Mongabay.co.id

Persoalan Impor Sampah Plastik Berbahaya, Selesai Hanya dengan Reekspor?

Kamis (19/9/19), Pemerintah Indonesia mengembalikan (reekspor) sembilan kontainer sampah plastik di Terminal Peti Kemas Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke negara asal, Australia. Sampah-sampah dalam kontainer ini terbukti melanggar karena mengandung campuran limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dan sampah jenis lain. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia mengembalikan (reekspor) sembilan kontainer sampah plastik di Terminal Peti Kemas Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke negara asal, Australia, Kamis (19/9/19). Masuknya sampah-sampah dalam kontainer ini terbukti melanggar karena mengandung campuran limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dan sampah jenis lain. Apakah cukup hanya reekspor bagi yang terbukti impor sampah melanggar aturan?

Sembilan kontainer sampah ini berasal dari tiga perusahaan yang menerima fasilitas Kawasan Berikat di Tangerang, Banten berisi scrap plastic untuk keperluan bahan daur ulang. Tiga perusahaan itu adalah PT HI, PT NHI dan PT ART.

Baca juga : Kenapa Rencana Impor Sampah Plastik Harus Dilarang?

Heru Pambudi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengatakan, ketiga perusahaan ini kedapatan mengimpor limbah plastik tercampur sampah dan limbah B3. Sedangkan, ART mengimpor sampah ilegal alias tanpa dilengkapi dokumen sesuatu persyaratan, yakni, persetujuan impor (PI).

Sembilan kontainer itu bagian dari 142 kontainer dari tiga perusahaan yang dianggap terkontaminasi limbah berbahaya dan beracun. Secara bertahap, sampah-sampah itu akan reekspor.

Pada 14,15 dan 29 Agustus 2019, Bea Cukai Tangerang telah berkoordinasi bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pemeriksaan. Penindakan pertama, PT Harvestindo Internasional (HI) yang mengimpor 102 kontainer plastik lembaran dan plastik buatan berbagai jenis.

”Hasilnya, 23 kontainer terkontaminasi sampah atau limbah B3 serta direkomendasikan kembali ke negara asal. Kontainer ini telah diperiksa berdasarkan uji laboratorium bersama KLHK serta pihak-pihak terkait,” katanya dalam konferensi pers di Tanjung Priok, Jakarta.

Sampah-sampah ini berasal dari Australia (13 kontainer), Amerika Serikat (7), Spanyol (3), dan Belgia (1). Untuk 79 kontainer yang lain dinyatakan bersih dan dapat izin sebagai bahan baku.

 

Sampah impor berbahaya di Tanjung Priok, Jakarta,  yang akan reekspor. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Kedua, PT New Harvestindo International yang mengimpor 138 kontainer berisi chips, biji plastik PET dan staple fibre. Setelah pemeriksaan pada 9, 29 Juli dan 2 Agustus 2019, 109 kontainer dinyatakan terkontaminasi sampah limbah B3 dan akan reekspor ke negara asal yakni, Australia (80 kontainer), Amerika Serikat (4), Selandia Baru (3) dan Great Britain (22). Sebanyak 29 kontainer lain bersih dan dapat izin. Sebelumnya, pada 1 September 2019, PT NHI reekspor dua kontainer ke Selandia Baru.

Baca juga: Setelah Surabaya, Pemerintah akan Kembalikan Sampah di Batam ke Negara Asal

Penindakan ketiga, PT ART yang mengimpor 24 kontainer berisi biji plastik. ”Importasi itu terbukti tak dilengkapi dokumen persetujuan impor hingga Bea Cukai langsung membekukan izin Kawasan Berikat ART,” katanya.

Pada 22 Agustus 2019, pemeriksaan dari 24 kontainer, 10 terkontaminasi limbah B3 dari Hong Kong (3 kontainer) dan Australia (7). Sebanyak 14 kontainer lain, dari Jepang (2), Kanada (4), Spanyol (5) dan Hong Kong (3) dinyatakan bersih.

