Mongabay.co.id

Climate Strike Seniman dan Warga di Celukan Bawang

 

Pohon-pohon mangga berbuah sangat lebat di sebagian rumah warga, pada akhir Agustus lalu. Salah satunya di rumah Herman, warga Dusun Brongbong, Desa Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali.

Ia sedang duduk di depan rumahnya berkawan angin sepoi dari rindangnya pohon mangga. Suasana desa ini cukup teduh, berkebalikan dengan situasi di pantai, beberapa puluh meter di sebelah barat pemukiman. Di pantai, terlihat kegiatan PLTU Celukan Bawang di tengah laut dan kapal-kapal tongkang pembawa batubara, bahan bakar pembangkit listrik tenaga up itu.

Herman bercerita tentang berkah pohon-pohon mangga yang akan panen. “Ini sudah dipajekin,” ia menunjuk pohon mangga paling lebat di rumahnya, ditemui 25 Agustus lalu. Sudah dibeli hasil panennya keseluruhan satu pohon. Namun ia hanya menjual panen satu pohon saja. Agar bisa dinikmati keluarga dan tetangga.

Saya tak ragu meminta beberapa butir karena penasaran dengan ceritanya tentang manis, asam, dan legitnya mangga madu tanpa pupuk kimia. Ia mempersilakan masuk dan menuju pohon yang juga berbuah lebat. Istrinya dengan sigap membantu menarik tangkai mangga dengan batang bambu. Mangga pun dinikmati langsung di bawah pohonnya.

baca : Nasib Warga Sekitar PLTU Celukan Bawang, Bakal Makin Sulit dengan Perluasan Pembangkit

 

Mural oleh Lezart ini menjadi bagian dari keseharian warga di Dusun Brongbong. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Tembok depan rumah Herman adalah sebuah lukisan mural yang naratif dari Komunitas Iris Tipis, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Perpaduan mitologi dan dampak industrialisasi kini. Seekor naga bermahkota melilit kapal tongkang pengangkut batubara. Kepala naga yang sedang berenang di laut ini menghadap bangunan bercerobong yang menyeburkan asap pekat, salah satu bagianya ditancapkan papan bertuliskan Investashit. Dalam asap pekat itu tertulis teriakan “Rusak Alam Kita.”

Dalam sebuah epic tentang keseimbangan alam, dikisahkan perjalanan Bedawang Nala sang kura-kura raksasa memanggul potongan gunung. Perjalanan ini dibantu Naga Anantaboga, Naga Taksaka, dan Naga Basuki sebagai pengikat Bedawang Nala.

Sejumlah artefak sejarah seperti lontar Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menuturkan setelah bumi diciptakan lengkap dengan segala isinya maka pada suatu ketika terjadilah bencana, di mana tumbuh-tumbuhan mati, air surut, dan udara mengandung penyakit.

Para dewa berusaha menyelamatkan alam. Mereka menjelma naga. Naga Anantabhoga yang berwarna merah berada di dalam inti bumi (api, magma). Naga Basuki yang berwarna hitam berada dalam laut, dan Naga Taksaka yang berwarna putih bersayap berada di udara. Mereka bahu membahu bersama Bedawangnala mencoba menyeimbangkan bumi agar tak terguncang, kembali ke keseimbangannya.

Ini mitologi klasik yang abadi menjadi peringatan bagi manusia. Saat itu akan tiba, ketika bumi sakit karena elemen hidup sudah rusak, tak seimbang.

baca juga : Limbah PLTU Celukan Bawang Membahayakan Manusia dan Lumba-lumba

 

Menerjemahkan mitologi klasik Naga penjaga keseimbangan alam yang murka dengan upaya manusia merusaknya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kesakitan bumi ini diteriakkan Greta Thunberg, remaja 16 tahun asal Swedia yang menjadi pemimpin aksi-aksi untuk aksi perubahan iklim. Sejak usia 15 tahun ia bolos sekolah tiap Jumat dan aksi solo depan gedung parlemen Swedia agar pemimpin pemerintah segera mengambil aksi mengatasi climate change. Inilah cikal bakal Fridays for Future.

