Mongabay.co.id

Pemanasan Global, Mempercepat Es Dunia Meleleh dan Mengancam Kehidupan

 

Ibarat sebuah orkestra, sekelompok ilmuwan perubahan iklim dari berbagai penjuru dunia bermain secara harmoni antara kompeten, integritas dan konsisten sejak tahun 2015. Ada 104 ilmuwan dari 36 negara dan 6.981 artikel penelitian yang disigi, dan menguak Dampak Pemanasan Global terhadap Laut, Kriosfer dan Manusia.

Laporan setebal 1.300 halaman tersebut telah dirilis pada tanggal 25 September 2019 di Monaco. Empat hal yang perlu dicermati Indonesia tentang Laporan Khusus IPCC tentang Laut, Kriosfer dan Perubahan Iklim, adalah kriosfer terancam; ancaman kenaikan muka air laut; ekosistem laut terancam punah; masa depan laut dan manusia.

 

Kriosfer Terancam

Kriosfer adalah zona di planet Bumi yang membeku, misalnya lapisan es di Greenland dan Antartika, gunung es yang berada di lautan, gletser es di pegunungan (Puncak Jayawijaya), salju, es di danau dan lautan di kutub, serta daratan membeku di wilayah Artik yang dikenal sebagai permafrost.

Kriosfer semakin menyusut. Lapisan salju berkurang, gletser dan lapisan es mencair dan permafrost juga berkurang. Laporan IPCC ini menunjukkan bahwa ada percepatan pelelehan, dengan potensi berbahaya bagi manusia, ekosistem laut dan pengunungan tinggi karena peran kriosfer sangatlah krusial bagi sistem bumi. Bumi rentan kehilangan lebih dari setengah perfarmost pada akhir abad 21. Permafrost mampu menyimpan karbon yang berada di atmosfer hampir dua kali lebih banyak.

Es lautan berkurang secara cepat, Artik. Kutub Utara Bumi tanpa es akan menjadi pemandangan biasa disaat musim panas. Suku Eskimo yang tinggal di wilayah Artik juga sudah mulai beradaptasi dengan mengubah cara mereka berburu dan bepergian; bahkan beberapa komunitas di pesisir sudah memikirkan rencana relokasi.

Populasi fauna seperti anjing laut, walrus, dan beruang kutub, paus, mamalia lainnya, serta burung laut yang bergantung kepada es kemungkinan akan menurun drastis apabila sudah tidak ada es lagi. Dan berkurangnya air juga akan mempercepat pemanasan global, karena air yang jernih dan bening akan lebih efektif memantulkan panas dari Matahari.

Gletser meleleh. Jika emisi tetap berlanjut seperti kondisi saat ini, maka lebih dari 80% gletser kecil akan menghilang pada akhir abad 21. Akan berdampak bagi penduduk bumi yang bergantung kepada gletser untuk air, pertanian, dan energi.

baca : Negara Kepulauan Harus Bersatu Hadapi Dampak Perubahan Iklim

 

Gletser dan es yang meleleh menyebabkan berkurangnya ruang untuk mencari mangsa bagi beruang kutub. Foto: Kerstin Langenberger

 

Ancaman Kenaikan Muka Air Laut

Hampir tiga perempat permukaan bumi ditutupi oleh lautan, dan 10% lainnya ditutupi oleh lapisan es dan gletser. Jika seluruh es meleleh maka muka air laut juga makin meningkat. Muka air laut, secara global, saat ini bertambah dua kali lipat lebih cepat, dan terus meningkat secara pesat.

Lewat penelitian para peneliti dari berbagai negara, dipahami lebih baik bagaimana lapisan es Antartika dan Greenland berinteraksi dengan lautan. Estimasi tentang kenaikan muka air laut, diprediksi mencapai tinggi antara 60 dan 110 cm pada tahun 2100. Intensitas curah hujan dan siklon, yang dikontrol oleh mesin iklim bumi, akan berkontribusi dalam meninggikan air hingga beberapa centimeter dari level normal. Badai ekstrim akan sering terjadi setiap tahun pada pertengahan abad 21.

