Mongabay.co.id

Pelemahan KPK Untungkan Mafia Sumber Daya Alam

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

 

 

 

Pada 17 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perjalanan revisi ini sungguh singkat, mulai 6 September 2019, perlu waktu 12 hari saja hingga UU KPK disahkan.

Penolakan atas revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), begitu kuat. Dari berbagai kalangan bersuara, mulai organisasi masyarakat sipil sampai para akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Revisi ini dinilai sebagai bentuk pelemahan lembaga antirasuah yang selama ini gencar menangani kasus korupsi di Indonesia, termasuk sumber daya alam.

Dalam laman resmi KPK mencantum 10 poin yang berpotensi melemahkan lembaga antisurah ini. Pertama, independensi KPK terancam. Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. Ketiga, pembentukan dewan pengawas yang dipilih DPR. Keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Kelima, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Ketujuh, Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Kedelapan, Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kesembilan, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Kesepuluh, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Koalisi Antimafia Sumber Daya Alam mengatakan, upaya ini berpotensi menguntungkan mafia maupun taipan (konglomerat) atau pemodal sektor sumber daya alam. Indikasinya, para mafia sektor sumber daya alam ini bersengkokol melawan KPK.

”Proses politik bangsa ini tidak lepas dari para taipan. Saya kira ini sudah rahasia umum. Kalau kita lihat yang duduk dan terpilih di DPR ini tak bisa lepas dari relasi mereka dengan para taipan,” kata Edi Sutrisno, dari Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dalam konferensi pers “Gurita Mafia Sumber Daya Alam dalam Penghancuran Upaya Pemberantasan Korupsi”, di Jakarta, baru-baru ini.

 

Danau Sembuluh yang ditanami sawit. Kini, masyarakat yang berada sekitar danau yang biasa mencari ikan atau memiliki keramba ikan, menjadi kesulitan. Foto: Walhi Kalteng

 

Pelemahan ini, katanya, tak hanya melalui lembaga KPK diikuti kebijakan pemerintah, antara lain, RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RUU Minerba, RUU Pembenihan atau Sistem Budaya Pertanian Berkelanjutan, dan RUU tentang Perkoperasian.

Masa-masa konsolidasi dalam pelemahan KPK maupun RUU lain, katanya, diduga jadi ajang ‘menagih janji’ korporasi pada masa pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres) 2019. Dugaan itu, untuk menjaga keberlanjutan pendanaan dari korporasi.

”KPK paling getol bicara terkait penerimaan pajak negara dari sektor sumber daya alam, seperti sawit dan tambang. KPK memaksa para taipan harus benar membayar pajak. Ini yang tentu mengganggu,” katanya.

Melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam korsup minerba dan sawit, KPK ini dianggap berbahaya untuk keberlanjutan bisnis yang kotor. ”Investasi kotor itu akan memberikan benefit besar bagi korporasi tetapi merugikan negara.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pelemahan KPK ini didukung dengan UU sektoral yang memberikan peluang besar pada investasi dan bisnis, izin dipermudah tetapi aspek penindakan dilemahkan.

Dia contohkan, Peraturan Pemerintah Nomor 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (one single submission) yang baru saja diajukan judicial review oleh Walhi. ”Terkait [aturan ini] yang menegasikan aspek yang penting, yakni, amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red).”

Yaya, panggilan akrabnya, mengatakan, izin-izin itu hanya prosedural atau checklist, amdal nomor kesekian. ”Perusahaan bisa datang ke satu tempat, operasi dan membangun sarana prasarana. Kalau ternyata ada masyarakat, masyarakat akan susah menggugat hukum. Kemudian tak ada pemberitahuan dan konsultasi,” katanya.

Terkait kerugian negara, sejauh ini KPK yang paling efektif untuk menangkap kerugian negara secara luas karena praktik ilegal, tak hanya terkait pemungutan pajak.

Langkah-langkah pelemahan KPK ini, katanya, dianggap jadi desain besar melanggengkan kerja-kerja oligarki ke depan dalam mengeruk kekayaan alam dan praktik illegal tanpa harus khawatir mereka akan terjerat hukum.

Menurut Monica Tanuhandaru, dari Kemitraan, peran KPK tak hanya pada upaya penyelamatan sumber daya alam dan kerugian negara, mulai dari penerimaan pajak, kepatuhan, pelanggaran perizinan, juga hal-hal yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

”KPK justru melakukan tata kelola sumber daya alam yang baik, dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sumber daya alam.”

