Mongabay.co.id

Jerit Petani Lada dalam Pusaran Tambang Timah [Bagian 1]

 

 

Sekitar akhir abad ke-16, Indonesia [Nusantara] merupakan produsen lada terbesar kedua setelah Vietnam, dalam perdagangan lada internasional dengan total ekspor sekitar 80 ribu ton. Kondisi ini tergambar dalam Buku “Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara” karya P. Swantoro, terbitan 11 Januari 2019.

Namun, dalam perjalanannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik [BPS], hingga 2017, ekspor lada Indonesia jatuh lebih dari 70 persen, menjadi 22.746 ton.

“Kebanyakan lada kami mati karena pangkal batangnya busuk, mungkin karena kelebihan kadar air. Selain itu, penyakit kuning juga banyak,” kata Aman [47], petani lada di Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka- Belitung, yang memiliki kebun seluas dua hektar.

“Seingat saya, sejak tahun 2011, musim penghujan yang biasanya mulai Oktober, kini sudah turun Agustus atau September. Padahal, kami menanam lada pada Oktober karena mengejar panen di musim kemarau, sekitar Juni. Bahkan, pada Januari, yang biasanya di sini mulai kemarau, hujan masih sering turun hingga Mei. Mungkin, karena musim penghujan yang panjang itu, antara Januari-Februari menyebabkan lada kami terserang penyakit busuk pangkal batang atau penyakit kuning. Jika hujan turun hingga April-Mei, banyak putik lada yang gugur,” jelas Aman.

Sebaliknya, seperti 2014 dan 2015 lalu, “Banyak tanaman lada kami mati karena kemarau panjang. Tahun 2015, hujan baru turun akhir Desember,” lanjutnya.

 

Sandora berdiri di kebun ladanya yang tak luput dari serang berbagai penyakit, di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di bawah 2011, setiap satu hektar ditanami 1.200 batang lada, yang menghasilkan sekitar 1,2 ton. “Sekarang, dari 1.000 batang yang ditanan, yang hidup sekitar 500 batang. Hasinya hanya 300-350 kilogram. Jauh sekali perbedaannya,” kata Aman.

Mualimin Pardi Dahlan, anggota Dewan Nasional Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia], mengatakan perubahan yang dirasakan petani lada di Bangka selain dipengaruhi perubahan iklim global, juga meningkatnya aktivitas penambangan timah. Ini menyebabkan terjadinya pembukaan lahan dan hutan yang luas, berujung pada pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.

 

Sandora menunjukkan perbandingan buah lada yang terkenan penyakit (kiri) dan buah lada yang sehat (kanan) di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengapa dampak penambangan timah terhadap produksi lada di Bangka baru dirasakan saat ini?

Sejarah timah di Bangka-Belitung bermula awal abad ke-8, di masa Kerajaan Sriwijaya, berlanjut pada Kesultanan Palembang, VOC, Britania, Belanda, Jepang, hingga Pemerintahan Indonesia.

“Berdasarkan penelusuran kami, selama kurun waktu itu, belum ada catatan sejarah yang menggambarkan dampak signifikan penambangan timah terhadap perkebunan lada. Atau, memang tidak ada dampak lingkungan yang signifikan,” kata Dr. Ibrahim dari Universitas Bangka-Belitung yang menulis buku “Ekonomi Politik Sumber Daya Timah [2019]” bersama Dwi Haryadi dan Nanang Wahyudin.

“Tapi setelah reformasi 1998, berdasarkan penelitian kami, setiap aktivitas timah inkonvensional [TI] membutuhkan luasan lahan sekitar 500 meter persegi. Tahun 2009, jumlah TI di Bangka-Belitung mencapai 18.000 atau sekitar sembilan juta meter persegi lahan yang ditambang. Sepuluh tahun terakhir banyak berkurang, perkiraan saya setengah dari sebelumnya, sekitar 9.000 unit. Warga mulai sadar dengan dampaknya, sehingga menolak kebun atau lahannya dijadikan tambang timah. Terkait luasan TI terbaru, butuh penelitian lagi,” jelasnya.

 

Tanaman lada yang terkena penyakit keriting di areal perkebunan warga Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Penyakit ini menurut warga dikarenakan suhu udara yang semakin panas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Data terakhir Walhi menunjukkan, total luasan lahan yang dikuasai 1.343 IUP iIzin Usaha Pertambangan] sekitar 1,1 juta hektar, dari luas daratan Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung yang 1,6 juta hektar.

Bandingkan dengan luasan kebun lada di Bangka-Belitung, yang berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia oleh Direktorat Jenderal Perkebunan 2015-2017, tercatat hanya 25.230 hektar. Pengelolanya adalah 57.751 petani.

 

Ulat langit yang berada di pohom lada warga di Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Ulat ini merupakan hama yang membunuh lada, memutus akar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengubah bentang alam desa

Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung, memiliki luas 5.250 hektar. Sekitar 15 hektar, merupakan permukiman bagi 444 kepala keluarga. Setiap kepala keluarga ini mengelola kebun lada dan karet sekitar empat hektar, atau 1.776 hektar.

“Sisanya, sekitar 3.474 hektar sudah ditambang timah, yang dulunya kebun lada dan karet. Aktivitas tambang di sini skala kecil, bermodalkan mesin pompa isap maupun pompa semprot,” kata Muhammad, Kepala Desa Rindik.

Kehidupan warga desa yang berkebun lada dan karet, saat ini memprihatinkan. Tanah desa yang sebelumnya subur, sebagian besar tidak dapat ditanami lagi karena rusak akibat penambangan timah. Bentuk kerusakan itu misalnya hilangnya pepohon besar, serta lahan menjadi gundul berupa hamparan pasir. Bahkan, pohon rindik yang menjadi nama desa sudah tidak ditemukan lagi.