Selain pendanaan untuk menurunkan emisi, penduduk bumi juga sudah harus memperhitungkan pendanaan untuk perlindungan pantai dan daerah landai dari rob, banjir dan juga korban jiwa. Ada sekitar 45 juta penduduk Indonesia yang rentan karena tinggal di pesisir dengan ketinggian dibawah 10 meter.

baca juga : 21 Provinsi Terjadi Subsiden Tanah, Ancaman Terbesar Berada di Kawasan Pesisir, Seperti Apa?

 

Pemakaman di Kelurahan Tanjung Mas, Semarang utara, Jateng, sering terendam ketika rob sejak beberapa tahun terakhir. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Ekosistem Laut Terancam Punah

Sebagai komponen mesin iklim bumi, laut sudah menyerap lebih dari 90% kelebihan panas. Pemanasan laut yang terjadi saat ini terjadi stratifikasi dan mengurangi percampuran antara lapisan air. Dampaknya, pasokan oksigen dan nutrien bagi kehidupan laut berkurang.

Laut harus menyerap panas antara lima sampai tujuh kali lebih besar pada tahun 2100 ketimbang 50 tahun belakangan apabila manusia tidak mengubah produk emisinya. Selain laut memanas berkurangnya pasokan oksigen, lautan akan bertambah asam akibat terus menerus harus menyerap kelebihan karbon dioksida yang diproduksi oleh manusia.

Akumulasi beberapa tekanan tersebut mengancam keberadaan kehidupan laut secara global. Beberapa spesies mungkin harus berpindah ke zona laut yang baru, namun yang lain mungkin tidak bisa beradaptasi dan akhirnya bisa punah.

Penduduk bumi juga harus beradaptasi dengan berbagai masalah yang muncul, terutama yang bergantung kepada makanan laut. Terumbu karang, ekosistem yang menyokong kehidupan bagi ribuan spesies, pada akhirnya akan terancam punah setidaknya pada akhir 21.

perlu dibaca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Karang meja rentan terhadap pemutihan atau coral bleaching. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Masa Depan Laut dan Manusia

Penduduk bumi harus sadar bahwa ancaman kenaikan muka air laut dan melelehnya es akan jauh lebih cepat ketimbang yang diprediksikan oleh laporan IPCC. Laporan penelitian terbaru tersebut memperlihatkan kondisi darurat masa depan laut dan kriosfer – terutama apabila penduduk bumi tidak banyak berbuat.

Perbedaan antara kenaikan suhu 1,5°C dan 2°C sangatlah krusial bagi keberadaan kedua kutub bumi. Jika suhu pemanasan 1,5°C, diprediksi kemungkinan tidak ada es dibulan September di Kutub Utara-Artik adalah 1 banding 100. Namun, pada kenaikan suhu 2°C, prediksi hilangnya es bisa terjadi satu banding tiga.

Masyarakat di seluruh dunia akan mengalami hilangnya sumber daya air, mengalami banjir dan tanah longsor, menghadapi perubahan dalam pasokan makanan, dan menyaksikan degradasi ekosistem laut, infrastruktur, rekreasi dan budaya. Upaya adaptasi yang radikal akan membantu “mengulur waktu” berbagai komunitas.

Mengubah praktik pengelolaan perikanan dapat membantu mempertahankan populasi ikan dan kerang. Melindungi mangrove dan padang lamun serta rawa payau dapat membantu melindungi pantai dari meningkatnya gelombang badai dan banjir rob. Investasi dalam sistem peringatan dini dapat membantu masyarakat pesisir menghadapi bencana alam.

Batas adaptasi manusia sangat jelas, dan banyak dampak masih akan terjadi bahkan jika emisi berkurang. Beberapa negara pulau, misalnya, bisa menjadi tidak bisa dihuni karena kenaikan permukaan laut. Bahkan jika pemanasan dibatasi hingga 1,5 derajat C, beberapa komunitas – seperti yang ada di sepanjang pantai – tidak akan mampu beradaptasi dengan semua dampak iklim.

baca juga : Bagaimana Ancaman Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil?

