Mongabay.co.id

Jerit Petani Lada dalam Pusaran Tambang Timah [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya: Jerit Petani Lada dalam Pusaran Tambang Timah [Bagian 1]

**

Tahun 2017, luasan lahan kritis di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung meningkat menjadi 275.500 hektar. Ini berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Hilman Nugroho, Dirjen Pengendalian DAS dan Kehutanan KLHK, dikutip dari Republika, di Pangkalpinang [16/8/2018], mengatakan, lahan kritis yang berada di kawasan hutan produksi seluas 5.500 hektar dan di luar kawasan hutan seluas 270 ribu hektar.

“Berdasarkan fakta tersebut sangat sulit jika masyarakat Bangka-Belitung kembali berkebun lada atau bertani, tanpa adanya upaya penghentian penambangan timah, perluasan perkebunan sawit, serta perbaikan lahan kritis tersebut,” kata Mualamin Pardi Dahlan, anggota Dewan Nasional Walhi. “Berdasarkan penelitian kami, banyak petani lada di Bangka tidak berniat beralih ke perkebunan sawit,” lanjutnya.

 

Sandora, petani lada di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Erzaldi Rosman Djohan, Gubernur Bangka Belitung, melalui sambungan telepon pada 30 Juni 2019, mengatakan baru di masa kepemimpinannya Pemerintah Bangka-Belitung mendengar keluhan petani lada. Langkah yang diambil untuk membantu adalah memberikan bantuan bibit yang mampu menangkal penyakit.

“Pemerintah Provinsi menyiapkan bibit gratis serta pupuk organik sebanyak 5 kilo per batang. Satu keluarga petani bisa mendapat 500 batang. Program ini sudah berjalan sejak 2018,” kata Erzaldi. “Bibit yang kami berikan adalah bibit unggul yang sudah diberi zat organik sabagai penangkal penyakit,” lanjutnya.

“Program sudah berjalan, dan per tahun kami memberikan 3-6 juta bibit. Kami juga mengedukasi petani cara menanam lada dalam kondisi sekarang. Ini hasil kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada,” kata Erzaldi.

 

Buah lada yang dikumpulkan Sandora diletakkan dalam karung di kebunnya di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, [19/6/2019]. Akibat perubahan iklim serta banyaknya penyakit, hasil panen lada warga Desa Rindik menurun drastis. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan jumlah bibit gratis yang dibagikan setiap tahun tersebut, diperkirakan program akan berjalan hingga 2023, menyentuh 57.751 petani lada di Bangka-Belitung.

Aman [47], petani lada di Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka- Belitung, sudah menanam bibit bantuan tersebut. “Sekitar 100 bibit yang saya tanam itu terserang penyakit, dan beberapa batang mati. Mungkin karena tinggi bibit hanya 10 sentimeter. Bibit yang biasa kami tanam minimal 30 sentimeter. Semoga yang hidup tetap bertahan,” ujarnya.

 

Tanaman lada kini menghadapi berbagai penyakit dan juga terganggu akibat perubahan cuaca. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Upaya perbaikan dan pemanfaatan

Ada beberapa upaya yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung terhadap lahan rusak atau kritis akibat penambangan timah.

Pertama, penanaman jenis tanaman yang dapat tumbuh di tanah kritis dengan memberikan kompos blok atau block nutrien. “Tanaman itu misalnya cemara laut, jambu mete atau sirsak,” kata Erzaldi, ketika dihubungi kembali pertengahan Juli 2019.

Kedua, lahan-lahan bekas tambang yang memiliki aksesibilitas baik dan terdapat lubang [kulong], dijadikan ekowisata kulong, seperti yang dilakukan di Desa Belilik.

 

Perkebunan warga ini menggunakan pohon kapuk sebagai peneduh tanaman lada di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ketiga, lahan-lahan terbuka eks tambang dan kulong pada spot-spot kecil yang masih memungkinkan ditutup tanah humus, dapat dikembangkan menjadi area pertanian terbatas.

Keempat, dilakukan upaya mekanika tanah yaitu teknik pengelolaan tanah berupa pengayaan bakteri dan biokarbon. Seperti, menggunakan pupuk organik cair untuk mempercepat dekomposisi tanah dan penyediaan unsur hara, sehingga dapat dimanfaatkan.