Greta menolak menggunakan pesawat untuk terbang ke Amerika Serikat menghadiri undangan sidang PBB di New York dan KTT Perubahan Iklim di Chile. Misinya adalah pengurangan emisi karbon penyebab perubahan iklim, salah satunya mengganti bahan bakar fosil dengan suber energi terbarukan. Ia memilih perjalanan mengarungi samudera Atlantik dengan kapal bertenaga panel surya dan turbin air laut selama 15 hari dari Inggris ke New York. Greta menjadi patron aksi jutaan orang di seluruh dunia pada pekan Climate Strike September ini, untuk kembali menarik perhatian para pejabat global melakukan aksi pengurangan emisi, dan aksi pemulihan alam.

Para pelukis mural dan warga yang rumah-rumahnya dilukis di Celukan Bawang ini sudah bersuara dengan cara mereka. Sebuah climate strike, menuntut pembangkit listrik tanpa bahan bakar fosil yang rentan polutif. Bahkan wajah dusun Brongbong ini kini bisa jadi tempat merenung di tiap sudutnya. Cukup berjalan kaki, di kanan kiri ada gambar yang merundukkan diri.

Pada pagi, seorang ibu melempar senyumnya. Rumahnya yang teduh kini lebih menonjok dengan mural persis di tembok rumah bagian depan bergambar ikan cucut dengan pepohonan yang habis dibabat. Asap membumbung dari pepohonan. Barangkali seniman gambarnya, Lezart, ingin merespon perubahan tata ruang, ketika kebun atau hutan menjadi pabrik. Pepohonan besar peredam emisi karbon kini berganti dengan corong yang malah menghasilkan emisi. Sebuah kontras yang mematikan.

perlu dibaca : Sengketa PLTU Berbahan Batubara di Bali Utara [Bagian 1]

 

Mural paus bengkok yang berontak dengan laut yang tercemar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Aktivitas pagi hari terasa makin hangat ketika mampir menyeruput kopi dan menikmati pisang goreng dengan taburan gula aren cair di sebuah warung kecil. “Sering sekali bau batu terbakar di sini,” ujarnya. Baunya menyesakkan, apalagi jika malam hari.

Di tembok warungnya tergambar aktivitas bangunan bercerobong asap dalam sebuah botol, tertulis oleh Bob Trinity. Hanya asap pekat yang keluar dari botol, dari panas yang terperangkap di dalamnya. Botol ini seolah mengambang di lautan. Terperangkap karbon monoksida, merusak atmosfer. Sebuah tafsir atas fenomena gas rumah kaca penghasil emisi karbon, menyebabkan suhu makin naik, ditandai dengan mencairnya kubut es.

Bob juga menggambar lain di tembok rumah samping warung. Seekor paus bengkok raksasa menyelam dengan masker di mulutnya.

Di sela-sela rimbunnya pohon mangga, terlihat sebuah mural menyempil di dua jendela. Penempatannya artistik sekaligus fungsional. Gambarnya pun harmonis. Jendela yang menjadi ruang keluar masuk udara yang harusnya bersih dan sehat.

baca juga : Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

 

Seniman mural Slinat mengekspresikan situasi kini dengan ancaman polusi menambah berat beban hidup manusia dan alam. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Namun lukisan mural Slinat, nama jalanan senimannya ini merepresentasikan kebalikannya. Seorang ibu dengan mulut bermasker memanggul beban berat di kepalanya. Sebuah bangunan bercerobong menyeburkan udara kotor. Faktanya, perempuan tua dan anak-anak adalah paling rentan dengan polusi.

