Mongabay.co.id

Dua Langkah Atasi Sampah

 

Sampah hingga saat ini masih menjadi permasalahan pelik di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2016 timbulan sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton/tahun dari 261 juta penduduk Indonesia. Timbulan sampah makin banyak seiring meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya.

BPS memprediksi pada tahun 2025, jumlah timbulan sampah di perkotaan akan terus bertambah menjadi 1,42 kg/orang/hari atau 2,2 miliar ton sampah/tahun yang berasal dari 4,3 miliar orang penduduk Indonesia

Pemerintah sendiri terlihat serius memecahkan masalah sampah, misalnya dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No.97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang menargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis dengan besaran sampah rumah tangga 30 persen dan penanganannya sebesar 70 persen.

Permasalahan sampah juga dialami Kota Bandung, Jawa Barat dengan produksi sampah 1600 ton/hari, atau sekitar 0,8 kg/hari/orang. Sementara Pemerintah Kota Bandung sedang dikejar tenggat waktu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang segera habis.

baca : Bandung yang Masih Berkutat dengan Sampah, Sampai Kapan?

 

Seorang warga tampak memilah sampah di tempat pembuangan sementara di Kampung Pasawahan, Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, produksi sampah mencapai 1.400 ton/hari yang dihasilkan 3,6 juta penduduk di wilayah tersebut. Foto: Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sehingga secepatnya Pemkot Bandung perlu bergerak cepat mengatasi masalah sampah. Karena jika TPA Sarimukti sudah tidak dapat digunakan lagi, pemerintah Kota Bandung perlu menggelontorkan dana sangat besar untuk biaya lahan sewa (tipping fee) TPA Legok Nangka di Nagreg. Semula Pemkot Kota Bandung hanya perlu mengeluarkan Rp69 ribu/ton di TPA Sarimukti, namun biaya tersebut akan naik tajam 8x lipatnya sebesar Rp400 ribu/ton.

Dengan produksi sampah 1600 ton/hari, maka biaya tipping fee sebesar Rp400 ribu/ton menjadi Rp600 juta harus dikeluarkan setiap harinya. Biaya tersebut belum termasuk biaya angkut sampah. Dengan daya angkut 6-8 ton setiap truk, maka diperlukan sekitar 180 unit atau 90 unit truk jika satu truk dua kali jalan untuk mengangkut sampah setiap harinya. Ditambah jarak TPA Legok Nangka yang jaraknya lebih jauh dibanding TPA Sarimukti, maka biaya pengangkutan bisa mencapai Rp1 miliar.

Tentunya kondisi ini merugikan ekonomi daerah, karena berdasarkan data BPS tahun 2017 Jawa Barat hanya mengalokasikan 0,05 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau senilai Rp17 miliar untuk lingkungan hidup. Dengan pembiayaan yang cukup besar hanya untuk mengangkut sampah dari sumber ke TPA akan menjadikan Pemkot Bandung defisit. Jika melihat kebelakang, catatan kelam meledaknya TPA Leuwigajah seharusnya dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi Pemkot Bandung agar dapat menciptakan sistem pengolahan sampah yang efektif.

baca juga : Rata-rata Masyarakat Kota “Nyampah” 2,5 Kg Setiap Hari

 

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Model Pengolahan Sampah

Wakil Koordinator Kampanye Kebijakan Organis, Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung, Yobel Novian Putra menjelaskan tentang pengolahan sampah dan kebutuhan infrastruktur pengolahan organik di Kota Bandung. YPBB mengenalkan model pengelolaan sampah kota bernama Zero Waste Cities yang dikembangkan oleh Mother Earth Foundation (EMF) pada 2010. Model tersebut dipelajari Tim YPBB dari kota San Fernando, Filipina.

Yobel menuturkan kota San Fernando berhasil mengurangi 80 persen sampah dalam kurun waktu singkat yaitu tiga bulan per satu barangay (kelurahan). Warganya memilah sampah organiknya dan dilanjutkan dengan proses pengomposan. Pengolahan itu berhasil mengurangi 50 persen sampah organik dari limbah rumah tangga. Sedangkan limbah daur ulang diolah dengan membuat semacam bak sampah, yang dapat mengurangi 10 -15% sampah.

Kota San Fernando juga memberlakukan aturan larangan penggunaan plastik yang bergagang dan tidak bergagang, yang berhasil mengurangi 20% sampah. Sisanya 20 persen lagi merupakan sampah yang belum bisa ditangani, seperti sampah saset dan popok bayi.