 

Tanaman lada yang terkena penyakit keriting di Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Penyakit ini menurut warga dikarenakan suhu udara yang semakin panas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Kita juga akan mengusulkan ke Kementerian LHK, menurunkan status hutan lindung yang sudah rusak menjadi hutan produksi, sehingga kulong-kulong yang ada dapat direfungsionalisasi menjadi tambak udang produktif. Tujuannya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan,” ujar Erzaldi.

Luasan lahan rusak di kawasan hutan lindung yang akan diusulkan penurunan statusnya, menurut Marwan, Kepala Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka-Belitung, tengah dihitung menggunakan citra satelit. Sementara luas lahan terbuka eks tambang sekitar 200 ribu hektar, dan 12.607 kulong.

 

Tingkatan lahan kritis di Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2016. Sumber:
Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kepulauan Bangka Belitung 2016

 

Program

Erzaldi juga menjelaskan pihaknya bersama Kementerian Pertanian akan menjalankan program SEKSI atau Selamatkan Eks Tambang Sejahterakan Petani.

Kegiatannya berupa penerapan integrasi ternak dengan komoditi pertanian, pengembangan lada di lahan eks tambang menggunakan pupuk hayati dan organik, serta pengembangan rumput padang pengembalaan.

“Secara umum, pemanfaatan lahan eks tambang harus terintegrasi antara ternak dengan komoditi pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, serta perikanan,” katanya.

“Pada 2020, direncanakan dibuat demplot dan ada pendampingan dari tenaga ahli, dari Litbang Pertanian Kementan dan perguruan tinggi,” lanjutnya.

 

Seorang penambang menarik selang setelah penyedotan pasir mengandung timah dilakukan di areal tambang Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, (20/6/2019). Proses ini bisa memakan waktu satu hingga dua jam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dr. Ismed Inonu, pakar agroteknologi dari Universitas Bangka-Belitung, menilai apa yang direncanakan Pemerintah Kepulauan Bangka-Belitung sangat baik.

“Tapi yang pertama jelas adalah status lahan. Kalau masih berupa wilayah izin usaha pertambangan [WIUP] perusahaan, maka kewajiban mereklamasi adalah perusahaan tersebut, bukan pemerintah,” katanya, Jumat [19/7/2019].

 

Timah yang dihasilkan di areal tambang di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, (20/6/2019). Dalam sehari, mereka dapat memperoleh 30 hingga 40 kilogram. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berbeda jika lahan eks tambang rakyat atau tambang liar, kewajiban reklamasi bisa pemerintah provinsi atau kabupaten. Eks tambang skala kecil perlu dilakukan penataan lahan dengan meratakan dan menimbun kulong atau backfilling, baru diberi kompos dan ditanami.

Pemanfaatan lahan eks tambang untuk lada perlu dilakukan studi mendalam. “Kami di Universitas Bangka-Belitung sudah mencoba dengan tajar hidup dan terbukti tumbuh baik. Tapi memang, kompos harus tinggi dan ditambahkan setiap enam bulan,” jelasnya.

 

Proses pencucian timah di areal tambang Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, [20/6/2019]. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penyediaan kompos, dapat memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit yang melimpah di Bangka-Belitung. “Kami sudah coba pada berbagai jenis tanaman di lahan bekas tambang, dan terbukti dapat menggantikan pupuk kandang,” katanya.

Pihaknya juga meneliti tanaman serai wangi dan sorgum untuk konservasi di lahan eks tambang. Hasil atau produksinya hampir sama jika ditanam di lahan bukan eks tambang, dan sorgum tumbuh baik.

 

Limbah solar yang mengalir di areal tambang di Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, [20/6/2019]. Tak jarang, limbah ini bercampur air sungai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terkait sejumlah program SEKSI yang akan dijalankan pada 2020, prinsipnya kita sepakat dan sangat mendukung program Pemerintah Bangka-Belitung. “Ini sejalan dengan visi kita,” tandas Ismed. [Selesai]

 

*Nopri IsmiMahasiswa Fakultas Dakwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018. Liputan ini didukung program Internews’ Earth Journalism Network Asia Pasifik 2019

 

 

Exit mobile version