Mongabay.co.id

Ini Usaha Pemenuhan Hak Dasar Tenaga Kerja Perikanan yang Terabaikan Sejak Lama

 

Kejadian memilukan yang menyeret banyak tenaga kerja pada sektor perikanan Indonesia di Benjina, Maluku dan terungkap pada 2015 silam, menjadi pelajaran sangat berharga bagi Pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah bagaimana peran Negara sebagai pelindung dan pengayom bagi semua tenaga kerja perikanan, tanpa memandang jabatan dan pengalaman.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong kepada semua perusahaan agar bisa melaksanakan sertifikasi dan menerapkan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Dengan sertifikasi dan HAM, diharapkan segala bentuk eksploitasi tenaga kerja bidang usaha perikanan bisa terus dikurangi sampai ditiadakan.

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Zulficar Mochtar, dengan adanya sertifikasi dan HAM, tenaga kerja juga akan mendapatkan perlindungan dalam hal ini adalah asuransi untuk anak buah kapal (ABK), dan memberikan kepastian hukum untuk pengusaha dan ABK dalam bentuk perjanjian kerja laut (PKL).

“Juga meningkatkan nilai tawar harga produk ekspor perikanan,” ungkapnya di Kota Bitung, Sulawesi Utara, dua pekan lalu.

baca : Indonesia Wajibkan Pelaku Industri Perikanan dan Kelautan Miliki Sertifikat HAM

 

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Agar bisa dilaksanakan oleh seluruh perusahaan, Pemerintah terus memberikan peningkatan pemahaman kepada pelaku usaha perikanan tentang prinsip-prinsip HAM pada sektor perikanan. Upaya tersebut dilakukan dengan mengadakan pelatihan HAM perikanan dan juga penilaian terhadap perusahaan perikanan.

Khusus untuk penilaian perusahaan, Zulficar yang juga menjabat sebagai Ketua Tim HAM Perikanan KKP, mengatakan bahwa pihaknya pada 2019 akan melaksanakan penilaian terhadap 90 perusahaan perikanan yang berlokasi di Ambon (Maluku), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Sibolga (Sumatera Utara).

Sementara, untuk pelatihan HAM perikanan, KKP mengadakan secara serentak di lima lokasi, yaitu Banyuwangi (Jawa Timur), Tegal (Jawa Tengah), Bitung (Sulawesi Utara), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Di lima kota tersebut, KKP memberikan pelatihan kepada 180 orang perwakilan perusahaan perikanan.

baca juga : Riset: ASEAN Belum Melindungi ABK di Kapal Penangkap Ikan

 

Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menyoroti tentang perjanjian kerja laut (PKL) dan perlindungan HAM bagi pekerja sektor perikanan pada acara pelatihan sistem dan sertifikasi HAM perikanan di Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) di Kota Bitung, Sulut pertengahan Agustus 2019. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Prinsip HAM

Menurut Zulficar, dengan diberikan pelatihan secara khusus, diharapkan setiap perusahaan bisa menerapkan prinsip HAM perikanan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Perusahaan yang mendapatkan pelatihan, tak hanya usaha penangkapan ikan saja, namun juga unit pengolahan ikan (UPI).

“Mereka yang dilatih merupakan wakil dari perusahaan dalam menyiapkan dokumen dan persyaratan dalam pengajuan sertifikasi HAM Perikanan, sekaligus sebagai inisiator dan penanggungjawab dalam implementasi HAM di masing-masing perusahaan,” sebutnya.

Berkaitan dengan perlindungan asuransi untuk ABK, KKP juga mendorong kepada setiap pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia untuk bisa bekerja sama dengan penyedia jasa asuransi agar bisa memberikan pelayanan kepada pemilik kapal. Untuk 2019, diharapkan sedikitnya 22 unit pelaksana teknis (UPT) pelabuhan pusat sudah bisa menyediakan layanan asuransi bagi ABK.

Dia mencontohkan, salah satu pelabuhan yang sudah bekerja sama dengan penyedia jasa asuransi, adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung yang bekerja sama dengan penyediaan jasa asuransi milik Negara, BPJS Ketenagakerjaan.

Di PPS Bitung, sedikitnya ada 9.860 orang ABK yang sudah masuk perlindungan BPJS Ketenagakerjaan. Jumlahnya diharapkan meningkat karena peran BPJS diyakini bisa meningkatkan kepercayaan dari perusahaan dan pada akhirnya menarik minat mereka untuk memberikan perlindungan kepada para pekerjanya.

perlu dibaca : Benarkah Perlindungan Pemerintah pada ABK Indonesia Masih Tidak Maksimal?

 

Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar (dua dari kanan) melihat penandatanganan pemenuhan asurnasi dari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung dengan BPJS Ketenagakerjaan di Kota Bitung, Sulut pertengahan Agustus 2019. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data yang dirilis KKP, hingga 16 Agustus 2019 sudah ada sebanyak 72.840 orang yang mendapatkan asuransi dan dibiayai secara mandiri oleh pemilik kapal. Jumlah tersebut diketahui tersebar di 31 pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia. Bagi Zulficar, angka tersebut belum final, karena masih ada perusahaan yang akan mendaftarkan pekerjanya untuk mendapatkan asuransi.