Yobel menjelaskan model pengelolaan sampah Kota San Fernando dengan prinsip yaitu terpilih dan terdesentralisasi itu berhasil mengurangi 80% sampah Kota San Fernando. Pengelolaan terpilih artinya memilih dan memilah sampah dari sumber seperti di rumah tangga, warung dan sejenisnya.

perlu dibaca : Menabung Sampah Agar Tidak Menggunung di Cikapundung

 

Wakil Koordinator Kampanye Kebijakan Organis, Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung, Yobel Novian Putra. Foto : Moch Rizqi Hijriah/Mongabay Indonesia

 

Bila pemilihan sampah dilakukan di TPS, limbah organik telah terkontaminasi silang dengan limbah lain sehingga tidak bisa digunakan untuk kompos. Selanjutnya juga terpilah dalam pengumpulannya, hal tersebut perlu didukung sistem yang dibentuk oleh pemerintah. Karena jika sistem pengumpulannya tidak disiapkan, sampah yang telah dipilah akan tercampur kembali.

Oleh karena itu, YPBB bersinergi dengan Pemkota Bandung untuk mengatasi persoalan sampah, dengan mereplikasi Zero Waste Cities yang diubah namanya menjadi Kawasan Bebas Sampah (KBS). Cara itu dinamakan Kang Pisman, singkatan dari dari Kurangi (KANG), Pisahkan (PIS), manfaatkan (MAN) sampah.

Model yang telah berjalan tujuh tuhun lalu itu diterapkan di delapan kelurahan. Empat kelurahan diantaranya dipegang oleh YPBB yaitu Kelurahan Sukaluyu, Neglasari, Lebak Gede dan Gempol Sari. Dengan program Kang Pisman, kata Yobel, warga mau memilah sampahnya.

“Warga itu mau memilah tanpa regulasi sampai 60-70% persen per RW. Intinya mereka mau dan merasakan manfaatnya. Contoh di RW 9 Sukaluyu, mereka berkebun dari hasil sampahnya sendiri, mereka botram (makan bersama) tiap jumatan. Jadi mereka membuat komunitas yang hilang dari masalah sampah,” ungkap Yobel saat ditanya mengenai tingkat partisipasi warga untuk memilah sampah di Sekretariat YPBB, Bandung, Selasa (23/7/2019).

 

Logo program Kang Pisman Pemerintah Kota Bandung. Sumber : kangpisman.com

 

Manfaat Memilah Sampah

Yobel menjelaskan banyak manfaat dari pemilahan sampah. Meski manfaat jangka pendeknya belum terasa, karena perilaku memilah sampah ini termasuk perubahan perilaku (behavioral change) yang dapat dirasakan dalam waktu jangka panjang yaitu mengurangi sampah. Perubahan perilaku bakal mengurangi timbulan sampah secara signifikan.

“Mengurangi itu solusi jangka panjang tapi butuh waktu, kuncinya itu memilah karena 50% sampah itu organik. Jadi kebayang sampah bisa diselesaikan dengan kompos di rumah,” jelasnya.

Dari Open Data Kota Bandung tahun 2017, rata-rata produksi sampah berdasarkan sumbernya penyumbang tertinggi dari pemukiman yaitu sekitar 1000 ton sampah. Sedangkan berdasarkan jenisnya, sampah sisa makanan menjadi sampah terbanyak kedua setelah sampah daun dan ranting yang menyumbang 300 ton sampah.

Menurut riset BPS tahun 2013 dan 2014, perilaku memilah sampah di sektor rumah tangga masih minim. Angka sampah yang tidak dipilih di Indonesia mencapai 81,1 persen saja, adapun sampah yang dipilih dan dimanfaatkan hanya sebesar 8,75 persen. Padahal perilaku memilih sampah, dapat menjadikan usia TPA lebih panjang, usia rawat transportasi lebih panjang dan tentunya menguntungkan semua orang, tinggal pemerintah mau investasi dimana.

perlu dibaca : Urusan Sampah, Butuh Cara Efektif Penanganannya

 

Suasana di di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung, kamis (16/17/2017). Menurut BPLHD Jabar, kontrak TPA tersebut berakhir akhir tahun ini, namun diperpanjang selama 3 tahun dan diperluas 20 hektare untuk menampung sampah dari Bandung raya, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal

 

Konversi Sampah

YPBB juga fokus pada sampah yang tidak bisa didaur ulang. Karena daur ulang sampah masih dibatasi dengan teknologi pengolahan, contohnya teknologi pengolahan sampah plastik dan pasar yang menampung semua jenis daur ulang.

Sedangkan konversi sampah menjadi bahan bakar atau bentuk lain juga bermasalah. Seperti yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rumah Tangga (PUPR) Kota Bandung yang menjadikan plastik sebagai material aspal. Proses pemanasan sampah menjadi aspal mengeluarkan racun dioxin furan yang dapat mencemari udara. Dan sampah plastik yang diubah menjadi mikroplastik sebagai bahan aspal bakal terkelupas dan membahayakan lingkungan.

