Mongabay.co.id

Kondisi di Laut Memicu Terjadinya Kebakaran Hutan?

 

Terlepas dari kejadian kebakaran hutan dan lahan karena tujuan tertentu dan bagaimana penegakan hukumnya, kejadian kebakaran hutan di Indonesia tahun ini bukanlah kejadian yang pertama kali.

Kebakaran hutan juga bisa terjadi karena faktor kejadian alam, salah satunya adalah iklim yang kering. Sederhananya karena iklim dan cuaca yang kering, ranting-ranting pohon yang kemudian bergerak karena angin akan saling bergesekan dan kemudian menimbulkan percikan api.

El Nino paling sering disebut-sebut yang sebagai penyebab terjadinya iklim kering di wilayah Indonesia. Tetapi berapa banyak orang yang tahu apa penyebab terjadinya El Nino? Apakah El Nino satu-satunya yang menyebabkan iklim kering di seluruh wilayah Indonesia?

Sejak di sekolah dasar dan sekolah menengah, kita sudah diperkenalkan bahwa Indonesia memiliki dua musim yaitu musim basah dan musim kering atau juga sering disebut sebagai musim hujan dan musim kemarau. Angin musiman (monsoon) diketahui sebagai penyebab terjadinya kedua musim periodik tersebut. Tetapi awal dan panjang musim hujan dan musim kering tidak selalu sama setiap tahun.

Dikenal sebagai negara maritim, secara geografis posisi Indonesia terletak di antara Samudera Pasifik dan samudera Hindia. Sedikit banyak, fenomena dan proses iklim yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di kedua samudera tersebut.

baca : El Nino Datang, Indonesia Berisiko Alami Kebakaran Hutan Hebat

 

Kabut asap karhutla. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Pengaruh ENSO

Masyarakat sudah sering mendengar tentang fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO), tetapi apa dan bagaimana fenomena tersebut terjadi mungkin hanya masyarakat tertentu yang memahaminya.

ENSO merupakan fenomena yang terjadi di samudera Pasifik oleh karena adanya perubahan suhu muka laut di wilayah tersebut. Sistem Pasifik ekuator di bagian barat memainkan peranan penting dalam pembentukan fenomena interaksi laut dan atmosfer ini, dimana frekuensi fenomena ini secara historis tidak teratur yaitu 2-7 tahun sekali. Walaupun nama ENSO memiliki unsur kata El Nino, tidak berarti bahwa fenomena ENSO ini hanya El Nino saja.

ENSO memiliki dua karakteristik yaitu El Nino dan La Nina. El Nino dikenal sebagai penyebab terjadinya iklim kering dan berkurangnya curah hujan karena membawa massa udara yang kering ke wilayah Indonesia, sedangkan sebaliknya La Nina menyebabkan terjadinya iklim basah karena menyebabkan semakin tinggi potensi terbentuknya awan hujan. Dalam periode ENSO selama 2-7 tahun, kejadian El Nino dan La Nina bisa terjadi bolak balik.

baca : Kebakaran Berulang di Perusahaan Sawit dan Bubur Kertas Masih Minim Sanksi

 

Petani jangan hanya dilarang membakar, tapi juga diberikan dukungan teknologi agar meninggalkan tradisi membakar lahan di musim kemarau. Foto: Yusuf Bahtimi

 

Lalu apa hubungannya dengan laut?

Faktor pemicu El Nino dan La Nina adalah kekuatan angin yang bergerak di atas samudera Pasifik wilayah tropis. Apabila angin lemah, maka suhu hangat yang berada di samudera Pasifik tidak bergerak ke wilayah Indonesia, sehingga suhu muka laut lebih dingin dan pembentukan awan hujan juga cenderung sedikit karena tekanan udara yang tinggi yang kemudian menyebabkan terjadinya kekeringan. Hal sebaliknya terjadi pada saat La Nina. Curah hujan akan meningkat karena suhu muka laut menghangat, dan proses pembentukan awan semakin tinggi karena pergerakan udara meningkat oleh karena tekanan udara yang rendah.

Lalu apakah karena ENSO terjadi setiap 2-7 tahun sekali, kemudian kita tidak perlu waspada terhadap kejadian kebakaran hutan?

Apakah karena penyebab ENSO di samudera Pasifik yang berada di sebelah timur Indonesia kemudian kita juga tidak perlu waspada terhadap kondisi iklim di wilayah barat karena modulasi ENSO yang mungkin melemah?

Kita harus ingat bahwa di bagian barat, posisi Indonesia bersebelahan dengan Samudera Hindia. Kondisi iklim sedikit banyak juga dipengaruhi oleh fenomena iklim di Samudera Hindia.

Samudera Hindia mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan Samudera Pasifik yang merupakan proses interaksi antara laut dengan atmosfer. Para ilmuwan membagi wilayah Samudera Hindia menjadi dua yaitu : Samudera Hindia sebelah barat dan Samudera Hindia sebelah timur untuk mengukur perbedaan suhu muka laut yang memiliki karakteristik berbeda di saat yang bersamaan.

baca juga : Pemulihan Lingkungan Pascakebakaran Butuh Waktu Lama, Apa yang Perlu Dilakukan?

 

Karhutla yang terjadi di sebuah areal perkebunan di Jambi yang berada di area gambut. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

IOD dan DMI                                                                    

Pergeseran atau perubahan suhu muka laut antara bagian barat dan timur memberikan kontribusi terhadap pembentukan awan dan curah hujan di negara-negara sekitarnya. Perubahan suhu muka laut di wilayah ini juga mempengaruhi terjadinya hujan di sepanjang pesisir barat Sumatra dan selatan pulau Jawa.