Achmad Gunawan Widjaksono, Direktur Verifikasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3, KLHK menyebutkan, sembilan sampah impor mengandung cairan mengalir dan berupa sampah makanan dan wajib reekspor.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/2016, bahan baku plastik boleh impor adalah berjenis homogen dan bersih dari kontaminasi unsur-unsur lain. Kalau terbukti melanggar, importir wajib memulangkan kontainer ke negara asal paling lambat 90 hari sejak kedatangan. Kalau melebihi waktu, izin PI otomatis dicabut.

Sampai 17 September 2019, Bea Cukai menangani impor sampah plastik sekitar 2.041 kontainer, tersebar di Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Batu Ampar Batam, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, dan Tangerang Banten. Yang memenuhi syarat dari surat izin dan hasil uji hanya 455 kontainer.

”Masih ada sekitar 1.088 kontainer belum diajukan dokumen pemberitahuan pabeannya. Bea Cukai juga mengamankan 216 kontainer masih proses reekspor. Di luar itu, Dirjen Bea dan Cukai telah memerintahkan reekspor bagi 331 kontainer yang tak memenuhi syarat,” katanya.

Sampah-sampah itu, katanya, dari berbagai negara, seperti Australia, Belgia, Perancis, Jerman, Yunani, Belanda, Slovenia, Amerika Seikat, Selandia Baru, Hong Kong dan United Kingdom.

 

Sampah plastik impor yang akan dikembalikan ke negara asal. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Reekspor saja tak cukup

Heru akan menindaklanjuti surveyor, sebagai orang atau badan yang mengawasi dan memeriksa impor sampah ini. Pemerintah Indonesia, katanya, melalui surveyor, memverifikasi impor sampah secara saksama dan bertanggung jawab.

”Jadi, tidak bisa lepas tangan juga, nanti akan kita periksa kalau memang ditemukan tak benar dalam memeriksa, bisa kita blacklist,” katanya.

Gunawan mengatakan, hingga kini sanksi pada perusahaan hanya rekomendasi reekspor. ”Sekarang kita lebih ketat memberikan rekomendasi, kita harus wajibkan neraca masa itu berapa impor, berapa diproses. Sisanya, berapa, residu dibawa kemana, semua harus jelas. Kalau enggak kami belum berani memberikan izin,” katanya.

Menurut dia, perlu, sinergitas dan koordinasi antar semua kementerian dan lembaga, agar kasus tak terjadi lagi.

”Memang, selama ini belum ada yang masuk hingga ke pengadilan. Ada perusahaan dalam proses bisa dipidana.”

Terkait sanksi pidana, KLHK memiliki Undang-undang yang mengatur yakni, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU 18/2008 terkait Pengelolaan Sampah.

“Ada dua model investigasi kalau terbukti pelanggaran, yakni, tindak pidana pelaporan dengan bukti dan ada potensi untuk diajukan ke pengadilan, based-nya UU Lingkungan Hidup. Serta, memastikan negara asal memenuhi verifikasi yang sudah ditentukan dan sepenuhnya tepat,” kata Heru.

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Yayasan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menuntut, KLHK memberikan pidana lingkungan kepada pabrik atau importir yang terbukti memasukkan sampah plastik ke Indonesia. ”Jikat tidak dipidanakan, khawatir akan terus terulang.”

Dia bilang, masih banyak terjadi penyelundupan sampah. Ecoton masih menemukan kontainer-kontainer impor berisi sampah kaleng atau logam aluminium di sekitar pabrik kertas di Mojokerto. ”Ini menunjukkan pengawasan bea cukai masih lemah terhadap impor sampah.”

Ecoton pun mendesak Kementerian Perdagangan mencabut izin para importir terbukti melakukan penyelundupan. Selain itu, Kemendag juga harus mengurangi dan evaluasi impor sampah dari Amerika dan Australia. ”Karena kedua negara ini sering berlaku curang.”

Tak hanya itu, Ecoton juga meminta upaya pemulihan lingkungan, baik sungai ataupun tanah, yang terkontaminasi mikroplastik.

 

Keterangan foto utama: Kamis (19/9/19),   Pemerintah Indonesia mengembalikan (reekspor) sembilan kontainer sampah plastik di Terminal Peti Kemas Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke negara asal, Australia. Sampah-sampah dalam kontainer ini terbukti melanggar karena mengandung campuran limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dan sampah jenis lain. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Satu kontainer berisi sampah plastik impor siap dikembalikan ke negara asal. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version