Mongabay.co.id

Tambang Pasir di Sekitar Krakatau, Meresahkan Masyarakat dan Merusak Lingkungan

 

 

Masyarakat Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, memergoki kapal tambang pasir bersandar di perairan Krakatau, akhir Agustus 2019. Posisi tongkang, milik PT. Lautan Indonesia Persada [LIP] itu, sekitar satu mil timur Pulau Panjang.

Rahmatullah, perwakilan pemuda warga Pulau Sebesi, menuturkan direktur perusahaan tersebut, sebelumnya sempat mengumpulkan warga. Tujuannya, menyampaikan rencana penambangan pasir di sekitar perairan Selat Sunda, Pulau Sebuku, Pulau Sebesi, dan Krakatau.

PT. LIP menyatakan, pihaknya telah mengantongi izin penambangan pasir yang berjarak 7-10 mill dari Gunung Anak Krakatau [biasa disebut Gunung Krakatau], Pulau Sebuku, dan Pulau Sebesi.

Dalam sosialisasi yang dihadiri Direktur PT. LIP tersebut, menurut Rahmatullah, perusahaan menjanjikan menyalurkan sebagian keuntungannya untuk membuat dermaga Chanti. Juga, membangun fasilitas kesehatan yang selama ini minim diakses warga setempat.

“Kami masih trauma tsunami pada 22 Desember 2018 lalu. Kami tidak ingin ada aktivitas penambangan apapun yang berdampak pada longsornya Gunung Anak Krakatau,” kata Rahmatullah kepada Mongabay, baru-baru ini.

Menurut dia, masyarakat telah musyawarah dan sepakat menolak penambangan pasir di perairan laut Lampung Selatan. Khususnya di Pulau Sebesi, Sebuku, Krakatau, dan Selat Sunda.

“Masyarakat pada 3 September 2019 telah berorasi di depan Balai Desa Tejang Pulau Sebesi hingga dermaga. Aspirasi itu juga telah disampaikan ke Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Lampung untuk diteruskan ke Pemerintah Lampung,” terangnya.

Baca: Krakatau yang Bukan Hanya untuk Dikunjungi

 

Tongkang milik PT LIP ini telah terpantau sejak 11 Agustus 2019 dan merapat di Pantai Pulau Sebesi pada 28 Agustus 2019 untuk melakukan sosialisasi terkait rencana penambangan pasir. Foto: Masyarakat Sebesi

 

Cacat administrasi

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, membenarkan pengaduan masyarakat Pulau Sebesi. Walhi telah menurunkan tim untuk mendapatkan informasi lebih detil mengenai dugaan penyedotan pasir laut di Lampung Selatan.

“Hingga kini memang belum ada aktivitas yang dilakukan PT. LIP, baik di cagar alam maupun cagar alam laut dan sekitar kawasan tersebut,” kata Irfan.

Namun Irfan menambahkan, Walhi melihat izin perusahaan itu cacat administrasi karena penerbitannya bertentangan UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Undang-undang tersebut mengamanatkan, pemerintah daerah tidak dapat menerbitkan izin di perairan laut pesisir dan pulau-pulau kecil jika belum memiliki Peraturan Daerah [Perda] Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K].

“Jika kita lihat Persa RZWP3K Provinsi Lampung, Perda 1 Tahun 2018 yang disahkan awal 2018, harusnya aturan tersebut digunakan sebagai payung hukum untuk menerbitkan izin di wilayah perairan laut pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.

Dia menambahkan, Perda RZWP3K Provinsi Lampung juga sudah tidak ada lagi alokasi ruang untuk pertambangan laut, kecuali pertambangan minyak dan gas bumi. “Antara 2014 hingga 2018, merupakan waktu moratorium perizinan wilayah laut,” ujarnya lagi.

Namun, izin PT. LIP diterbitkan Pemerintah Provinsi Lampung pada Maret 2015. “Ini yang kami lihat cacat administrasi. Selain itu, pemerintah harus mempertimbangkan opsi pencabutan izin, karena tidak ada yang bisa memastikan apakah pipa kapal itu tidak menyedot pasir di kawasan Kraatau, saat operasionalnya.”

