Mongabay.co.id

Kawanan Gajah Datangi Lokasi Penjarahan Benda Sriwijaya. Mengapa?

Azis (2,8), satu dari enam anak gajah yang dilahirkan di PLG Padang Sugihan, Banyuasin, Sumsel, dalam lima tahun terakhir. Foto: Yusuf Bahtimi

 

 

Para pemburu atau penjarah benda sejarah Kedatuan Sriwijaya di rawa gambut di Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan [Sumsel] kedatangan kawanan gajah sumatera, tak jauh dari lokasi mereka mencari benda tersebut. Mengapa?

Kawanan gajah yang jumlahnya belasan ini, diketahui warga berada di Desa Ulakedondong. “Seorang warga melihat kawanan gajah itu pada Kamis [03/10/2019] kemarin,” kata Seringguk, warga Desa Cengal, Jumat [04/10/2019].

Kawanan gajah tersebut tampak berdiam di lokasi yang pada 2015 lalu merupakan lokasi pencarian benda-benda sejarah Sriwijaya, atau tak jauh dari lokasi perburuan “harta karun” saat ini. Tepatnya, di sebuah kanal PT. BMH di Dusun Serdang, Desa Kuala Sungai Jeruju. “Ya, cemas jika kawanan gajah itu melintas atau berdiam di lokasi itu,” lanjut Seringguk.

Dijelaskan Seringguk, setiap musim kemarau kawanan gajah tersebut selalu melintasi Desa Ulakedondong dan Kuala Sungai Jeruju. Jalurnya, persis antara tanah mineral dan gambut. Mereka memakan tanaman yang ditanam warga seperti pisang, bambu, dan kelapa.

“Tahun 2015, mereka merusak pondok warga di kebun sebab seorang warga coba menghalaunya. Kawanan gajah itu justru pergi ketika warga tidak menghalaunya,” kata Seringguk.

Baca: Benda Sejarah Sriwijaya di Rawa Gambut Dijarah, Kejadian Berulang!

 

Azis, anak gajah yang lahir di PLG Padang Sugihan, Banyuasin, Sumsel, dalam lima tahun terakhir. Foto: Yusuf Bahtimi

 

Gajah Sriwijaya

Jika menelusuri catatan sejarah Kedatuan Sriwijaya, yang mengklaim sebagai kerajaan dengan seribu pasukan gajah, maka ada kemungkinan di masa lalu gajah merupakan sarana transportasi, baik aktivitas ekonomi maupun militer.

“Sebenarnya, gajah sudah digunakan masyarakat di Asia Tenggara, jauh sebelum hadirnya Kedatuan Sriwijaya. Bangsa melayu awal di Sumatera menggunakan gajah sebagai sarana transportasi dan tenaga pengangkut di daratan,” kata Dr. Husni Thamrin, budayawan melayu Palembang, Sabtu [05/10/2019].

Husni setuju dengan pernyataan arkeolog Nurhadi Rangkuti yang menyatakan kawasan Cengal di masa Kedatuan Sriwijaya merupakan teluk yang dijadikan bandar.

“Teori saya, bandar ini sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya Kedatuan Sriwijaya. Sebab secara geografi posisi Cengal [Teluk Cengal] sangat strategis karena menghubungkan Kalimantan [Barat dan Selatan] dan Jawa [Utara dan Barat]. Bahkan dulunya kawasan ini berpasir seperti pantai di Bangka. Saya menemukan banyak hamparan pasir di lahan pembatas gambut dan mineral di Cengal,” katanya.

Terkait gajah, Husni memperkirakan gajah-gajah ini digunakan masyarakat sebagai sarana transportasi dan angkutan barang dari daratan ke kapal. “Jadi, koridor gajah yang berdekatan dengan situs permukiman Kedatuan Sriwijaya merupakan keturunan gajah jinak di masa lalu, sangatlah mungkin,” katanya.

“Mereka melintasi permukiman atau kota di masa lalu, tempat hidup dan beraktivitasnya leluhur mereka,” jelas Husni.

Baca: Koridor Gajah Itu Ada di Antara Jejak Sriwijaya dan Sumber Mineral

 

Perhiasan emas motif ikan ditemukan di situs permukiman masyarakat Sriwijaya di Cengal, OKI, Sumatera Selatan, September 2019. Foto: Seringguk

 

Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR, lembaga yang menkampanyekan keberadaan gajah di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] dalam film “The Elephants of South Sumatra” sebagai upaya penyelamatan rawa gambut, menjelaskan Cengal merupakan habitat atau kantong gajah di Kabupaten OKI. Di sana tercatat 27 individu. Sementara kantong gajah di kabupaten tersebut sekitar lima, yakni Cengal, Penyambungan, Sebokor, Jalur 23, dan Lebong Hitam.

Film “The Elephants of South Sumatera” diputar dalam peringatan Hari Bumi 2019 dengan tema “Protecting Our Species” dan terakhir diputar pada Global Landscape Forum [GLF] di markas PBB, New York.

“Koridor gajah yang ada di Kabupaten OKI merupakan memori dari para leluhur gajah di sana. Jadi saya sangat setuju jika ada hubungan yang kuat antara koridor gajah dengan situs permukiman Kedatuan Sriwijaya,” ujarnya.

 

 

Dimuseumkan untuk pengetahuan

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang pernah berkunjung ke situs permukiman Kedatuan Sriwijaya di Cengal bersama Mongabay Indonesia tahun 2017, menyatakan benda-benda sejarah peninggalan masyarakat di masa Kedatuan Sriwijaya itu seharusnya diklaim pemerintah. Berikutnya, dibuat museum khusus Sriwijaya.

“Benda-benda ini dijadikan evidence substansi ajar atau kurikulum tentang kesejarahan termasuk kejayaan Sriwijaya. Dengan demikian Sriwijaya sebagai sejarah makin nyata.”

 

Para pemburu harta karun di situs permukiman Sriwijaya, tepatnya sebuah di kanal konsesi PT. BMH, di Dusun Serdang, Desa Kuala Sungai Jeruju, Cengal, OKI, Sumatera Selatan. Foto: Seringguk

 

Kemudian, bisa dimasukkan misalnya konstruksi bentang alam ketika Sriwijaya berkuasa, lengkap dengan titik-titik koordinatnya yang kemudian bisa dibandingkan dengan keadaan saat ini. Dari komparasi itu, peserta didik setidaknya akan mampu berimajinasi dan mendikotomikan mana yang baik dan yang tidak.

“Di lain sisi, harus didekonstruksi pengetahuan tentang gambut dan optimalisasinya. Gambut harusnya dibiarkan sebagai bentang alam yang otonom,” terangnya Sabtu [05/10/2019].

Menurut Handoyo hal ini bertujuan menjelaskan hubungan bentang alam dengan manusia yang erat dengan lingkungan. “Atau bukti antara situs permukiman Kedatuan Sriwijaya dengan kehidupan satwa liar, terutama gajah,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version