Beberapa pembangkit listrik batubara terbangun di sekitar kampung mereka di Cilacap. Dari bunyi bising, polusi debu batubara, asap pembakaran, sampai sumur kering pun mereka rasakan…
Tasimun wajar khawatir. Kampung warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah ini berjarak hanya 100 meter dari pembangkit listrik tenaga batubara Karangkandri.
Siang hari, sekitar pukul 11.00, debu tebal dari tumpukan ashyard milik PLTU berhembus ke kampung Tasimun. Ia hanya dibatasi tembok setinggi tiga meter. Anak-anak tampak bermain di halaman rumah. Suara mesin generator PLTU terdengar bising dikala siang, apalagi malam. Di dedaunan, debu-debu tampak tebal menempel.
“Jika kemarau air susah, debu banyak, tapi perusahaan dan pemerintah kabupaten tak peduli,” cerita Tasimun.
Saya datang ke Winong. Bahkan tinggal di kampung Tasimun. Hampir semua halaman rumah warga ada tumpukan pasir hitam hasil menguruk di pesisir pantai, berjarak sekitar satu kilometer. Sebelum ada PLTU, warga sebagai nelayan dan bertani. Kini, tak ada lagi lahan pertanian, sulit akses ke pesisir. Hampir semua warga jadi penambang, bagi yang punya modal mereka berbisnis tambak udang.
“Dulu, janji dapat kerja, faktanya, segilintir saja,” katanya.
Sekitar tiga kilometer dari Dusun Winong, di sisi timur ada pula PLTU Batubara Adilapa. Kini jarang beroperasi. PLTU Karangkandri, lebih aktif dibanding Adipala. Kalau Adipala beroperasi, kampung Tasimun dapat kirimin polusi debu.
Tasimun bilang, banyak warga sakit pernapasan. Periksa ke Puskesmas terdekat, divonis instalasi saluran pernafasan akut (ISPA).
Data UPT Puskesmas Kesugihan yang Mongabay terima, pada 2016 ada 10.481 warga terkena ISPA, rinciannya, 6.721 pengiadap baru, dan 3.760 pengidap lama. Pada 2017, ada 8.681 pengidap ISPA, rinciannya, 6.069 baru dan 2.612 pengidap lama. Hingga Juni 2018, ada 3360 warga terkena ISPA, tediri dari 2.241 pengidap baru dan 1.119 orang lama.
“Kami sakit pernapasan dan batuk sudah sejak PLTU beroperasi. Sembuh sebentar, tak lama kambuh lagi,” katanya.
Tasimun rindu lingkungan kampung asri dan sejuk, tanpa polusi. Tak hanya polusi udara. Kini warga juga kesulitan mencari air bersih. Dia sendiri bikin sumur lebih dalam, hasilnya, air asin dan bau.
Selama 45 tahun tinggal di sana, baru kali ini air asin. Panci masak air baru tiga hari beli langsung berkerak putih kehitaman.
Apa yang dirasakan Tasimun, juga dialami tetangganya, Sadinem. Dia sering merenung, sehabis melihat anak-anak bermain. Membandingkan kondisi kampung ketika dia kecil dengan udara bersih, dibandingkan saat ini. Dia takut generasi penerus di kampungnya terserang penyakit karena polusi PLTU.
Dia contohkan, di rumahnya, walau arah angin dari polusi PLTU tak dominan, tiap hari, bisa tiga kali menyapu teras di dalam dan luar rumah, kala kemarau. Hanya musim hujan, sedikit lebih baik, walau tetap ada.
“Kami mohon diperhatikan. Limbah dan polusi beracun jangan juga diberikan ke kami,” kata Sadinem.
Sekitar 200 meter dari rumah Sadinem, ada sekolah dasar negeri Winong. Bangunan sekolah hanya dibatasi tembok dengan lokasi PLTU tambahan 1×1000 Megawatt.
Anak-anak bermain di halaman sekolah. Menurut warga, bangunan sekolah retak, ketika paku bumi ditancapkan.
Kalau PLTU beroperasi, katanya, debu berbahaya bagi siswa. Sayangnya, Kepala Sekolah tak bersedia diwawancara.
Saya berkeliling ke Desa Kuwasen, sekitar tiga kilometer dari Winong. Rumah-rumah di desa itu banyak atap berwarna hitam. Dedaunan debu hitam, begitu juga teras rumah dan mushola. Di pesisir Pelabuhan Ikan Desa Menganti, di akhir pekan banyak keluarga berlibur dan bermain pasir di pantai. Jarak tak lebih dari satu kilometer dari PLTU.
