Mongabay.co.id

Ratusan Orang Ultimatum Penanganan Pencemaran Udara PLTU Cilacap dalam Sebulan, Mungkinkah?

 

Sinar matahari yang panas dan udara menyengat tidak menyurutkan niat ratusan orang warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) menggeruduk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pada Senin (30/9). Mereka sengaja datang untuk menagih janji penanganan limbah PLTU Cilacap yang dikelola oleh PT Sumber Segara Primadaya (S2P).

Dengan menggunakan truk dan kendaraan lainnya, mereka akan menagih janji Pemkab Cilacap yang bakal menyelesaikan pencemaran udara akibat debu dari Ash Yard milik PLTU Cilacap. Sebab lokasi Ash Yard yang digunakan untuk menampung limbah sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Sementara penampungan limbahnya hanya dibatasi dengan tembok setinggi 5 meter.

Ratusan orang baik lelaki dewasa maupun para ibu mencoba untuk langsung masuk ke Kantor DLH Cilacap, namun tertahan barikade aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP. Mereka kemudian menggelar orasi.

Mereka juga membawa poster-poster dengan beraneka tulisan tuntutan. Di antaranya adalah “Kami Butuh Bukti, Bukan Janji”,“Rakyat Butuh Udara Bersih”, “DLH Medhot Janji”, “Wes Ambyar…” dan sebagainya.

baca : Keluhkan Polusi PLTU, Warga Cilacap Lapor ke Kementerian Lingkungan

 

Spanduk yang dibentangkan warga Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jateng saat aksi di depan Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap pada Senin (30/9/2019) menuntut penanganan pencemaran debu PLTU Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam orasinya, warga meminta kepada Pemkab Cilacap untuk konsisten dan janji harus ditepati. Hal itu disampaikan warga, karena sebelumnya, mereka telah meminta dan sudah dijanjikan, namun sampai sekarang penanganan yang dilakukan tidak dirasakan warga. Pencemaran masih terus terjadi.

Koordinator Lapangan Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) Agus Mulyadi mengatakan pada Agustus 2018 lalu, diadakan audiensi pertama dengan Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji. Kemudian Bupati membentuk tim investigasi pada September dengan SK Bupati No.660.1/425/30. “Bupati waktu itu memerintahkan DLH untuk menangani kerusakan lingkungan di Dusun Winong,” katanya.

Tim investigasi dibantu Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. “Hasil investigasi itu, kami belum tahu. Padahal dalam investigasi, ada dua orang wakil dari dusun yang ikut serta. Melalui jalur mediasi yang difasilitasi DLH antara warga Dusun Winong dengan PT S2P Cilacap telah membuat kesepakatan awal pada November 2018 lalu, dan diputuskan ada evaluasi empat bulan setelahnya. Ternyata sampai akhir September, tidak ada evaluasi,”ujarnya.

Akibatnya, sampai sekarang pencemaran masih terjadi dan dirasakan oleh warga. Selain penghijauan sama sekali tidak ada. Batu bara juga begitu menyengat tercium serta mengancam kesehatan warga. “Ada 300 keluarga yang terdampak, pada umumnya anak-anak. Sebab, PLTU terlalu dekat dengan pemukiman penduduk. Padahal, kami terlebih dahulu yang ada di situ, bukan PLTU,” kata Agus.

Bahkan, sekitar 75% anak-anak di dusun setempat juga mengalami sejumlah penyakit akibat pencemaran seperti bronkitis maupun sakit gatal-gatal pada kulit. “Pokoknya, kami tidak tahu, silakan bagaimana caranya, Ash Yard dipindahkan, karena jelas-jelas masih mencemari lingkungan khususnya di Winong,” tegas Agus.

baca juga : Problem Lama Belum Usai, Masalah Warga Winong Bakal Bertambah dengan PLTU Baru

 

Seorang ibu peserta aksi yang dilakukan warga Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jateng menuntut penanganan pencemaran debu PLTU Cilacap di Kantor DLH Cilacap, Senin (30/9/2019). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Karena itulah, unjuk rasa sengaja digelar untuk menuntut kepada DLH Cilacap menyelesaikan dampak debu atau limbah berbahaya dari Ash Yard yang masih dirasakan warga Winong. Selain itu, membuka akses keterbukaan informasi public terkait hasil investigasi yang dilakukan oleh PPLH Undip pada September 2018 silam.

“Kami mengultimatum, agar penyelesaikan pencemaran lingkungan dalam waktu satu bulan. Bagimana? Setujuuu???,”katanya. Pengunjuk rasa menimpali setuju. Setelah beberapa orang melakukan orasi, DLH Cilacap akhirnya membuka diri untuk dialog dengan dipimpin langsung oleh Kepala DLH Cilacap Awaludin Muri.

