Mongabay.co.id

Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba Kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit

Francesca, ibu dua anak dari Semunying, bersama suami, menolak relokasi. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

 

 

 

Hutan lebat dan pohon rambutan mengelilingi rumah Leni, perempuan Iban dari Desa Semunying Bongkang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sekitar 15 tahun lalu. Kini, ibu dua anak ini hanya punya sepetak tanah untuk bertani. Hutan tempat mencari makan, sudah tak ada, berganti kebun sawit.

“Kami hidup sederhana, memang tak kaya, tapi cukup. Sejak ada sawit kami jadi menderita. Jadi tidak bisa menafkahi keluarga. Saya punya bayi. Kami harus mencari akal agar bisa menyambung hidup,” katanya, pertengahan tahun lalu.

Sejak kebun sawit masuk Semunying, Leni dan perempuan Dayak Iban lain, hidup susah. Keluarga mereka dipindahkan ke tengah kebun sawit dengan lahan kecil untuk berkebun. Sehari-hari, Leni memancing ikan di sungai di dalam kebun sawit. Seringkali dia pulang dengan keranjang ikan kosong. Kalaupun dapat hanya beberapa ikan kecil, tak cukup untuk keluarga.

Baca juga: Inkuiri Nasional Kalbar, Konflik Berkepanjangan di Semunying Jaya

Penuturan warga, populasi ikan di sekitar Semunying dan Sungai Kumba, dekat rumah Leni, menyusut sejak ada kebun sawit. Mereka menduga sungai sudah tercemar pupuk sawit yang mengalir dari kebun.

Ribuan kilometer dari Semunying, di Sumatera, Kabupaten Sarolangun, Jambi, hal serupa terjadi pada Orang Rimba.

Maliau, perempuan Orang Rimba, kesulitan hidup dan memberi makan sembilan anaknya.

“Dulu hidup kami lebih baik,” kata Maliau.

Di Jambi, kebun sawit masuk hutan Orang Rimba setidaknya sejak tiga dekade lalu. “Para perempuan di sini dulu bisa mudah menemukan makanan. Ada juga yang menganyam tikar dan keranjang dari daun kering. Kami merakit lampu dari getah damar. Sekarang, tak ada lagi bahan untuk membuat itu semua,” kata Maliau dalam bahasa Orang Rimba.

Baca juga: Inkuiri Nasional Sumatera: dari Kasus Pandumaan Sipituhuta hingga Talang Mamak

Leni dan Maliau, hanya dua dari ribuan perempuan dari masyarakat adat yang hidupnya hancur karena industri sawit di Indonesia. Nasib kedua perempuan ini terekam dalam laporan Human Rights Watch yang baru rilis akhir September lalu.

“Indonesia adalah negara eksportir minyak sawit terbesar di dunia dengan 14 juta hektaran kebun. Ia rumah bagi 50-70 juta masyarakat adat dan lebih dari 2.230 suku adat. Kira-kira seperempat dari populasi negara ini,” tulis Julianan Nnoko-Mewanu peneliti HRW bidang perempuan dan lahan, dalam laporan berjudul When We Lost the Forest, We Lost Everything’: Oil Palm Plantations and Rights Violations in Indonesia, ini.

 

 

Penderitaan orang seperti Leni dan Maliau, kata Juliana, tak terlihat dalam produk-produk berbahan baku sawit seperti pizza beku, cokelat dan hazelnut, kue dan margarin. Atau dalam berbagai produk kecantikan seperti losion, sabun, krim, alat rias, detergen dan lain-lain. Minyak sawit mentah juga untuk campuran biodiesel buat transportasi dan mesin industri.

Di Jambi, Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Satu sudung satu keluarga. Mereka hidup berkelompok, terdiri dari beberapa keluarga dan satu pimpinan.

Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Perempuan-perempuan melahirkan di bawah sudung. Bayi-bayi hidup di bawah sudung dengan sampah berserakan.

