Mongabay.co.id

Air Limbah Toksik Batik Bersih dengan Jamur, Bagaimana Prosesnya?

 

Setiap tahun, tepatnya pada 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Hal itu setelah Unesco pada 2 Oktober 2009 menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi. Batik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia, bahkan mulai lahir sampai kematian.

Sebagai warisan dunia, tentu batik bakal dipertahankan, apalagi telah menjadi identitas bangsa. Namun demikian, ternyata industri batik yang demikian pesat telah mendatangkan persoalan lingkungan yang cukup serius, yakni limbah.

Bayangkan saja, setiap ada produksi batik, tentu akan menghasilkan limbah juga, terutama pewarna. Maka tidak mengherankan, kalau di sentra-sentra batik, pasti ada air yang berwarna-warni.

“Saya dan keluarga adalah penggemar batik. Jadi ingin tahu cara membikin batik, motifnya apa saja. Bahkan, di setiap kota yang saya kunjungi, kalau ada produk batik, pasti saya beli. Tetapi dalam perjalanannya, saya cukup prihatin, karena ternyata industri batik menghasilkan limbah dari air pewarna. Air sungai jadi berwarna warni. Dari keprihatinan itulah, sejak kuliah di S1, saya mulai tertarik dengan bagaimana caranya agar limbah batik bila diproses agar tidak lagi mencemari lingkungan,” kata Ratna Stia Dewi, peneliti dan dosen di Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng pada Jumat (13/9/2019).

baca : Ayo, Kini Saatnya Berbatik Ramah Lingkungan…!

 

Ratna Stia Dewi, Dosen Fakultas Biologi Unseod sedang meneliti tentang pengolahan air limbah pewarna batik dengan jamur Aspergillus sp. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ratna mengungkapkan, dengan diawali mengenai riset soal media dekolorisasi, kemudian lanjut pada pascasarjana adalah teknologi enzimatis. “Kemudian pada program doktoral, saya lanjutkan melakukan riset mengenai degradasi limbah batik. Prosesnya, memang panjang. Saya mengambil jamur sebagai yang memiliki potensi sangat beragam. Dari sekian banyak referensi yang saya baca, ada Aspergilllus sp. menjadi jamur perusak. Jamur itu dikenal sebagai perusak makanan, kain, kayu dan sebagainya,” ujarnya.

Sebagai jamur perusak, muncullah ide mengenai pemanfaatan kemampuan perusaknya. Karena jamur memang memiliki kemampuan khusus dalam dekomposisi jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.

“Penelitian awal adalah memanfaatkan baglog atau media tanam jamur tiram putih. Ternyata baglog banyak ditumbuhi jamur, sehingga saya manfaatkan langsung atau mendedahkan ke limbah secara langsung. Ternyata, dengan membuang baglog yang telah ditumbuhi jamur begitu saja, ada perubahan warna dalam limbah batik. Namun, waktu inkubasinya terlalu lama bisa sampai 2,5 hari. Tentu saja, para perajin atau pabrik batik tidak bisa menyimpan limbah lama, karena biasanya langsung dibuang begitu saja,”ungkapnya.

Dalam riset skala laboratorium, ternyata terbukti kalau jamur yang diisolasi dari baglog mampu mendekolorisasi warna limbah batik. Dari sinilah, kemudian ide berkembang.

“Selama bertahun-tahun, saya memulai melakukan isolasi terhadap seluruh jamur yang potensial mendegradasi air limbah batik. Saya mulai mengisolasi hampir seribuan jenis jamur dari berbagai macam lingkungan. Dari seribuan jamur tersebut, terseleksi menjadi 108 jenis jamur. Dalam perkembangannya, tinggal 40 jamur, kemudian paling baik ada 7 jamur, kemudian 3 jamur dan benar-benar sekarang mendapatkan satu jamur. Namanya tetap saja Aspergillus sp. Tetapi spesiesnya memang sangat khusus,” kata Ratna.

baca juga : Kala Limbah Pabrik Pewarna Tekstil Mengalir ke Pipa PDAM Solo

 

Hasil riset Ratna Stia Dewi, peneliti Fakutlas Biologi Unsoed menemukan jamur Aspergilles sp. pengurai toksik dan pembersih air limbah pewarna batik. Foto : Ratna Stia Dewi/Mongabay Indonesa

 

Dalam riset program doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ratna memang memfokuskan pada tujuh jenis jamur. Namanya sama semuanya yakni Aspergilllus sp. “Dalam mendekolorisasi warna, sebetulnya jamur juga melakukan perusakan ikatan benzena. Padahal benzena merupakan senyawa yang sangat-sangat susah terputus. Dari beberapa riset sebelumnya, paling ikatan benzena hanya memotong ikatannya saja, dari panjang menjadi pendek,”ujarnya.