Seorang ibu perwakilan dari warga, Sadinem, mengatakan saat ini dusun yang didiaminya tidak sehat lagi, karena debu masih beterbangan dan sampai ke rumah-rumah. “Ada di tanaman, genting, teras rumah dan di mana saja. Mohon Pak, itu segera diselesaikan. Jangan sampai kami terus menjadi korban pencemaran,”ungkapnya.

Pegiat FMWPL, Riyanto, menegaskan kalau dalam satu bulan tidak selesai menangani pencemaran. “Kami ingin dalam satu bulan ada penanganan secara nyata. Sebab, kalau tidak warga akan masuk untuk menutup bersama-sama. Memang selama ini telah dipasangi paranet, namun itu tidak menyelesaikan persoalan. Nyatanya debu masih tetap beterbangan ke mana-mana dan berdampak kepada masyarakat,” katanya.

perlu dibaca : Derita Warga Cilacap Hidup Bersama Pembangkit Batubara

 

Kepala Desa Slarang, Marmin, ikut serta memberikan dukungan warga Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jateng saat aksi di depan Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap pada Senin (30/9/2019) menuntut penanganan pencemaran debu PLTU Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di tempat yang sama, pendamping masyarakat Dusun Winong, Bagus Ginanjar menyatakan masyarakat benar-benar merasakan dampak secara nyata akibat keberadaan Ash Yard PLTU Cilacap. “Saya menghargai apa yang telah dilakukan oleh DLH Cilacap. Namun, pada kenyataannya, sampai sekarang dampak itu masih tetap dirasakan masyarakat. Debu ke mana-mana yang jelas-jelas akan mengganggu kesehatan masyarakat. Apalagi, warga telah kehilangan mata air dan sumur yang tercemar. Ternyata upaya yang dilakukan selama ini tidak membuahkan hasil. Pemasangan paranet, misalnya, juga tidak menjawab permasalahan,”ujar Bagus.

Kepala Desa (Kades) Slarang Marmin yang berada di lokasi demo juga didaulat warga untuk memberikan pernyataannya. Dia menyatakan dukungannya terhadap perjuangan warga desanya khususnya Dusun Winong. “Pak Kepala DLH Cilacap, tolong segera ditindaklanjuti apa yang menjadi tuntutan dari warga. Sebetulnya memang berbagai upaya telah dilakukan, tetapi belum maksimal. Oleh karena itu, segera saja direalisasikan. Usulan dari warga memang satu bulan, tetapi sepertinya terlalu mepet waktunya. Ya, pokoknya secepatnya dan semaksimal mungkin. Sebab, kalau waktunya sebulan, sepertinya belum selesai,”ujar Kades.

Menanggapi tunturan warga, Kepala DLH Cilacap Awaludin Muri menyatakan untuk tuntutan tranparasansi dan hasil investigasi, dirinya langsung menyerahkan dokumennya. “Hari ini, saya bayar lunas salah satu tuntutan warga yakni penyerahan berkas hasil investigasi yang dilakukan oleh tim gabungan, tidak hanya dari Undip Semarang saja, karena ada juga dari perwakilan warga yang masuk di dalam tim. Ini saya serahkan kepada warga,” ujarnya saat pertemuan dengan warga.

Terkait dengan penanganan pencemaran, ia mengakui kalau ada keterlambatan. Misalnya soal pemasangan paranet. “Dan itu sudah diakui juga oleh PT S2P, kalau pemasangan paranet telat. Sampai sekarang, kami juga terus melangkah, tidak jalan di tempat. DLH Cilacap terus berkoordinasi dengan Pemprov Jateng terkait Amdal dan juga dengan PT S2P sekalu pengelola PLTU Cilacap,” katanya.

Ia menegaskan akan tetap mengupayakan untuk mengatasi pencemaran yang terjadi. “Kami mengakui, karena juga turun ke lapangan, kalau pencemaran masih terjadi. Karena itulah, dibutuhkan upaya yang lebih meningkat lagi untuk mengurangi atau menghilangkan pencemaran debu. Misalnya dengan membangun ‘dome’ untuk menutup sisa pembakaran batu bara dan menyemprotkan air supaya debu tidak beterbangan. Itu yang nantinya diupayakan. Prinsipnya, kami bergerak. Tetapi kalau waktu sebulan, rasa-rasanya belum rampung,” ungkapnya.

baca juga : Aturan Baku Mutu Emisi, ‘Karpet Merah’ PLTU Batubara Cemari Udara

 

Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version