“Dulu, pantai ini bersih sebelum ada PLTU. Kini, sering ada limbah batubara mendarat di pantai,” kata Surtini, warga Karangkandri.
Kalau berkendara sekitar lima kilometer dari rumah menuju pantai, dia sedikit takut karena banyak truk tronton besar membawa batubara, yang melewati jalur pesisir selatan dan jalan utama. Di pinggiran jalan, banyak limbah batubara tercecer.
“Mau protes bingung. Selama ini, pemerintah dan aparat juga tahu itu pelanggaran,” katanya.
***
Udara terik matahari, pada Senin (27/8/18), sekitar pukul 9.00 pagi. Dua mobil bak terbuka dan satu truk sudah parkir di depan Balai Dusun Winong. Hari itu, lebih 50 warga berujuk rasa dan bertemu Bupati Cilacap. Mereka ingin pemimpinnya menindak tegas pemilik PLTU Cilacap atas tindakan pencemaran lingkungan.
Dari Winong, saya ke Alun-alun Cilacap. Setibanya, di depan Kantor Bupati, beragam poster terbentang.
“Dulu Rumahku Sejuk, Kini Berdebu.” “Kita Butuh Udara Bersih, Bukan Debu Batu Bara.”
Ada juga membawa poster bertuliskan, “Warga Winong Harus Bebas Debu Batu Bara.” “Tolak PLTU Batu Bara.” “Kembalikan Udara Bersih Winong.” “Merdekakan Kami dari Dampak PLTU.” “Dulu Air Kami Tidak Asin dan Kering.”
“Kami meminta bupati memberikan sanksi administratif kepada PT Sumber Segara Primadaya (S2P) selaku pengelola PLTU Cilacap,” kata Rianto, Koordinator Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL).
Bupati, katanya, harus menegakkan peraturan daerah Nomor 5/2016, karena selama ini PLTU telah mencemari lingkungan Dusun Winong. Saat ini, warga Winong terkena dampak debu dan air jadi kering serta asin. Warga juga merasakan gatal-gatal.
Harapan warga, ketegasan bupati mengatasi debu PLTU. Tiap hari, katanya, warga harus menyapu dan mengepel.
Ada 275 keluarga di Dusun Winong, sangat merasakan sekali dampak itu. Terparah, RT01 RW10 dan RT02 RW10.
“Dampaknya tidak hanya satu tahun tetapi beberapa tahun. Kami mengalami krisis air hingga kekeringan.”
Kini, katanya, warga terpaksa mengalihkan alokasi uang keperluan anak sekolah untuk mengebor, karena air sangat penting tetapi debit tak mencukupi.
Ada bantuan toren untuk menampung air dari PLTU sebanyak delapan unit berkapasitas 1.050 liter. Ia terdistribusi pada tiga rumah dalam sehari.
“Ke-24 keluarga yang mendapat bantuan toren tak setiap hari. Mereka harus menunggu pengisian tiap lima hari sekali. Ini juga tak menyelesaikan masalah,” kata Rianto.
Warga khawatir kala air sumur bikin gatal. Dia bercerita, awal krisis di kampung muncul sejak perluasan unit III dan IV. Sebelumnya, keluhan sebatas debu polusi dari PLTU Unit I dan II.
Proyek perluasan PLTU Karangkandri berdampak kepada sumur warga. Dalam pembangunan proyek ada pekerjaan penggalian tanah sedalam 15 meter dan pengeboran tiang pancang. Dampaknya, air di sumur warga mengering.
“Kalaupun ada air, rasa asin hingga tidak layak minum.”
Warga juga mengeluhkan bising mesin pembangkit yang beroperasi setiap hari selama 24 jam.
Bertemu dan desak tindakan bupati
Pukul 10.00 pagi, warga bertemu Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji. Sadinem dan Tasimun, ikut pertemuan itu. Ada 10 perwakilan, terdiri dari warga, Walhi Jawa Tengah dan LBH Yogyakarta, sekalu kuasa hukum.
Rianto mengatakan ke bupati, bahwa masalah air di Dusun Winong, dampak limbah beracun B3. Tempat pembuangan B3 persis di selatan permukiman warga.