“Yang pasti semua pengolahan end of type berada di hilir sistem yang dia sistemnya tidak mendaur ulang material untuk balik lagi ke hulu, tidak sustain. Bila didorong penggunaan insenerator seperti di Jakarta, menimbulkan polusi udara dan tidak tidak ada dilakukan dengan benar,” papar Yobel.

 

Infrastruktur Organik

Penanganan sampah secara terpadu dari hulu ke hilir bisa dilaukan dengan model terpilah dan pengolahan organis. Karena lahan di Kota Bandung terbatas, pengomposan perlu dilakukan sedekat mungkin dengan sumber atau di area publik, sehingga perlu dibangun infrastruktur sampah organik.

Meski butuh anggaran lebih besar untuk membangun infrastruktur organik, Yobel mengatakan, pengolahan sampah langsung di masyarakat akan mengurangi sampah sampai habis sehingga tidak ada pengangkutan sampah ke TPA.

Biaya pengolahan sampah tiap kepala keluarga (KK) juga relatif murah yaitu Rp300-500 ribu untuk pengadaan kotak pengomposan. “Menariknya kalau membangun pengomposan yang dibayar kan orang-orang lokal. Jadi uangnya muter ke warga sendiri, dibandingkan dengan insinerator,” katanya.

Yobel juga menyoroti pembakaran sampah dengan insinerator mengeluarkan racun berupa asap yang menyebar kemana-mana dan berdampak jangka panjang pada multigenerasi dan lintas kota.

“Karena masalahnya racun insenerator itu bisa menyebar hingga 1000 kilometer jauhnya. Kalo dihitung-hitung sejauh jarak Jakarta-Surabaya,” pungkasnya.

baca juga : Penanganan Sampah Perlu Paradigma Baru

 

Warga menukarkan sampah botol bekas minuman dengan sembako kepada bank sampah di kelurahan Cipaganti, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Selasa (17/01/2017). Keberadaan bank sampah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran merawat lingkungan dengan cara memilah sampah menjadi berkah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tantangan

Yobel mengatakan sampah yang tidak dipilah mengakibatkan biaya operasional membengkak dan kapasitas TPA yang tidak dapat menampung banyaknya sampah. Selain itu, penanganan sampah masih sektoral yang perlu disinergikan bersama.

“Sekarang masalah pengelolaan sampah masih bergerak sektoral, (ada anggapan) sampah cuma masalah lingkungan. Padahal ada urusan industri, perdagangan, kesehatan. Jadi gak cuma satu sektor, maka harus digalakkan pelan-pelan, mulai dari Kang Pisman,” jelasnya.

Lulusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menyebutkan solusi permasalahan sampah itu ada di akar rumput masyarakat. Maka YPBB fokus dengan solusi jangka panjang dengan model terpilah dan terdesentralisasi, dengan pemerintah sebagai agen perubahan.

Tantangan ke depan adalah meluaskan program Kang Pisman, karena baru 8 dari total 151 kelurahan di Kota Bandung. Dari 8 kelurahan itu pun, tidak semua RW berpartisipasi.

Padahal pengelolaan sampah di Kota San Fernando berjalan cukup cepat, karena adanya aaturan agar masyarakat dapat memilah ampah disertai denda bila tidak memilah dan mengumpulkan sampah. Setelah evaluasi, aturan pengolahan sampah di Indonesia belum sekuat di Filipina.

Sehingga YPBB membentuk tim Kampanye Kebijakan Organis untuk masuk aspek regulasi program Kang Pisman, selain masuk ke sektor operasional, perencanaan, pembiayaan dan kebijakan.

Padahal pada awal program, hanya dijalankan oleh satu sampai dua RW saja. YPBB kemudian bergerak mulai dari ranah kebijakan, peraturan dan perencanaan. Hingga pada akhirnya model ini dapat berkembang menjadi delapan keluharan, dimulai dari pendekatan melalui Dinas Lingkungan Hidup sampai Walikota Bandung peduli terkait masalah ini.

Walikota Bandung, Oded M. Danial menyebutkan program Kang Pisman bisa jadi budaya baru Kota Bandung. “Kesadaran Kang Pisman harus bisa terserap merata di semua lapisan masyarakat. Saya berharap Kang Pisman menjadi gerakan yang disadari masyarakat Kota Bandung. Yang terpenting menjadi peradaban baru di Kota Bandung,” kata Oded dikutip dari kompas.com.

Pada akhirnya masalah sampah dapat diselesaikan dengan model terpilah dan terkumpul organik, sisanya dapat diurusi dengan baik. Model tersebut dapat dipercayakan kepada masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Meskipun begitu sinergisitas penta-helix yaitu pemerintah, industri, masyarakat, media dan akademisi perlu bekerja bersama karena permasalahan sampah ini tidak dapat diselesaikan oleh satu bagian saja.

***

*Moch. Rizqi Hijriah, Mahasiswa Prodi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Magang di Mongabay Indonesia, Juni – Agustus 2019

 

Exit mobile version