KPK, katanya, jadi simbol dan penghargaan terhadap hukum di Indonesia. ”Dengan pelemahan dan penghancuran KPK, ini membuat Indonesia sangat tidak ramah investasi dan memberikan ketidakpastian hukum kepada investasi,” katanya, seraya bilang, hingga yang masuk Indonesia adalah investasi baik, bukan melalui suap dan pelicin.

 

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Pengawasan praktik ‘kotor’ bakal lemah

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB mengatakan, sejak adan Nota Kesepahaman Bersama KPK dengan kementerian dan lembaga terkait dalam GNPSDA, banyak political will tertuang dalam kebijakan, baik dalam inpres, perpres maupun turunan, yang memiliki harapan baik.

”Kalau tidak ada pengawalan KPK, akan diabaikan, apalagi pemda,” katanya.

Dia sebutkan, perubahan kebijakan yang melahirkan kebijakan moratorium izin sawit dan penghentian perizinan hutan alam dan gambut adalah dasar pelaksanakan korsup sawit. ”Saya melihat sendiri, aturan itu gak jalan kalau tidak ada KPK,” kata Hariadi, juga peneliti di KPK.

Tanpa ada pengawasan KPK, Hariadi meyakini, bakal lemah. ”Perubahan-perubahan (kebijakan) ini banyak terkait konflik kepentingan yang diharapkan mengubah sesuatu yang intinya menguntungkan publik secara luas.”

Dalam menjalankan kebijakan, katanya, perlu ada dukungan lembaga-lembaga yang memiliki kredibilitas yang sama dengan KPK. ”Kecuali pemerintah bisa membentuk seperti itu yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi.  Saya gak yakin.”

Melalui pelemahan ini, KPK tidak lagi memiliki kewenangan-kewenangan otentik yang selama ini diberikan, otomatis lembaga ini akan mati. ”Saya sepakat betul ini adalah proses kematian selama ini UU yang terkait sumber daya alam sedemikian rupa, segitu longgarnya dan di sisi lain KPK dilemahkan,” katanya.

 

Pascaputusan pemerintah mengeluarkan hutan adat Pandumaan Sipituhuta dari konsesi PT TPL. Wargapun memasang plang di sana. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Reforma agraria bisa jalan di tempat

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute (SAINS) menilai, revisi UU KPK dalam konsep oligarki akan membuat reforma agraria jalan di tempat.

Dia mengatakan, kontribusi KPK dalam memutus gurita oligarki agraria di Indonesia melalui tiga hal. Pertama, masalah agraria sebagai residual konsekuensi, masalah agraria warisan dari dulu sampai sekarang.

Cirinya, eksploitasi sumber daya alam dengan paksaan dan senjata untuk kepentingan kolonial, serta dehumanisasi.

Era Orde Baru, kata Eko, dalam menangani urusan agraria untuk kepentingan ekstraksi, dengan cara korupsi atau disebut kapitalisme negara. ”Era ini ciri utamanya ada kroni-kroni nasional yang melakukan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme-red), lalu mereka membangun oligarki tetapi berbasis negara.”

Pasca Orde Baru, ada cara baru penguasaan sumber agraria. Cirinya, komoditifikasi, membendakan semua agraria, atau boleh diperdagangkan di pasar sama dengan dagangan lain.

Kedua, model oligarki agraria berkelindan dengan korupsi sumber daya alam. ”Ada yang menyebut orang kaya pasti disebut punya tanah, atau kebun atau tambang. Tidak ada orang kaya yang tidak berurusan dengan sumber agraria atau sumber daya alam,” katanya.

Temuan KPK, memiliki hubungan berelasi antara penguasa tanah dengan kepala pemerintahan. Lebih dari 70% kepala daerah saat pilkada didukung korporasi berbasis sumber daya alam, dengan kompensasi kemudahan izin usaha. Jadi, banyak kepala daerah pun dipenjara oleh KPK.

Kehadiran KPK, kata Eko, mulai memutus mata rantai itu satu per satu. ”Agar sumber agraria tidak dilakukan komoditifikasi, eksploitasi melalui pembersihan dari perizinan tata kelola, dan penegakan hukum.”

Ketiga, masalah politik pengabaian agraria. Banyak kebijakan mengklaim reforma agraria. Sayangnya, implementasi jauh dari tujuan utama karena yang berjalan hanya legalitas aset atau sertifikasi tanah.

”Kontribusi KPK dalam konteks kebijakan yang ignorance tadi, itu mendekatkan bagaimana upaya reforma agraria dimulai, mengoreksi dan mencabut izin konsesi sumber daya alam yang tak sepaham dengan nilai keadilan agraria.”

 

 

Keterangan foto utama:  Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Exit mobile version