Sumur jadi kering karena aktivitas penimbunan abu terbang dan abu dasar di lokasi itu. Kondisi ini, menyebabkan, instrusi air dan sumur kering sudah terjadi sejak 2016.
Sebanyak 985 jiwa terdampak pembangunan ini. “Lokasi pembangunan dengan dusun ini hanya sekitar 20 meter, kami ingin bupati menindak perusahaan,” kata Rianto.
Fahmi Bastian, aktivis Walhi Jateng, kepada Mongabay mengatakan, penurunan kualitas hidup warga terutama karena cerobong PLTU unit tiga dan pengelolaan limbah B3 oleh PT S2P. Terutama soal penimbunan abu terbang dan abu dasar yang bersebelahan dengan pemukiman warga.
Aktivitas ini, katanya, bikin buruk kualitas udara di Dusun Winong. Setiap hari, warga harus menghirup asap, debu dan abu batubara. Setelah beroperasi, penimbunan abu terbang dan abu dasar juga mengkibatkan intrusi air laut dan sumur–sumur mengering.
“Fakta di lapangan di lingkungan PLTU ada ashyard atau kolam abu,” kata Fahmi.
Dia meminta Pemkab Cilacap, menginvestigasi lebih lanjut. Untuk kolam abu, katanya, harus punya spesifikasi sesuai aturan perundang-undangan.
“Harus ada kesesuaian jarak antara kolam abu dengan pemukiman masyarakat. Di sini, tidak ada jarak, sebatas tembok setinggi tiga-empat meter. Ketika ada angin bertiup abu buttom ash dan fly ash bertaburan,” katanya.
Kolam abu, katanya, ternyata tak dilaporkan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap. Saat audiensi, DLH Cilacap tak tahu sama sekali terkait ada kolam abu. “DLH juga tidak mengecek dan pengawasan maksimal.”
Penduduk Dusun Winong, sebagian besar penambang pasir sungai, sebelumnya hampir 90% warga petani, 5% nelayan dan 5% buruh.
Pada 2004, dekat persawahan Dusun Winong mulai ada PLTU berkapasitas 2 x 300 MW diprakarsai PT. Sumber Segara Primadaya (S2P).
Kala beroperasi pada 2006, permasalahan penduduk Winong mulai bertambah. Fahmi bilang, PLTU batubara Cilacap menimbulkan dampak lingkungan dan keresahan di masyarakat. Awal pembangunan PLTU I dan II kapasitas 2 x 300 MW, masyarakat banyak tak tahu.
Mulailah warga Winong, merasakan pencemaran udara karena debu batubara ketika angin barat daya, limbah buang dan air laut masuk ke lahan pertanian warga. Sebagian warga juga mengalami gangguan pernapasan dan bau menyengat ketika batubara terbakar di musim panas.
Pada 2013, PLTU melakukan konsultasi publik dan beberapa tokoh masyarakat Winong menolak ekspansi unit III. Fahmi bilang, ekspansi unit III (660 MW) pada 2015, masyarakat tak diikutsertakan atau tak ada partisipasi masyarakat sesuai PP Nomor 27/2012 tentang izin lingkungan.
“Akibat pembangunan PLTU III lahan pertanian warga Winong berkurang hingga 75%, kurang lebih 6,5 hektar untuk kebutuhan lahan PLTU.”
Masyarakat, katanya, terpaksa menjual lahan persawahan tidak subur karena terkena dampak PLTU I. Bahkan, katanya, kala unit III mulai beroprasi pada 2016, di sekitar Dusun Winong beberapa kali terjadi hujan asam.
Pada 2017, PLTU mulai ekspansi unit IV (1.000 MW) berada persis di depan unit III, hingga kini pembangunan masih berjalan.
“Hasil dari pengecekan kesehatan dari pukesmas dan mahasiswa KKN dari STIKES Al-Irsyad menunjukkan beberapa indikasi warga terkena penyakit pernapasan,” kata Fahmi.
Beberapa dampak dirasakan warga Winong, menimbulkan kerugian lingkungan, ekonomi, sosial, dan kesehatan.
Walaupun PLTU beberapa kali memberikan bantuan dana tanggung jawab sosial maupun kompensasi dan berobat gratis, tetapi tidak setimpal dengan dampak yang dialami warga.