Proses pergeseran suhu muka laut di Samudera Hindia ini dikenal dengan nama Indian Ocean Dipole (IOD). Dipole diartikan sebagai dua “poles” yaitu perbedaan antara dua wilayah, barat dan timur. Gradien atau perbedaan suhu muka laut di samudera Hindia ini kemudian dihitung untuk mengukur seberapa besar kekuatan IOD, yang kemudian disebut dengan IOD index atau Dipole Mode Index (DMI).

DMI akan bernilai positif jika suhu muka laut di samudera Hindia bagian barat lebih tinggi (kata lain selain panas) dibandingkan dengan suhu muka laut di samudera Hindia bagian timur. Begitu juga sebaliknya, DMI akan bernilai negatif apabila suhu muka laut di samudera Hindia bagian timur lebih tinggi dibandingkan suhu muka laut di samudera Hindia bagian barat.

Apabila DMI bernilai positif, maka suhu muka laut di sepanjang pantai barat Sumatra dan selatan Jawa sedang berada dalam kondisi dingin. Hal ini berarti bahwa proses penguapan rendah dan menyebabkan pembentukan awan hujan lemah atau awan susah terbentuk. Apabila hal ini terjadi, kekeringan akan terjadi di wilayah Indonesia terutama di Sumatra dan Jawa yang langsung berhadapan dengan samudera Hindia.

DMI yang diolah oleh NOAA/ESRL, menunjukan bahwa DMI tahun 2018 dan 2019 adalah positif hampir di sepanjang tahun. DMI negatif terjadi pada awal tahun 2019 dan kemudian semakin menguat sejak bulan Maret 2019 dan melebihi batas anomali. Puncak DMI positif terjadi di bulan Agustus hingga September. Selain menyebabkan kekeringan di wilayah Sumatra dan sekitarnya, hal ini juga menunjukan bahwa pembentukan awan hujan sepanjang pesisir Sumatra bagian barat dan selatan Jawa akan lemah.

perlu dibaca : Derita Orangutan, Akibat Asap Kebakaran Hutan dan Lahan

 

Tim evakuasi orangutan beristirahat saat proses evakuasi yang sulit di lahan hutan gambut yang terbakar, di tepi Jalan Pangkalan Bun– Kotawaringin Lama, kilometer 15. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Kalau dilihat indeksnya, aktivitas El Nino pada bulan September tahun ini terlihat lemah dan cenderung netral. Aktivitas awan konveksi juga rendah karena radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi ke angkasa bernilai positif, yang berarti pemantulan radiasinya tinggi dan menyebabkan tidak terjadi pembentukan awan. El Nino sendiri diprediksi akan terus berlangsung netral hingga awal tahun 2020.

Situasi ini tentu saja akan menguntungkan karena udara kering tidak datang dari dua samudera yang berada dekat dengan Indonesia ini dan menyebabkan cuaca di wilayah Indonesia akan semakin kering. Tetapi, tentu saja kita tidak bisa lalu berdiam diri dan mengabaikan hal itu. Analisis dan prediksi terhadap dua fenomena iklim besar dari kedua samudera tersebut perlu untuk selalu dipantau, terutama apabila ada kecenderungan menguatnya El Nino dan IOD positif. Kewaspadaan terhadap kejadian kebakaran hutan harus perlu ditingkatkan.

Gangguan cuaca di Indonesia, mungkin juga akan disebabkan oleh fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) yang skalanya musiman dan biasanya akan berlangsung selama 30-60 hari dan dapat mempengaruhi kondisi hujan di wilayah Indonesia.

Pada intinya, begitu banyak fenomena laut yang mempengaruhi iklim di Indonesia. Institusi terkait yang menangani kondisi cuaca dan iklim ini, tentunya sudah menyampaikan kondisi terkini dan ke depan tentang fenomena iklim di Indonesia.

baca :  Aksi Desak Tangani Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Berulang

 

Hutan gambut yang terbakar di Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama kilometer 15. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Pertimbangan Kebijakan

Informasi ini tentunya tidak hanya cukup didengarkan saja oleh para pengambil kebijakan, tetapi juga perlu dipertimbangkan dan dipikirkan langkah-langkah antisipasi terhadap kemungkinan yang terjadi. Tidak hanya pada kejadian kebakaran hutan, tetapi juga di sektor-sektor yang lain.

Ilmu pengetahuan, sains, tidak dapat diabaikan begitu saja. Para ilmuwan harus mampu dan bisa menterjemahkan pesan ilmiah kepada para pengambil kebijakan. Begitu juga sebaliknya, para pengambil kebijakan juga harus mau dan bisa memahami dasar-dasar ilmiah sebelum pengambilan kebijakan.

Pengambilan kebijakan berbasis sains ini tentunya bertujuan agar pengambil kebijakan menggunakan alasan yang tidak bias kepada masyarakat, sehingga penggunaan dana untuk langkah-langkah yang diambil bisa lebih efektif dan tidak menimbulkan keresahan.

 

Petugas Manggala Agni dibantu anggota kepolisian dan TNI, sudah memasuki hari ke 27, terus memadamkan api di lahan gambut, Kolaka Timur. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

*Anastasia Rita Tisiana Kuswardani, Peneliti bidang Oseanografi Fisik Badan Riset dan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KKP)

 

Exit mobile version