Selain perlindungan asuransi, KKP juga fokus mengawal perjanjian kerja laut (PKL) yang ada di seluruh pelabuhan UPT Pusat. Dengan adanya PKL, maka pelabuhan UPT Pusat bisa mempertimbangkan untuk menerbitkan surat persetujuan berlayar (SPB) bagi kapal, jika memang pemilik kapal sudah menerapkan PKL dalam lingkungan internal kerja mereka.

“Sampai sekarang sudah ada 22.351 orang di 14 pelabuhan perikanan yang menerapkan implementasi PKL,” tuturnya.

Zulficar menambahkan, penerapan PKL dan perlindungan asuransi memang menjadi hal yang wajib, sebagai wujud perlindungan bagi seluruh awak kapal perikanan dan sebagai wujud penerapan prinsip HAM pada usaha perikanan tangkap.

Maka itu, Pemerintah berharap setiap perusahaan bisa meningkatkan pemahamannya tentang prinsip HAM. Dengan demikian, hak dasar awak kapal perikanan berupa perlindungan saat bekerja di atas kapal, bisa didapatkan.

baca juga : Cara Identifikasi Pelanggaran HAM di Atas Kapal Perikanan

 

Ilustrasi, Seorang anak membantu keluarganya sebagai nelayan di Dusun Sungai Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sertifikasi Keahlian

Sementara, dengan menerapkan PKL, maka itu akan memastikan terwujudnya lingkungan dan kondisi kerja, upah, jaminan kesehatan, jaminan asuransi kecelakaan, musibah, kematian, jaminan hukum, serta jaminan keamanan untuk awak kapal perikanan.

Tak cukup di situ, bentuk perlindungan kepada tenaga kerja pada usaha perikanan juga dilakukan Pemerintah Indonesia melalui sertifikasi ahli alat penangkapan ikan (AAPI) dan sertifikasi keterampilan penanganan ikan (SKPI). Keduanya adalah perwujudan menciptakan kompetensi pada awak kapal ataupun nelayan.

Untuk AAPI, itu adalah sertifikasi dalam mengoperasikan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan efektif sesuai dengan kaidah yang ditetapkan Badan Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Kemudian, SKPI adalah sertifikasi dalam melakukan penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan refrigerasi (pendinginan) ikan sesuai dengan kadiah keamanan pangan.

“Hingga 16 Agustus 2019, KKP mencatat sudah ada 11.187 awak kapal perikanan yang sudah mendapatkan sertifikat, dengan rincian adalah 3.060 AAPI dan 8.127 SKPI,” tandas dia.

Selain KKP, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman juga membentuk Tim Perlindungan Awak Kapal Perikanan (PAKP) untuk memberikan perlindungan penuh kepada tenaga kerja Indonesia pada sektor perikanan. Diharapkan, tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun luar negeri, akan tetap mendapatkan perlindungan dari Negara.

perlu dibaca : Pekerja Perikanan Indonesia Masih Diperlakukan Diskriminatif oleh Perusahaan?

 

Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Maritim Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, tim PAKP dibentuk untuk merespon masih lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja perikanan yang ada di dalam dan luar negeri. Kelemahan itu terjadi karena masih tumpang tindihnya regulasi yang berlaku, program yang lemah, dan tidak ada direktorat khusus yang bertugas untuk menanganai pekerja sektor maritim.

“Kualitas sumber daya manusia awak kapal perikanan juga masih rendah,” tuturnya.

Melalui tim yang sudah dibentuk tersebut, Yudhi mengatakan, nantinya akan ada peninjauan, pengkajian, dan pemberian rekomendasi berkaitan dengan peraturan dan kebijakan awak kapal perikanan. Kemudian, juga untuk menyusun prosedur operasional standar (SOP) terkait dengan tugas tim nasional.

Dengan kata lain, kehadiran tim PAKP akan menjadi pelaksana harmonisasi regulasi tentang awak kapal perikanan dan sebagai pihak yang bertugas untuk mengurangi praktik kerja paksa, serta perdagangan orang pada usaha perikanan. Kasus seperti itu sudah terjadi di Indonesia dan terungkap pada kasus di Benjina pada 2015 silam.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menambahkan, selama ini memang tata kelola awal kapal perikanan yang bekerja di dalam dan luar negeri masih carut marut. Untuk itu, perlu harmonisasi regulasi, pengawasan awak kapal ikan, dan edukasi kepada masyarakat tentang kesadaran tenaga kerja perikanan.

“Awak kapal ikan selama ini menjadi korban, sehingga Pemerintah perlu mengatur tata kelola awak kapal ikan dari proses rekrutmen, penempatan dan kepulangan,” ungkapnya.

 

Exit mobile version