanan, korporasi yang melebihi HGU atau tanpa HGU sekalipun dengan mudah langsung diberikan status HGU ditetapkan oleh Menteri ATR/BPN. Tanpa mempertimbangkan itu kawasan hutan,” katanya.

Selain itu, kata Made, RUU Pertanahan juga membuka ruang korupsi. Ia memberi Kewenangan kepada Menteri ATR/BPN dalam Pasal 35 dan Pasal 150, yang intinya hendak menghilangkan perbuatan melawan hukum kehutanan.

“Ini jalan yang selama ini dicari-cari oleh korporasi sawit, melegalkan lahan mereka dengan cara cepat.”

Dalam draf RUU Pertanahan juga tidak tegas menyebut kalimat lepaskan kawasan hutan, baru izin pertanahan terbit. Hanya pada HGU dan hak pengelolaan yang menerapkan pasal dilepaskan dulu dari kawasan hutan, baru izin pertanahan terbit.

“Harusnya RUU ini tegaskan saja dalam pasal bahwa hak atas tanah dalam kawasan hutan dapat diberikan setelah mendapat izin pelepasan dari menteri terkait. Penyusunan RUU ini termasuk naskah akademiknya tidak memperhatikan kondisi lapangan, seperti di Riau.”

Temuan Jikalahari, selama 17 tahun terkait hutan terus ditebang antara lain, untuk perkebunan sawit, selain hutan tanaman industri. “Hutan-hutan alam tersisa di kawasan konservasi, hutan lindung termasuk di dalamnya. Kawasan hutan yang masih memiliki hutan alam juga masuk dalam 378 perusahaan sawit ilegal itu.”

RUU Pertanahan, katanya, juga tak sejalan dengan komitmen presiden terkait Inpres Moratorium Hutan dan Lahan juga Inpres Moratorium Sawit, maupun bertolak belakang dengan komitmen Kesepakatan Paris.

“KPK harus segera mengawasi ketat pembahasan RUU Pertanahan di tengah jelang masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 segera berakhir. RUU Pertanahan tidak sejalan dengan Kajian KPK terkait Sawit tahun 2016.”

Dia juga meminta, presiden mengevaluasi kinerja Menteri ATR/BPN karena pasal-pasal dalam RUU Pertanahan justru merugikan pemerintahan Indonesia dalam Kesepakatan Paris.

“Cabut pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat pelestarian hutan. Menteri Lingkungan juga harus menolak RUU Pertanahan karena hendak melegalkan 370 perusahaan sawit di Riau dalam kawasan hutan, termasuk mengalihkan konflik tenurial yang berpengaruh terhadap pelestarian hutan di Riau.”

Romes Irawan Putra, Direktur Kaliptra Sumatera dan Koordinator Simpul Jaringan Gambut Riau mengatakan, RUU Pertanahan justru akan menimbulkan konflik baru dan makin memperlebar ketimpangan kepemilikan lahan di Riau.

RUU ini, katanya, juga jauh dari semangat reforma agraria dan bertolak belakang dengan semangat UU Pokok Agraria.

“Degradasi hutan akan terus terjadi karena lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dan pemodal daripada hak kelola masyarakat.”

Romes mengatakan, perusahaan di Riau belum mengalokasikan sebagian areal untuk masyarakat, seperti di dampingan Kaliptra pada Suku Asli Anak Rawa, Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Siak. Kampung ini terletak di tepi laut dan di kelilingi perusahaan HTI, HGU hingga pertambangan minyak.

“Kalau RUU Pertanahan itu disahkan, akan mengubah pola pikir atau perspektif penguasaan lahan,” katanya.

Pendapat sama juga disampaikan Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau. Dia bilang, soal penguasaan lahan ilegal oleh perusahaan harus selesai terlebih dahulu.

Dia yakin, tidak hanya di Riau, hampir di seluruh Indonesia terjadi penguasaan lahan tidak sah yang menimbulkan ketimpangan dan berujung konflik di masyarakat.

“Kalau persoalan itu tidak selesai terlebih dahulu, RUU Pertanahan justru akan makin merusak lingkungan karena kebakaran hutan dan lahan terus terjadi.”

Menurut dia, masalah penguasaan tanah di Riau tidak hanya jadi tanggungjawab Menteri Agraria/BPN, juga lintas menteri. Dia merujuk riwayat konflik di Riau, yang bersumber dari kehutanan, perkebunan hingga tambang.

“Intinya, [buat UU] harus lihat masalah di lapangan.”

 

Keerangan foto utama: Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Kalau RUU Pertanahan sah, bisnis-bisnis ‘terlanjur’ di kawasan hutan atau yang melebihi HGU, bisa tak jadi masalah lagi alias ada upaya pemutihan di sana. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version