Karena itulah, pada saat ujian tertutup disertasi, seorang penguji dan penelaah dari kimia mendebat rusaknya ikatan benzena. “Saya didebat dari ahli kimia soal terputusnya ikatan senyawa benzena. Kemudian saya tunjukkan buktinya menggunakan peralatan yang bernama FTIR (Fourier Trnsform Infrared Spectroscopy). Jadi peralatan tersebut dapat memberikan gambaran struktur molekul senyawa. Dari situlah, sudah tidak terlihat lagi ikatan rangkap. Yang tersisa hanyalah CH dan OH saja, struktur kimia yang tidak berbahaya,”papar Ratna.

Menurut Ratna, ada dua proses biodegradasi jamur Aspergillus sp. sehingga menyebabkan ikatan benzena yang kompleks terlepas dan tersisa hanya C, H dan O, sehingga toksisitas benzene dan warna menjadi hilang atau air jadi bersih kembali.

“Dengan proses penguraian yang dilakukan, maka daya racun atau toksisitasnya sangat jauh berkurang, hingga 99%. Jadi, warna terurai dan air kembali bersih serta daya racunnya menjadi hilang dan tidak mencemari lingkungan,” ungkapnya.

menarik dibaca : Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau

 

Air hasil pengolahan limbah pewarna batik yang diurai oleh Aspergillus sp diujicobakan pada tanaman untuk membuktikan tidak lagi toksik. Foto : Ratna Stia Dewi/Mongabay Indonesia

 

Untuk membuktikan bahwa air bersih dan tidak toksik lagi, Ratna mencobakannya pada tanaman. “Saya menguji toksisitas dengam menyiramkannya ke tanaman. Ada dua tanaman sebagai uji coba yaitu jagung dan kacang hijau. Keduanya untuk mewakili tanaman monokotil dan dikotil,” jelasnya.

Setelah satu bulan dilakukan penyiraman, ternyata tanaman yang disiram menggunakan air limbah, tumbuhnya sangat kerdil. Sementara untuk air yang telah diberi Aspergillus sp, ternyata ada yang tumbunya tidak terlalu bagus. Namun, ada satu dari Aspergillus sp yang ketiga, tumbunya normal.

“Pertumbuhan tersebut sama dengan tanaman yang disiram dengan air biasa. Dari sinilah, ada bukti lagi jika toksisitas telah hilang,” paparnya.

Ia juga mencobakan diterapkan pada bakteri. Ternyata jika dimasukkan air limbah batik, bakteri yang bermanfaat bagi lingkungan, tidak tumbuh juga. Sebaliknya, dengan air yang telah diberi jamur Aspergillus sp, bakteri bisa tumbuh. Hal itu juga membuktikan kalau air yang limbah telah terdegradasi oleh jamur.

“Jamur yang digunakan untuk mendegradasi limbah juga tidak berbahaya. Sebab, jamur mendegradasi limbah sebagai sumber nutrisi. Jamur yang melakukan degradasi masih tetap terlihat di lingkungan seperti kapas,” ujarnya.

perlu juga : Dampak Pencemaran Limbah Sampah, Sawah tak Bisa Ditanami, Air Berwarna Coklat

 

Peneliti dan Dosen Fakultas Biologi Unsoed Purwokerto, Ratna Stia Dewi tengah berada di laboratorium mikologi. Penelitian doktoral Ratna berhasil menemukan jamur Aspergilles sp. pengurai toksik dan pembersih air limbah pewarna batik. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesa

 

Ratna mengatakan kalau Aspergillus sp. yang paling baik untuk mendegradasi air limbah batik merupakan hasil isolasi dari jamur yang berada di tempat pembuangan limbah. Sebab, jamur yang diisolasi tidak perlu membutuhkan waktu lama dalam beradaptasi. “Prosesnya akan lebih cepat,” katanya.

Ke depan, lanjutnya, dirinya memiliki harapan untuk mengembangkan Aspergillus sp. pendegradasi limbah batik. “Pastinya ke depan, saya ingin membuat produknya. Sehingga lingkungan, khususnya yang biasa tercemari limbah batik akan lebih bersih. Tentu saja, hal itu membutuhkan dukungan ya, tidak bisa saya lakukan sendiri,” tandasnya.

 

Exit mobile version