Irfan juga menuturkan, penolakan serupa terjadi di Lampung Timur. Izin penambangan PT. Sejati 555 ditolak masyarakat setempat. Sementara di Kabupaten Tulang Bawang, izin penambangan pasir laut ditolak oleh Pusat Koperasi Nelayan Indonesia [Puskoneli].

“Di Lampung Timur, lokasi penambangan merupakan wilayah tangkap nelayan, tempat budidaya perikanan laut. Serta ada juga di Pulau Sekopong, yang dikhawatirkan akan tenggelam jika penambangan pasir dilakukan,” katanya.

Baca: Fase Konstruksi, Gunung Anak Krakatau Berproses Membangun Tubuhnya

 

Aksi masyarakat Sebesi menolak tambang pasir laut di Lampung Selatan. Foto: Masyarakat Sebesi

 

Patroli

Tim dari SKW III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu, setelah menerima pengaduan warga, langsung melakukan patroli terhitung 31 Agustus.

Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung, Donal Hutasiot mengatakan, tim patroli dan pengamanan cagar alam laut (CAL) dan sekitarnya, tidak menemukan kapal yang diduga akan melakukan penyedotan pasir.

“Tim Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah menyelidiki kasus tersebut,” paparnya.

Pihaknya mengapresiasi warga yang secara sadar menyelamatkan CAL Kepulauan Krakatau dan berperan aktif melaporkan permasalahan hingga penolakan. “Penolakan masyarakat Pulau Sebesi terhadap penambangan pasir semoga menjadi pertimbangan bersama untuk menjaga kelestarian Krakatau dan sekitar, serta Selat Sunda keseluruhan,” jelasnya.

Baca juga: Mengagumi Krakatau yang Selalu Memukau

 

Gunung Anak Krakatau yang kembali membangun tubuhnya seletah erupsi pada 22 Desember 2018. Foto: KSDAE/Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Dikutip dari Tribun Lampung, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi meminta Pemerintah Provinsi Lampung mencabut izin penambangan pasir di area Gunung Anak Krakatau itu.

Brahmantya mengatakan, Pemerintah Lampung harus memperhatikan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Aturan ini menjelaskan, izin penambangan di laut tidak boleh berada di daerah tangkap ikan. Berikutnya, wilayah pertambangan jelas di kawasan konservasi,” tuturnya.

Wakil Kepala Cabang PT. LIP Eko Sutedi, sebagaimana dikutip dari Saibumi.com membantah telah menyedot pasir di sekitar Gunung Anak Krakatau. ”Kami tidak pernah bekerja/menambang pasir laut di lokasi tersebut. Wilayah kerja kami sekitar 20 mil dari Gunung Anak Krakatau, “ujarnya, Selasa [10/9/2019].

Eko mengatakan, PT. LIP telah memiliki surat izin resmi penambangan pasir yang dikeluarkan Gubernur Lampung 2015, Nomor: G/130/II.05/HK/2015. Juga, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Pasir Laut, Nomor: 540/3710/KEP/II.07/2015 beserta lampiran koordinat dan peta lokasi.

Krakatau merupakan gugusan pulau bernama Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau, yang membentang di Selat Sunda. Statusnya, cagar alam laut seluas 13.605 hektar.

Awalnya, Krakatau merupakan gunung api purba setinggi 3 ribu meter, bergaris tengah 11 kilometer. Krakatau Purba lenyap saat erupsi di zaman prasejarah. Letusannya memunculkan tiga kepundan aktif: Danan, Perbuatan, dan Rakata yang selanjutnya menjelma sebagai pulau memanjang.

Pada 26-27 Agustus 1883, letusan luar biasa kembali mengguncang yang kali ini menghancurkan puncak Danan dan Perbuatan, juga dua per tiga Rakata. Perkembangan selanjutnya, muncul daratan yang diberi nama Anak Krakatau, tahun 1930.

 

 

Exit mobile version