Baca juga: Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan

Keluarga Orang Rimba, banyak berakhir dengan mengemis di jalanan atau ‘mencuri’ berondolan sawit untuk dijual atau bahan rebusan untuk makan.

Saat HRW menemui Maliau, mereka sudah tak makan dua hari. Beberapa hari sebelumnya, anak-anak dan perempuan kelompok ini bekerja mengumpulkan berondolan sawit.

Kepada tauke mereka jual Rp1.000 per kilogram. Hari itu, mereka dapat 20 kg. Uang lantas dibelikan mie instan dan tak cukup buat dua hari.

Minggu itu mereka beruntung. Sebelumnya, kerap hasil berondolan sawit yang dikumpulkan perempuan dan anak-anak ini direbut begitu saja oleh petugas perusahaan. Tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong meski sudah bekerja seharian. Perempuan dan anak-anak turun memungut sawit, karena kalau laki-laki bisa berantem.

Perusahaan merekrut beberapa Orang Rimba jadi keamanan perusahaan. Mereka jadi dilema. Kalau bertengkar, akan ribut sesama Orang Rimba.

Meriau, ketua rombongan Maliau, menolak pergi dari Desa Hitam Hulu, wilayah HRW lakukan penelitian.

“Dulunya, ini sawah saya. Maka saya tak mau meninggalkan tempat ini,” katanya.

Sekalipun rombongan pindah karena dikejar karyawan perusahaan atau tak ada makanan, mereka tak akan pindah terlalu jauh.

Di Kalimantan, meski perusahaan membuatkan rumah untuk masyarakat Dayak Iban, mereka tak punya mata pencarian. Tak ada lahan berkebun. Ibu-ibu Iban terpaksa utang untuk bisa makan. Anak-anak pun terpaksa tak bisa sekolah.

“Dulu, saya punya warung. Isinya banyak. Sekarang saya berutang di warung orang,” kata Leni.

HRW mewawancarai lebih 100 orang di dua kabupaten itu. Mulai dari masyarakat adat, lembaga pendamping, pemerintah lokal dan para ahli.

“Laporan ini mendokumentasikan bagaimana pendirian dan ekspansi kebun sawit di Indonesia merugikan masyarakat adat dan merenggut hak-hak mereka atas hutan, penghidupan layak, makanan, obat-obatan, air sampai kebudayaan,” kata Heather Barr, Wakil Direktur Devisi Hak-hak Perempuan HRW, saat peluncuran laporan ini di Jakarta, akhir September.

 

Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

HRW menemukan, dua perusahaan sawit tempat Leni dan Maliau berada, PT Ledo Lestari di Bengkayang dan PT Sari Aditya Loka I di Sarolangun, berdampak buruk masing-masing kepada Suku Dayak Iban dan Suku Anak Dalam (Orang Rimba) yang hidup semi nomaden di Jambi.

Dampak buruk ini langgeng karena tambal sulam hukum dan peraturan lemah di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan pengawasan pemerintah minim dan kegagalan perusahaan-perusahaan sawit ini dalam memenuhi uji tuntas hak asasi manusia terhadap masyarakat adat.

Temuan ini, lanjut Heather, konsisten dengan penelitian HRW sebelumnya pada 2003 dan 2009 yang menyoroti dampak buruk industri pulp dan kertas di Sumatera. Korupsi, pengawasan tak memadai, akuntabilitas perusahaan sektor kehutanan Indonesia kurang, berimbas pada masyarakat adat dan petani.

Mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2017 setidaknya ada 650 konflik terkait lahan memengaruhi lebih 650.000 rumah tangga. Rata-rata ada dua konflik terkait lahan yang muncul setiap hari pada tahun lalu.

Heather mengatakan, konflik terkait lahan sering dikaitkan dengan perkebunan sawit. Indonesia punya sekitar 14 juta hektar kebun sawit. Deforestasi skala besar untuk kebun sawit tak hanya mengancam kesejahteraan masyarakat adat, juga berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon dan perubahan iklim.