 

Kapan nelayan Suku Bajo di Pulau Bungin, Sumbawa, NTB. Di Indonesia, orang Bajo, menyebar di seluruh perairan Indonesia, dari barat sampai ke timur. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana Indonesia Menyikapi ?

Pemanasan, kenaikan muka air laut, dan asidifikasi, melelehnya gletser dan permaforst akan lebih sering terjadi dengan cepat dan berisiko terhadap manusia dan bumi. Keputusannya ada di tangan manusia dan pemimpin yang terpilih untuk bisa mengatasi krisis iklim dan kerusakan ekologi abad ini.

Solusi berbasis alam, bagi Indonesia harus menjadi alat utama untuk beradaptasi dengan perubahan dramatis ini, sementara pada saat yang sama membantu mengurangi emisi. Kebijakan pendukung untuk solusi berbasis alam, dan membantu menerapkannya secara nasional dan lokal di wilayah pesisir dan laut.

Target mitigasi yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan membatasi kenaikan suhu rerata global hingga di bawah 2 ° C di atas tingkat pra-industri sangat penting untuk mencegah dahsyatnya dampak perubahan iklim yang tidak dapat dipulihkan pada ekosistem pesisir dan laut serta jasa layanannya.

Dibutuhkan transformasi radikal di seluruh lapisan masyarakat untuk mengatasi krisis iklim. Inisiatif Blue Carbon untuk terus memeningkatkan literasi dan kebijakan mempercepat tindakan nyata, termasuk mengintegrasikan kegiatan pengelolaan pesisir ke dalam kontribusi negara (NDC).

Perlindungan ekosistem pesisir, seperti mangrove dan padang lamun dapat berkontribusi pada penyerapan karbon berkelanjutan. Sebaliknya, kerusakan ekosistem tersebut berkontribusi terhadap emisi karbon. Pengelolaan pesisir berkelanjutan memainkan peran penting untuk adaptasi berbasis ekosistem, misalnya melalui konservasi terumbu karang, mangrove dan padang lamun.

Adaptasi berbasis ekosistem merupakan solusi yang belum dimanfaatkan dalam tindakan langsung melawan perubahan iklim, meskipun terbukti memberikan manfaat tambahan bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati.

Menetapkan kawasan lindung laut dan berbagai langkah adaptif lainnya, seperti batas tangkapan untuk mencegah penangkapan ikan berlebihan, dapat membantu melindungi ekosistem laut dan melindungi manusia dari dampak perubahan iklim, termasuk pemanasan, pengasaman laut, dan berkurangnya pasokan oksigen (deoksigenasi).

 

Sebuah kapal dalam perjalanan menuju Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Wake-up Call

Apakah Laporan IPCC ini fantasi yang dibuat-buat oleh para ilmuwan paranoid ? Sepertinya tidak. Merupakan Wake-up Call atau Alarm bagi umat manusia. Sudah saatnya diambil tindakan nyata dan sinergis dari individu, industri, swasta, media, dan pemerintah harus dilakukan sesegera mungkin.

Saat ini sangat dibutuhkan terobosan dan cara radikal untuk mengimplementasikan dan mendanai solusi berbasis alam secara berkelanjutan di lingkungan pesisir dan laut Indonesia. Sudah terbukti bahwa manusia adalah tersangka utama terjadinya pemanasan global dan hancurnya lingkungan.

Mari segera bertindak. Jangan sampai manusia mengulangi sejarah kelam geologi yang pernah dialami planet bumi ini.

***

*Agus Supangat, Ilmuwan Perubahan Iklim di Pusat Perubahan Iklim ITB, Anggota Tim Voyage 7 Antarctic Expedition 2002 “The Amery Ice Shelf Ocean Research”

 

Exit mobile version