Mongabay.co.id

Tidak Rela, Sungai Alas-Singkil Dibendung

 

 

Berbekal alasan untuk meningkatkan pasokan listrik di Aceh, Sungai Alas-Singkil akan dibendung. Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] berkapasitas 126 mega watt, berlokasi di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, akan dibangung demi mewujudkan keinginan tersebut, oleh gabungan PT. Atmo Daya Energi [Adein], PT. Hyundai Engineering, dan Saman Corporation.

Pada 28 Juni 2019, perusahaan ini telah memaparkan rancangannya ke pejabat Satuan Kerja Pemerintah Kota [SKPK] dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Subulussalam.

Meski perusahaan pelaksana telah mendapat surat rekomendasi dukungan studi PLTA dari Wakil Wali Kota Subulussalam, tertanggal 21 Maret 2019, namun masyarakat menolak. Sejumlah masyarakat desa masih bermukim di pinggir sungai tersebut seperti Pasir Belo, Gelombang, Dah, Sibuasen, Sibungkai, Panglima Saman, Muara Batu-Batu, Runding, Belukur, Binanga, Kuta Beringin, Siperkas, Oboh, Longkib, Sepang, dan Kampung Lentong.

Selain menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat Subulussalam dan Aceh Singkil juga memanfaatkan sungai tersebut sebagai jalur transportasi.

Baca: Alasan Listrik, PLTA akan Dibangun di Sungai Alas-Singkil

 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Alirannya menuju Samudera Hindia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Imran, masyarakat Desa Gelombang, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam awal September 2019 mengatakan, membendung sungai untuk pembangunan PLTA sama saja menghancurkan kehidupan masyarakat Subulussalam dan Aceh Singkil. Termasuk, menghancurkan peradaban.

“Sungai itu kehidupan kami, bila rusak kami sengsara,” ujarnya.

Imran yang merupakan petani, setiap hari menggunakan perahunya menyusuri Sungai Alas-Singkil, atau di Kota Subulussalam disebut Sungai Soraya, menuju kebunnya. Dia juga memancing ikan jurung, baung dan jenis lainnya di sungai.

“Kami tidak rela sungai dibendung,” terangnya.

Baca: Foto: Sisi Lain Leuser dari Sungai Alas-Singkil

 

Sungai Alas-Singkil memiliki potensi air dan curah hujan tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Amiruddin, warga Sultan Daulat, Kota Subulussalam, mengatakan hal yang sama. Dulu, sebelum jalan dibangun, Sungai Alas-Singkil merupakan jalur transportasi penting masyarakat di Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil, serta Kota Subulussalam.

“Waktu tempuhnya lebih cepat dibandingkan jalur darat, dan itu berlangsung sejak lama,” ujarnya.

Amiruddin akan tetap menolak rencana pembangunan PTLA. “Pemerintah harus berpihak menyelamatkan kehidupan dan perekonomian masyarakat, jangan mementingkan proyek orang luar,” keluhnya.

Ali warga Gelombang, khawatir jika bendungan tersebut jebol. “Rumah masyarakat di Subulussalam dan Aceh Singkil banyak di pinggir sungai,” ujarnya.

Baca: Soraya, Stasiun Penelitian yang Penuh Tantangan

 

Hutan lebat mengelilingi Sungai-Alas Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Bentangannya melewati Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam hingga ke wilayah Sumatera Utara. Alirannya juga menuju Samudera Hindia.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Salah satunya adalah Sungai Alas-Singkil yang luasnya mencapai 10.090,13 kilometer persegi.

Baca: Pembangunan PLTA di Aceh, Kajian Potensi Gempa dan Analisis Lingkungan Prioritas Utama

 

Sungai-Alas Singkil merupakan urat nadi kehidupan masyarakat. Tidak hanya sebagai sumber penghidupan tetapi juga digunakan untuk jalur transportasi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dampak negatif

Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur sebelumnya menegaskan, upaya perubahan zonasi lindung ke pemanfaatan untuk pembangunan PLTA harus ditolak. Kondisi ini akan mengurangi kawasan hutan yang penting bagi kehidupan masyarakat Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil dan beberapa daerah lain.

“Hasil kajian Walhi Aceh menunjukkan, pembangunan ini tidak masuk 24 rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga air di Aceh. Dasarnya, sebagaimana tercantum dalam pasal 23 ayat 3 poin d Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh 2013-2033,” ujarnya.

Baca juga: Tok! Hakim Batalkan Izin Pakai Hutan Leuser untuk PLTA Tampur

 

Lokasi bendungan PLTA yang rencananya akan dibangun berada di Hutan Lindung Soraya. Sumber: Google Earth

 

Muhammad Nur mengatakan, PLTA di Sungai Alas-Singkil tidak masuk rekomendasi daftar potensi proyek PLTA berdasarkan Masterplan of Hydro Power Development, sebagaimana termaktub pada hal III–19 Rencana Usaha Penyediaan Listrik [RUPTL]–PT PLN tahun 2019-2028.

“Proyek harus dibatalkan. Pemerintah di Aceh maupun pusat diharapkan tidak menerbitkan izin. Kajian mendalam terhadap dampak buruk pembangunan PLTA harus dilakukan,” tegasnya.

 

Orangutan sumatera yang berada di Hutan Soraya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Komisaris PT. Atmo Daya Energi, Mukmin Widyanto, dalam pertemuan yang dihadiri pejabat Pemerintah Kota Subulussalam pada Juli 2019 mengatakan, bendungan, Underground Tunnel dan Power House PLTA Soraya akan berada di hutan lindung, jalan aksesnya di hutan lindung dan area penggunaan lain. Sementara area genangan sungai berada di dalam hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL].

“Panjang jalan yang akan dibangun di hutan lindung sepanjang delapan kilometer,” ujar Mukmin.

Rencana pembangunan bendungan berada pada koordinat 2°54’53.04″N, 97°56’15.29″E dan pada ketinggian 75 sampai 100 meter di atas permukaan laut. Jika dilihat melalui Google Earth, letak bendungan persis di hutan lindung Soraya, hutan yang sangat penting untuk jalur lintasan satwa liar dilindungi seperti orangutan atau harimau, dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL].

 

 

Exit mobile version