Serangkaian mural ini menjadi bagian dari kampanye dari seniman-seniman pendukung Bali Yang Binal #8. Sebuah gerakan seni jalanan yang mengampanyekan situasi sosial, tahun ini dihelat dengan tema “Energi Esok Hari.” Lebih dari 20 orang seniman dalam dan luar negeri yang bergabung membuat karyanya, berupa mural di Celukan Bawang dan mural di jalanan kota Denpasar, dan baliho di spanduk bekas. Di antaranya Marmar Herrz, Slinat, Peanut Dog, PWRK, Eka Umawan, Gennetik, Maaf Saya Coret, Billy Anjing, Ngurah Bob Trinity, WAP, dan lainnya.

Dimulai dengan sejumlah demostrasi mural di sejumlah bangunan di kota Denpasar, lalu menggambar baliho yang dipamerkan, dan mural di rumah warga lokasi PLTU Celukan Bawang.

Baidi Suparlan, kelapa kelompok nelayan Bakti Kasgoro di Celukan Bawang terus menyuarakan penolakan warga pada PLTU yang membakar batubara di kampungnya. Mural-mural ini akan mengingatkan warga bahwa ada ancaman polusi udara. “Asap dikeluarkan malam,” katanya. Dalam sejumlah diskusi ia kerap bercerita tanda alam pasca pembangunan PLTU. Misalnya paus makin jarang terlihat. “Kalau ada paus, banyak ikan,” ingatnya.

Alat pemantau kualitas udara

Greenpeace Indonesia memasang sejumlah alat pemantau kualitas udara yang bisa mengukur partikulat debu sulit dilihat mata ukuran 2,5 mikron di Bali. Menyusul pemasangan di Jakarta pada 2017. Data yang dikumpulkan akan dianalisis tiap 3 bulan. Alat ini terpasang di 3 kabupaten yakni Celukan Bawang (Buleleng), Abiansemal (Badung), serta Kota Denpasar.

Kualitas udara hampir real time disebutkan bisa diketahui dari ponsel jika mengunduh aplikasi berbasis Android, Udara Kita 2.0. Selain update kondisi saat itu juga ada rekap 24 jam yang memperlihatkan perbedaan kualitas udara dari warna hijau, kuning, sampai merah.

baca : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali

 

Gubernur Bali Wayan Koster berkomitmen mengganti bahan bakar PLTU Celukan Bawang dari batubara ke gas, namun belum terlihat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Selain keterangan tingkat kualitas udara juga ada penjelasan efek bagi kesehatan, dan peringatan khusus untuk PM2.5. Greenpeace Indonesia meluncurkan pengukuran kualitas udara di Bali ini saat kapal Rainbow Warrior menyandar di Pelabuhan Benoa, 15 April lalu.

Menurutnya sangat penting publik tahu kualitas udara real time sekaligus ikut melaporkan situasi sekitar melalui aplikasi ini. “Tak bisa berharap dari alat milik pemerintah saja, apalagi jumlahnya kurang,” ujar Bondan Andriyanu Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Partikulat 2,5 menurutnya debu yang bersifat beracun, tak masuk hidung saja juga paru-paru. Tak menimbulkan gejala sampai 1-2 tahun kemudian. Ketika berkumpul di saluran udara, bisa menimbulkan stroke.

Selain emisi, indikator kesehatan manusia adalah parameter dalam merencanakan pembangunan energi Indonesia. Target energi di Indonesia dinilai dapat dipenuhi dengan energi terbarukan yang dapat meningkatkan pasokan listrik sekaligus meningkatkan kualitas udara.

Sejumlah lembaga lingkungan mendorong penegakan peraturan di sektor tenaga batubara, terutama pada paparan polusi udara dari PLTU. Peraturan tersebut harus mengatasi dampak bahaya yang diakibatkan oleh PLTU, dan juga harus mengatur NOX, SO2, PM2.5, dan merkuri. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus menilai dampak lingkungan yang diakibatkan oleh PLTU, dan melakukan penegakan hukum pada pihak yang melanggar standar emisi.

 

Exit mobile version