Berdasarkan fakta–fakta itu, katanya, diduga S2P telah melanggar ketentuan Pasal 50 ayat 1 dan Pasal 69 ayat 1 peraturan daerah Cilacap Nomor 5/2016 tentang izin lingkungan dan izin pengelolaan dan perlndungan lingkungan hidup,.
Pemerintah Cilacap, belum mempunyai rencana detail tata ruang (RDTR) lebih detil sampai kini. Cilacap baru memiliki rencana tata ruang wilayah (RTRW) bersifat umum. Selama ini, RTRW masih jadi pedoman bagi pembangunan di Cilacap.
“Akibatnya, ketika RDTR belum jadi dasar pengajuan izin, terjadi ketidaksesuaian pembangunan di daerah,” katanya.
Menurut dia, ada tiga aspek penting dalam menentukan kebijakan pembangunan, yakni aspek masyarakat, lingkungan dan ekonomi.
Fahmi bilang, pernyataan DLH dan arah tujuan program Cilacap to be Singapore of Java, menunjukkan patokan pemkab hanya aspek ekonomi. “Masyarakat dan lingkungan jadi korban.”
Adjar Mugiono, Kepala DLH Cilacap mengatakan, sudah ke PLTU. Kini, ada penambahan satu toren di Kuwasen. “Debu betul ada, di sana banyak tambak, tapi bukan karena tambak.”
Dia bilang, izin lingkungan PLTU dari gubernur berdasar PP No 27/2012 dan sudah uji laboratorium. “Semua di bawah ambang batas,” klaim Adjar.
Bagus Ginanjar, aktivis Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam Imam Ghazali (KMPA Ighopala), mengatakan, pembangunan PLTU berdampak parah bagi warga sekitar yakni Winong, Kuwasen dan Menganti.
Emisi pembangkit listrik batubara, katanya, juga menyebabkan kerusakan lapisan ozon yang mengakibatkan masalah kesehatan terhadap makhluk hidup.
Bagus meminta, Pemerintah Cilacap menerbitkan dan menginformasikan hasil pengukuran ambien udara dan pengukuran sampel air sumur warga yang pernah dilakukan DLH kabupaten awal 2018.
DLH sudah berikan sanksi administrasi berupa teguran dan paksaan pemerintah. Aliansi, kata Bagus, menuntut pemkab segera penelusuran dengan melihat dan bertemu warga agar mengetahui langsung dampak yang dialami masyarakat. Setelah itu, lakukan penindakan pada perusahaan.
“Berikan sanksi pembekuan bahkan pencabutan izin lingkungan dan izin pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup apabila S2P tak menjalan sanksi teguran dan paksaan pemerintah.”
Janji bentuk tim investigasi
Dikonfirmasi Mongabay, Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji, atas keluhan dan laporan warga, berjanji membentuk tim investigasi terkait permasalahan itu.
Dia bilang, temuan akan dikoordinasikan dengan dinas terkait untuk tindakan selanjutnya. “Saya akan bentuk tim investigasi untuk menindaklanjuti ke lapangan,” katanya.
Hasil investigasi tim, katanya, akan jadi dasar bagi Pemkab Cilacap memanggil S2P selaku investor pembangunan PLTU Karangkandri, segera mengatasi masalah.
Soal keluhan kekeringan, kata Tatto, hampir dialami seluruh penduduk di Pulau Jawa. Pemkab, sedang fokus bagaimana PDAM mengatasi kekeringan parah tahun ini. Meski sebelumnya juga pernah terjadi, namun tak separah sekarang.
Dian Setyabudi, Asisten II Sekda Cilacap mengatakan, soal krisis air terjadi di berbagai daerah, bahkan PDAM tak bisa berbuat apa-apa. Air asin, katanya, sudah sampai bagian belakang pompa air Kesugihan. “Faktor alam seperti angin mungkin juga mendorong air laut hingga ke Kesugihan,” katanya.
Dia bilang sudah ke PLTU, dan tindak lanjut dengan pemasangan toren-toren. Di Kota mati air sama sekali.
Pemerintah, katanya, mengirim 80 drum air ke daerah-daerah krisis. Warga Winong masih gunakan air tanah karena PDAM belum masuk.
Hingga berita ini turun, PLTU belum bisa dimintai tanggapan. Telepon dan email Mongabay ke perusahaan tak mendapat respon. Dihubungi kantornya di Cilacap, PLTU menanggapi, bahwa semua keluhan warga akan disampaikan ke Direksi S2P di Jakarta.
Keterangan foto utama: Anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia