Mongabay.co.id

Menanti Kajian Lingkungan Hidup di Wilayah Ibukota Baru

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

 

 

 

Lokasi ibukota negara baru Indonesia sudah putus di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Dalam membangun di satu wilayah wajib mengetahui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Untuk itulah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak dua bulan lalu menyusun kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) wilayah ibukota baru. Kementerian ini menargetkan KLHS tahap I selesai dalam dua bulan atau dalam November ini.

“Jadi mendukung persiapan pemindahan ibukota negara, KLHK khusus diberi tugas mengusung KLHS,” kata Laksmi Wijayanti, Plt Irjen KLHK, baru-baru ini.

Baca juga : Resmi, Ibu Kota Indonesia Pindah ke Kalimantan Timur

Penyusunan KLHS ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46/2016 sebagai kajian lingkungan untuk memastikan kebijakan atau rencana pemerintah menjamin keberlanjutan dan meminimalkan dampak negatif maupun risiko lingkungan.

“Kami diberi waktu, September sampai Oktober 2019 untuk menyelesaikan tahap awal,” katanya.

Proses KLHS, katanya, terdiri dari beberapa tahap. Pertama, memberikan arahan-arahan perlindungan dan kriteria-kriteria environmental safe guard. Ia berupa muatan yang diharapkan bisa jadi arahan dalam penyusunan master plan yang dikerjakan dan terkoordinir langsung Kementerian PPN/Bappenas.

“Untuk tahap pertama ini, baru menjawab masukan umum untuk master plan. Apabila, nanti sudah turun jadi perencanaan lebih detail seperti rencana tata ruang, rencana desain, kedetilan infrastruktur, itu nanti ada lanjutannya,” katanya.

Baca juga : Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

Laksmi bilang, KLHK berupaya mendeteksi isu-isu yang muncul di permukaan dan jadi perhatian khalayak, seperti soal kekhawatiran kerusakan lingkungan di lokasi ibukota baru, tata air, ancaman terhadap habitat satwa liar dan keragaman hayati, kerusakaan lahan, pencemaran dan banyak lagi.

“Data kami kumpulkan dari berbagai diskusi, proses dialog publik oleh Bappenas sejak April lalu. Kemudian dari berbagai pemberitaan media baik nasional maupun internasional. Lingkup ini akan kami gunakan untuk menjelaskan kira-kira arahan apa yang bisa kami berikan di tahap master plan.”

Dia berharap, dalam KLHS tahap pertama ini bisa memberikan arahan sekurang-kurangnya mengenai daya dukung. “Kemudian bagaimana proteksi terhadap flora dan fauna penting. Juga pola-pola dan risiko penanganan kerusakan lingkungan, proteksi wilayah lindung dan sensitif, perkiraan dinamika sosial, ekonomi dan budaya yang akan menyertai, keberlanjutan air, dan tentu tekanan terhadap hutan,” katanya.

 

Satwa dilindungi, bekantan. Salah satu habitatnya di Teluk Balikpapan, Kaltim. Foto: Andi Fachrizal

 

KLHK, katanya, akan terus mengumpulkan konsep dan ide dari berbagai pihak. Hal itu akan jadi baseline policy yang akan diuji dengan kondisi lapangan.

Kedua, KLHK juga pemetaan berbagai aspek, seperti sisi biologi, geologi, fisika, geofisik termasuk sosial, ekonomi dan budaya. “Nanti kami uji dengan harapan, kami bisa memberikan arahan bagaimana master plan dan desain ibukota yang baru.”

KLHK juga ingin memastikan semua kebutuhan kebijakan bisa teridentifikasi. “Begitu juga faktor-faktor untuk meminimalkan dampak kerusakan dan risikonya. Itu juga ingin kita kaji,” katanya.

Laksmi bilang, dalam penyusunan KLHS, KLHK berharap peran serta masyarakat dari berbagai kalangan memberikan masukan. KLHK, katanya, akan konsultasi publik dan focus group discussion (FGD) intens untuk menghimpun berbagai masukan.

“Kami pastikan bekerja dengan hati-hati dan akuntabel. Kami ingin dampak negatif dari pemindahan ibukota ini bisa ditekan semaksimal mungkin. Diharapkan semua stakeholder bisa memberikan input. KLHK terbuka menerima masukan dari berbagai pihak.”

KLHS akan hati-hati untuk menentukan kepastian lokasi mana paling aman, paling minim dan dampak negatif paling mudah ditangani. Salah satu wilayah yang jadi perhatian khusus mengenai perairan Teluk Balikpapan dan Delta Mahakam, yang terus melebar.

“Kami akan perluas lagi. Kami semaksimal mungkin mengikuti kriteria yang sudah dibuat saat penentuan lokasi. Jadi prinsip kehati-hatian jelas. Semua harus berbasis empiris, scientific based.

Terkait kekhawatiran banyak pihak soal kerusakan lingkungan macam lubang bekas tambang batubara, kata Laksmi, pemindahan ibukota ke Kaltim malah jadi momentum tepat percepatan pemulihan kerusakan dan penataan kembali lingkungan hidup.

Ada juga pendapat pemindahan ibukota baru ini berpotensi mengganggu habitat flora dan fauna penting. “Kami paham betul, Kaltim itu bukan hanya penting konservasi di tingkat nasional, juga internasional.”

Dia memastikan, KLHK sebagai walidata keragaman hayati dan konservasi akan jadikan isu ini bagian titik awal. “Kami tahu, sebagian wilayah di situ habitat bekantan, orangutan, pesut Mahakam dan lain-lain. Ini akan jadi starting point.”

Kemudian terkait ketersediaan air. KLHK, akan melihat cermat mengenai daya dukung air di sana. Semua, katanya, akan ada simulasi untuk memperoleh gambaran infrastruktur yang bisa masuk dan berperan meminimalisir risiko.

Persoalan kebakaran hutan dan lahan, kata Laksmi, juga jadi focus. Tidak hanya soal dimensi fisik, katanya, KLHK juga menyoroti pembenahan tata kelola.

“Kita sekarang sistematis berupaya mengendalikan satu paket dari pencegahan sampai pemadaman. Tentu itu bagian dari risiko ibukota baru. Apakah Kaltim bisa dinyatakan benar-benar bebas risiko karhutla?” Dia bilang, memastikan betul antara lain faktor yang bisa menurunkan risiko karhutla, adalah pengawasan dan pencegahan melalui patroli. “Ini jadi perhatian nasional bahkan internasional, tentu effort ke sana jadi berkali-kali lipat.”

 

Pesut mahakam yang populasinya diperkirakan tidak banyak lagi. Sumber foto: akun Facebook RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia)

 

Kalau terlanjur berizin?

Sigit Hardwinarto, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK mengatakan, berdasarkan data kawasan hutan Kaltim sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.718 tertanggal 29 Agustus 2014, calon ibukota baru berada pada kawasan hutan. Ia terdiri dari taman hutan raya, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi dapat dikonversi, dan alokasi penggunaan lain.

“Sehubungan dengan rencana penataan ruang ibukota negara belum terakomodasi dalam rencana tata ruang. Maka pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangan akan revisi rencana tata ruang dan penyusunan KLHS.”

Jadi, katanya, rencana tata ruang wajib revisi dan penyusunan KLHS antara lain adalah tata ruang nasional, RTR Kalimantan, rencana tata ruang Kaltim, rancana tata ruang Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara,” katanya.

KLHK juga akan percepatan penggunaan, pemanfaatan atau pelepasan kawasan hutan untuk calon lokasi ibukota negara.

Menurut Sigit, hal ini dapat ditempuh melalui beberapa alternatif, seperti percepatan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui revisi RTRWP Kalimantan Timur (Perda Nomor 1/2016), maupun perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan secara parsial.

Kalau ada kawasan hutan yang ada izin atau sudah keluar izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), katanya, akan ada mekanisme pencabutan atau addendum.

Dia contohkan, kawasan hutan buat ibukota baru (proyek strategis nasional) sudah terbit IPPKH, katanya, pemerintah dapat mencabut seluruh atau mengurangi wilayah (addendum), termasuk izin perhutanan sosial.

Menurut Sigit, KLHK akan mempertahankan hutan lindung dengan keragaman hayati di dalamnya. Hal ini sejalan dengan konsep forest city jadi prioritas dalam membangun ibukota baru.

“Kami juga akan mempertahankan hutan lindung dan keragaman hayati di luar lokasi calon ibukota baru. Ini guna mempertahankan daya dukung dan daya tampung air hutan lindung Sungai Wein dan hutan lindung Manggar untuk keperluan Kota Balikpapan,” katanya, seraya bilang juga pertahankan fungsi lindung dan kekaragaman hayati hutan mangrove di hulu Teluk Balikpapan.

Saat ini, katanya, titik pasti lokasi ibukota baru memang masih bahasan bersama kementerian terkait, seperti Bappenas, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR dan lain-lain. Penentuan titik pasti lokasi ibukota baru, katanya, akan disesuaikan hasil KLHS.

“Terkait berapa hektar hutan lindung, hutan produksi dan IPPKH yang akan diadendum, belum bisa dipastikan. Karena kepastian lokasi masih gambaran umum. Ini masih dibahas.”

Dia bilang, Kementerian ATR/BPN dan KLHK sedang identifikasi dan inventarisasi di lapangan. “Kalau sudah fixed, baru ketahuan yang dipotong berapa.”

 

Eksploitasi batubara terhesar di Indonesia dari Kalimantan Timur. Tambang-tambang batubara menimbulkan banyak masalah lingkungan dan sosial di masyarakat. Foto: Hendar

 

Provinsi penuh konsesi

Forest Watch Indonesia (FWI) menilai, pemerintah tak transparan dalam proses pemindahan ibukota baru.

Selain informasi lokasi dan luasan ibu kota baru seluas 180.000 hektar dengan 40.000 hektar kawasan induk, pemerintah menutup seluruh informasi terkait pemindahan ibukota.

Mufti Fathul Barri, Manajer Kampanye & Advokasi Kebijakan FWI, menilai, Kaltim merupakan provinsi di Indonesia dengan wilayah paling karut marut. Sampai 2017, 69% daratan di Kaltim telah dikuasai izin-izin investasi seperti pertambangan, HPH, HTI, dan perkebunan sawit

“Izin terbesar HPH 1,9 juta hektar, tambang 1,30 juta hektar, kebun 1,20 juta hektar, dan HTI 590.000 hektar. Sisanya, ada 3,6 juta hektar wilayah berizin tumpang tindih pemberian izin,” katanya, dalam keterangan kepada media, baru-baru ini.

Agung Ady, pengkampanye FWI mengatakan, ketertutupan informasi atas kepastian lokasi ibukota baru Indonesia, menimbulkan banyak spekulasi berkembang di masyarakat.

Prediksi FWI atas rencana 180.000 hektar untuk ibukota baru, katanya, akan melingkupi sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, termasuk Tahura Bukit Soeharto.

Areal prediksi ibukota, dari hasil analisis spasial FWI, memiliki tutupan hutan alam seluas 1.370 hektar atau sekitar 1% dari luas areal.

Status kawasan di wilayah itu menunjukan hampir tak ada areal tak berizin. Wilayah di sekitar Tahura Bukit Soeharto, sudah padat izin tambang, perkebunan sawit, HPH, dan HTI. Ada sekitar 92 izin terdiri dari satu izin HPH, dua izin HTI, 12 izin perkebunan, dan 77 izin pertambangan.

Izin konsesi begitu banyak di wilayah itu, katanya, menimbulkan pertanyaan mengenai kemungkinan mekanisme tukar guling untuk lahan-lahan yang berizin.

Ketertutupan pemerintah terhadap informasi, katanya, menimbulkan potensi mekanisme tukar guling lahan tak clear and clean. Hingga bisa berdampak pada keuangan negara.

Agung juga menekankan soal keberadaan masyarakat adat dan lokal yang lama bermukim di sana. Berdasarkan data BPS, ada 769.337 jiwa bermukim di Kukar, di PPU ada 159.386 jiwa.

“Bagaimana nasib masyarakat terdampak ke depan?”

Pemerintah, katanya, seharusnya membuka kajian-kajian yang mereka lakukan berikut proyeksi dampak positif dan negatif terhadap kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang bakal terjadi.

“Ibukota adalah milik seluruh rakyat Indonesia, pemerintah seharusnya terbuka atas putusan pemindahan ibukota tercinta ini!”

Mufti nilai, pengumuman pemindahan ibu kota juga terkesan tergesa-gesa. Argumentasi-argumentasi pemilihan lokasi ibukota, baru, katanya, sebatas pertimbangan.

Dia melihat, kajian ibukota baru belum terlihat dalam bentuk komprehensif dan multidisiplin keilmuan. Kalau sudah ada, dokumen itu, katanya, seharusnya buka ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan negara.

“Ketertutupan ini menimbulkan pertanyaan, apakah ibukota baru mengikuti kondisi lingkungan. Justru sebaliknya kondisi lingkungan akan berubah mengikuti kondisi ibukota baru,” katanya, seraya bilang, kajian seharusnya terlebih dahulu sebelum ditetapkan, bukan ditetapkan dulu baru ada kajian.

Bahkan, katanya, pemerintah terkesan bermain tebak-tebakan dengan masyarakat terkait lokasi ibukota baru tanpa ada basis keilmuan.

Konsep forest city usungan pemerintah mungkin berdasar pengetahuan umum, bahwa Kalimantan masih memiliki potensi tutupan yang sangat luas.

Berdasarkan kajian FWI 2017, tutupan hutan di dua kabupaten itu tinggal 824.000 hektar, atau 29% dari luas daratan 2,83 juta hektar.

Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, 29% sudah di bawah batas minimal dari hutan yang wajib ada di satu wilayah, minimal 30%.

Pemindahan ibukota baru, katanya, memungkinkan memicu pembangunan yang makin mengurangi hutan dan pasti berdampak pada keseluruhan wilayah.

Agung menyatakan, pada 2019, luas kebakaran hutan dan lahan di Kaltim mencapai 4.430 hektar, bahkan provinsi kedua dengan kebakaran terluas di Kalimantan. Meskipun sama, pada dua kabupaten yang jadi lokasi ibukota baru hanya ada delapan titik kebakaran.

“Bagaimana dengan kabut karhutla? Apakah tidak diperhitungkan dampak psikologis dan pengaruh bagi ibukota baru?” katanya.

 

Keterangan foto utama:  Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

Ilustrasi. Konflik lahan. Jangan sampai pemindahan ibukota malah memperparah konflik lahan. Foto: AMAN Kalsel

 

 

Exit mobile version