 

Sejumlah pohon lada terkena penyakit kuning di areal kebun lada Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka- Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kondisi bentang alam Desa Rindik adalah satu contoh dari ratusan desa di Bangka, yang mengalami kerusakan akibat penambangan timah rakyat.

“Ini dikarenakan masyarakat tergiur timah setelah runtuhnya Orde Baru itu. Saat itu kondisi krismon [krisis moneter] yang membuat hidup susah, dan timah menjadi solusi terbaik,” jelas Sahrin, yang menambang timah beberapa bulan setelah Orde Baru berakhir.

Namun, sejak 2009, Sahrin berhenti dikarenakan kerugian yang terus dialami. “Hasil tidak sebanding dengan biaya operasional, seperti untuk solar dan bayar pekerja. Belum lagi mesin penyedot yang sering rusak, terpaksa berutang untuk menutupi kerugian,” kata Sahrin.

Kini dia kembali berkebun lada dan karet di sisa lahannya. Dari total empat hektar, hanya 1,5 hektar yang masih bisa digunakan.

 

Tiga penambang berada di dalam lubang tambang di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung, [20/6/2019]. Satu tambang timah biasanya memperkerjakan tiga hingga empat orang, dengan gaji berkisar 15 ribu rupiah per orang, dari setiap satu kilogram timah yang didapat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Seorang warga di Bangka Selatan yang masih menambang adalah Suun. “Tujuan saya mengumpulkan modal. Entah itu untuk berkebun atau berdagang. Kalau menambang, risikonya besar, pendapatan tidak menentu. Tapi mau bagaimana lagi, modal berkebun juga mahal, belum untuk keperluan sehari-hari, jadinya serba susah,” katanya.

Selain berkurangnya lahan untuk berkebun lada, perubahan bentang alam di Desa Rindik menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah menyerap air. Air hujan sulit mengalir karena tergenang di lubang-lubang atau banjir. Banyak tanaman lada warga terserang penyakit kuning, ulat malam, keriting dan BKB [Busuk Pangkal Batang] atau mati.

“Sekitar 1.200 tanaman lada saya, mati semua. Belum sempat panen. Mungkin ini salah satu dampak tambang timah, ditambah musim tidak menentu. Saat musim penghujan ternyata panas panjang atau sebaliknya,” kata Sahrin.

 

Foto areal perkebunan warga yang berubah menjadi lubang tambang di Desa Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung, [20/6/2019]. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kusari [35], warga Desa Rindik mengalami hal serupa. “Sekitar 1.100 tanaman lada saya mati. Saya tinggalkan saja di kebun,” katanya Kusari yang sebelumnya pernah menjadi penambang timah.

Terkait besaran tanaman lada yang mati, belum ada data yang dikeluarkan pemerintah, perguruan tinggi, maupun lembaga non-pemerintah di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.

 

 

Selain persoalan penyakit, harga lada juga turun hingga Rp50 ribu per kilogram, sebelumnya Rp80-120 ribu per kilogram. Ini dikarenakan turunnya harga lada di pasar global.

“Petani banyak mengeluhkan harga lada yang murah, tetapi semuanya dikendalikan pasar global. Semua komoditi di Indonesia saat ini turun kecuali kopi. Yang harusnya kita lakukan adalah terus meningkatkan produksi lada, serta terus melakukan inovasi bersama guna menambah nilai jualnya,” terang Erzaldi Rosman Djohan, Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung melalui telepon, 30 Juni 2019 lalu.

Dia berharap, produksi lada di Bangka Belitung maksimal 500 kilogram per hektar setahun. Para petani lada harus meningkatkan produktivitas, jangan terpengaruh harga murah.

Guna menjaga kualitas lada putih, Pemerintah Bangka-Belitung tengah mengusahakan jalur ekspor langsung dari wilayahnya. Upaya ini menghindari pengoplosan. “Lada kita punya indikator geografi satu-satunya, mutunya lebih baik, piperinnya mencapai enam hingga tujuh persen. Lada lain sekitar tiga persen ke bawah. Harumnya juga berbeda,” jelasnya.

 

Bagan hasil Penelitian Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada pada Kondisi Lingkungan yang Bervariasi oleh La Ode Santiaji Bande, Bambang Hadisutrisno, Susamto Somowiyarjo, & Bambang Hendro Sunarminto

 

Per hektar kebun lada di Bangka, saat ini menghasilkan sekitar 150 kilogram lada kering, yang dipanen setiap tujuh bulan. Dengan harga Rp50 ribu, uang yang didapatkan petani sekitar Rp7,5 juta. Penghasilan ini dikurangi biaya pupuk dan pestisida sekitar Rp1,5 juta untuk setiap hektar.

“Dulu hingga 2013, harga lada masih kisaran Rp90-100 ribu per kilogram. Setiap hektar, dihasilkan 200 kilogram,” lanjut Sahrin.

Nasib baik dialami Sandora. Selama 17 tahun berkebun lada, dia terbilang berhasil. Dia mengatakan, dua tahun yang lalu, ladanya bisa empat sampai lima kali panen. Sekarang, setelah dua kali panen dari 900 batang, ada yang mati sekitar tiga hingga empat batang, dan sekitar 300 ratus batang terkena penyakit kuning, ulat malam, keriting dan busuk pangkal batang.

“Padahal, tidak ada yang berbeda dari segi perawatan dengan dua tahun lalu. Sampai sekarang, belum ada solusi konkrit pemerintah terkait penyakit itu. Kami hanya berusaha mencegahnya,” turur Sandora. [Bersambung]

 

*Nopri IsmiMahasiswa Fakultas Dakwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018

 

 

Exit mobile version