Mongabay.co.id

Kegelisahan dan Asa Anak-anak akan Masa Depan Bumi

Aksi Jeda untuk Iklim ribuan anak-anak sampai pemuda pemudi, di Jakarta, Jumat lalu, juga berlangsung di 18 kota lain di Indonesia, menyuarakan segera penyelamatan iklim demi keberlangsungan masa depan. Ini bagian dari aksi global mengikuti seruan aktivis lingkungan remaja asal Swedia, Greta Thunberg, yang ingin menyadarkan pemerintah dan masyarakat tentang kondisi alam yang sudah kritis. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

No action, no future!” “No action, no future.” “Tak ada planet B. Hayo kita beraksi.” “Kalau kau cinta bumi, teriak bumi.” “Bumi!”

Yel-yel dari anak-anak, remaja sampai orang tua, ini terdengar lantang di depan Balai Kota Jakarta hingga Taman Aspirasi atau Taman Pandang Istana, Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat (20/9/19).

Aksi Jeda untuk Iklim ini tak hanya di Jakarta, juga di 18 kota lain, yakni, Palangkaraya, Aceh, Samosir, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Cirebon, Cilegon, dan Garut. Juga, di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Bali, Palu dan Kupang. Bahan, secara global, aksi jeda untuk iklim ini berlangsung di 150 negara. Jutaan orang turun ke jalan meneriakkan aksi segera penyelamatan iklim demi keberlangsungan masa depan.

Jeda untuk Iklim ini aksi mengikuti seruan aktivis lingkungan remaja asal Swedia, Greta Thunberg, yang ingin menyadarkan pemerintah dan masyarakat tentang kondisi alam yang sudah kritis.

Beragam poster mereka bawa. “Darurat iklim. Indonesia tenggelam kalau kita diam.” “Save our earth.” “Save our ocean.” “We only have one earth, let us act to save it.” “Stop burning our future.” “Selamatkan laut kami dari sampah plastik.” “Matahari adalah solusi.” “Stop polusi.” “Climate crisis.” “You will die from old age. We will die from climate.” Masih banyak lagi suara-suara mereka tumpahkan lewat poster dan spanduk.

 

Anak-anak, pemuda pemudi menyerukan aksi selamatkan bumi pada Jeda untuk Iklim di jakarta, Jumat lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Mereka berorasi, bernyanyi, berdeklarasi dan menyuarakan aspirasi melalui poster-poster yang mereka bawa masing-masing. Baik dalam Bahasa inggris maupun Indonesia. Itu sebagai bentuk kegelisahan krisis iklim yang makin menghantui generasi muda.

“Revolusi Enegi.. Revolusi Energi.. Pak Jokowi.. Pak Jokowi, ayo dukung aksi kami.”

Begitu teriakan anak muda menuntut aksi pemerintah Indonesia beralih ke energi terbarukan. Ada mobil dan sepeda motor gunakan tenaga listrik, serta pengeras suara pun memanfaatkan energi dari panel surya.

Satrio Swandiko, Juru Kampanye Greenpeace mengatakan, hal ini hendak menunjukkan kepada pemerintah bahwa energi terbarukan sangat memungkinkan terjangkau guna mendorong transisi ke energi ramah lingkungan.

”Ini aksi mendukung pemerintah melakukan gerakan yang bisa menanggulangi krisis iklim. Kami menunjukkan, masyarakat bisa gunakan energi surya, kenapa pemerintah tak bisa?”

Kinanti Gurit Wening, remaja 15 tahun, santriwati pesantren Misykat Al-Anwar, Bogor, ini berangkat dengan kereta api bersama sekitar 15 teman untuk ikut aksi Jeda untuk Iklim.

Dia mendapatkan pengetahuan soal perubahan iklim dari para pengajar. ”Lewat nasihat-nasihat, cerita, obrolan santai dari pengajar kami. Pelajaran kami berbeda dari sekolah formal, tak berdasar pada buku,” katanya.

Kinanti cerita, perusakan bumi banyak ulah manusia. Dia contohkan penambangan yang merusak ekosistem.

Aktar, anak laki-laki tujuh tahun ini melukis di atas kertas HVS. Gambar kobaran api dengan tulisan global warming.

Dia bersama teman-teman dan guru turun ke lapangan menyuarakan untuk bumi di masa mendatang. ”[Kalau global warming] nanti es-es (di kutub) meleleh, jadinya sea level-nya rising. Nanti, Pulau Pari tenggelam,” katanya cerita tentang lukisannya.

 

Anak-anak dan remaja, ada yang ditemani orangtua mereka atau datang sendiri, ikut aksi Jeda untuk Iklim di Jakarta, Jumat lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pekan lalu, bersama teman-teman, Aktar berkemah satu malam di Pulau Pari untuk memungut sampah dan menanam mangrove. Dia bercerita, air laut saat pasang hampir menenggelamkan kemah mereka. ”Saya tidak mau Pulau Pari, tenggelam.”

Pradnyaparamita Sarishya Divya Milich, remaja 13 tahun ini datang sendiri. Dia membawa poster bertuliskan ”Imagine A World Like That” dengan dekorasi dedaunan dan gambar satwa di sekelilingnya.

Dia tahu aksi Jeda untuk Iklim dari informasi sosial media lalu mendaftarkan dengan kesadaran sendiri. ”Aku emang mau ikutan karena kondisi iklim kita harus diperjuangkan,” katanya.

Remaja kelahiran Jakarta ini membayangkan kalau iklim kian tak menentu dan krisis, mereka jadi tak bisa sekolah, tak punya rumah, bahan pangan, hingga air bersih. ”Kalau iklim mati, kita juga akan mati.”

Adi Mulyadi, santri 18 tahun dari Pondok Pesantren Attarbiyatul Wathonitah (Patwa) Mertapada Cirebon juga turun bersama sekitar 90 teman. Dia datang ke Jakarta menyuarakan kegelisahan.

”Ambil bagian merasakan kesusahan masyarakat di Kalimantan dan Sumatera yang terkena asap kebakaran lahan,” katanya.

Kenny Erick Manemi, pemudi 23 tahun ini aksi untuk menyuarakan kegelisahan terhadap hutan di Papua yang kian tergerus. ”Saya sebagai masyarakat Papua, mendesak pemerintah tetap menjaga kelestarian alam Papua, tak mengeksploitasi sumber alamnya.”

 

Anak-anak menggambar kekhawatiran terhadap bumi dalam aksi Jeda untuk Iklim di Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Harapan mereka…

Dimas Muhammad Almakna, pemuda 24 tahun yang ikut aksi mengatakan, krisis iklim sudah parah hingga penting jadi perhatian anak-anak muda.

”Yang akan hidup 35 dan 50 tahun nanti adalah kita, anak muda. Bukan orangtua yang duduk di kursi pemegang kebijakan. Kita punya hak menuntut masa depan kita. Ini anak muda lakukan untuk menjaga masa depan,” katanya yang tergabung dalam Extinction Rebellion.

Krisis iklim ini, katanya, merupakan masalah kemanusiaan. Kala suhu bumi naik, beragam bencana bakal melanda, seperti gagal panen, pulau tenggelam, keragaman hayati punah, begitu juga manusia.

Masalah iklim ini, katanya, bukanlah kepentingan sekelompok orang, tetapi kepentingan bersama.

”Tuntutan kami, pemegang kebijakan mendeklarasikan darurat iklim, kemudian ada net zero carbon emission. Kita harus nol emisi kalau mau berubah dalam waktu 11 tahun.” Dia merujuk dokumen Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Pada 21-23 September ini, PBB adakan pertemuan iklim di New York, Amerika Serikat. Dia berharap, pertemuan perubahan iklim PBB memberikan kebijakan yang mengikat bagi para anggota hingga ada konsekuensi bagi yang tidak mengikuti.

Kinanti mendesak, pemerintah segera bergerak mengatasi masalah iklim.

Pradnya berharap, masyarakat makin berpikir soal lingkungan sekitar, seperti mendorong orang Indonesia memakai kendaraan umum, atau tak membuang sampah sembarangan.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Iklim Walhi Nasional, senang melihat pesan-pesan dan mendengarkan suara-suara anak muda berbicara tentang iklim di Indonesia. ”Makin banyak anak muda, bagus sekali sebagai upaya regenerasi, sebenarnya mereka memiliki legitimasi untuk menuntut penguasa dan orangtua,” katanya.

Dia mendesak, pemerintah secepat mungkin upaya transisi energi yang adil dengan membuat peta jalan dan langkah nyata dalam upaya ini. Ancaman terbesar lain, Indonesia mampu menurunkan deforestasi tetapi, katanya, tak bermakna kalau kebakaran terus terjadi.

”Karena konteks perubahan iklim tidak hanya hari ini, tetapi masa depan. Merekalah pewaris masa depan itu.”

 

Aksi Jeda untuk Iklim di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Laporan IPCC dan Krisis iklim global

Pada 8 Agustus lalu, IPCC mengeluarkan laporan kedua bertajuk Perubahan Iklim dan Lahan. Dalam laporan itu, disebutkan, sektor hutan menyumbang emisi gas rumah kaca secara global lebih dari 70%. Kegiatan agrikultur, kehutanan dan lainn-lain menghasilkan 13% karbon dioksida (CO2), 44% metana (CH4), dan 82% nitrat oksida (N2O) emisi dari kegiatan manusia global selama 2007-2016, atau sekitar 23% dari total emisi gas rumah kaca antropogenik.

Dalam laporan itu juga mengatakan, upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terkait lahan dapat mengatasi penurunan dan degradasi serta meningkatkan keamanan pangan. Konservasi ekosistem tinggi karbon seperti gambut, lahan basah dan mangrove masih jadi upaya prioritas karena berdampak cepat. Namun, hal ini juga perlu ditambah respon yang menyediakan berbagai jasa dan fungsi ekosistem, seperti pemulihan ekosistem tinggi karbon, reklamasi lahan dan reforestasi, meskipun dampaknya memerlukan waktu tak sebentar.

Yuyun mengatakan, dalam laporan itu menyebutkan, IPCC tidak merekomendasikan penggunaan bioenergi berbasis lahan baik sawit maupun biomassa dalam mengurangi emisi dan menahan laju peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius.

“Di laporan terbaru IPCC, mereka melihat ketika pengembangan bioenergi ini makin meningkat, itu akan makin menyebabkan kelangkaan pangan bagi 150 juta masyarakat di dunia.”

“Satu-satunya, upaya menurunkan drastis emisi kita dengan menggunakan pendekatan nature based. Mengurangi deforestasi drastis, penanaman kembali, mengembalikan ekosistem esensial,” kata Yuyun.

 

Anak-anak sampai orangtura ikut aksi Jeda untuk Iklim di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah, katanya, harus memperhatikan seksama laporan IPCC. Selama ini, pemanfaatan bioenergi justru jadi penyebab emisi sektor berbasis lahan makin tinggi.

“Mana mungkin penyebab emisi ini kemudian direkomendasikan sebagai solusi dari perubahan iklim itu sendiri? Kami sangat apresiasi munculnya report IPCC ini.”

IPCC juga mencoba merekomendasikan langkah-langkah jangka panjang dan jangka pendek. Dia sebutkan, rekomendasi IPCC soal penghentian deforestasi, melindungi lahan gambut, pengurangan kebakaran hutan dan lahan, sampai melindungi mangrove.

IPCC juga merekomendasikan, memperkuat keterlibatan perempuan dan masyarakat adat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selama ini, masyarakat adat dengan wilayah adat punya kesempatan lebih besar untuk adaptasi perubahan iklim.

“Alas hak jadi poin kunci bagi mereka untuk melakukan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim,” katanya.

Dalam konteks indonesia, katanya, rekomendasi IPCC sangat penting. Ppaya menurunkan emisi drastis, katanya, tak bisa meninggalkan sektor lahan bersamaan dengan energi. “Jadi, meninggalkan batubara, sekaligus meningkatkan komitmen pengurangan emisi sektor berbasis lahan, harus bersamaan.”

What do you want? “Climate justice.” “When do you want?” “Now” Dengarlah suara-suara anak-anak muda ini agar bisa menyelamatkan bumi, demi kehidupan manusia dan segala isi bumi…

 

 

Keterangan foto utama:  Aksi Jeda untuk Iklim ribuan anak-anak sampai pemuda pemudi, di Jakarta, Jumat lalu, juga berlangsung di 18 kota lain di Indonesia, menyuarakan segera penyelamatan iklim demi keberlangsungan masa depan. Ini bagian dari aksi global mengikuti seruan aktivis lingkungan remaja asal Swedia, Greta Thunberg, yang ingin menyadarkan pemerintah dan masyarakat tentang kondisi alam yang sudah kritis. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Berbagai poster berisi protes dan seruan segera beraksi demi penyelamatan bumi di Jeda untuk Iklim di Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version