Masyarakat adat punya hubungan erat dengan lingkungan mereka. Tradisi, pengetahuan, dan identitas budaya mereka berhubungan erat dengan alam. Gangguan apapun terhadap lingkungan seperti dalam kasus Iban dan Orang Rimba, memengaruhi budaya, bahasa, pengetahuan dan tradisi unik mereka.

“Pemerintahan silih berganti berkali-kali menutup mata terhadap pembukaan hutan yang meluas. Memfasilitasi penyebaran kebun sawit,” katanya, seraya bilang, dari 2001-2017, Indonesia kehilangan 24 juta hektar tutupan hutan, hampir setara luas Inggris Raya.

Kebijakan moratorium dan evaluasi izin sawit dari Presiden Joko Widodo, pada September 2018, kata Heather, langkah awal yang baik. Jokowi terpilih lagi pada April 2019, katanya, hendaknya, jadi momen memperkuat perlindungan hak masyarakat adat.

 

Kinda, warga Dusun Pareh, Semunying, Kalimantan Barat, meyakini kalau Sungai Kumba, sudah tercemar, Padahal, sungai ini untuk berbagai keperluan sehari-hari dari minum, masak dan lain-lain. Kini, warna air sungai sudah berubah, tak jernih seperti dulu. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

Lima tahun setelah Inkuiri Nasional, tak ada perubahan…

Sebetulnya, kedua komunitas adat yang jadi penelitian HRW sudah masuk dalam 40 kasus Inkuiri Nasional yang diteliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2014. Dalam Inkuiri itu, Komnas HAM menemukan beragam pelangggaran HAM terhadap masyarakat adat. Temuan ini serupa dengan laporan HRW.

Erasmus Cahyadi Deputi bidang Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, lima tahun sudah Inkuiri Nasional, tak ada rekomendasi dijalankan, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat belum terwujud.

“Hukum kita memang melihat masyarakat adat sebagai satu kelompok yang oleh konstitusi hendak diakui, tapi kalau kita melihat peraturan-peraturan pelaksana, akan menemukan model pengakuan masyarakat adat ini susah didorong masyarakat adat itu sendiri,” katanya, seraya bilang, model kebijakan sangat politis, pengakuan masyarakat adat harus melalui peraturan daerah (perda).

“Kalau saya mengatakan, sebetulnya negara ini tidak ada keinginan mengakui masyarakat adat, itu bukanlah suatu yang berlebihan.”

Mengenai nasib masyarakat adat di perkebunan sawit, kata Erasmus, riset AMAN pada enam komunitas adat yang membandingkan mereka yang hidup di sawit dan tidak. Hasilnya, komunitas adat hidup tanpa sawit punya pendapatan per kapita lebih besar dibanding mereka yang hidup dengan kebun sawit.

“Orang Rimba hidup dalam kemiskinan parah,” kata Robert, Manajer Program di KKI Warsi, lembaga pemberdayaan masyarakat yang mendampingi advokasi Orang Rimba.

PT SAL, lokasi penelitian HRW terhadap Orang Rimba, adalah anak perusahaan Astra Agro Lestari.

“Sebutlah langkah advokasi apa saja yang sudah dilakukan Orang Rimba? Mulai dari pemerintah daerah hingga pemerintahan pusat. Mulai dari staf paling bawah di perusahaan hingga level direktur sudah pernah dipertemukan dengan Orang Rimba. Hingga kini, hasilnya nihil,” katanya.

Perusahaan berdalih sudah punya izin konsesi. Mereka juga selalu menjadikan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) sebagai jawaban atas semua persoalan Orang Rimba.

Sekitar enam bulan, setelah HRW turun ke lapangan untuk penelitian dan wawancara, perusahaan turun membagikan beras masing-masing 15 kilogram kepada setiap keluarga Orang Rimba.

“Selain itu tidak cukup, itu juga tak menjawab masalah mendasar di sini. Mereka kehilangan penghidupan,” kata Robert.

Orang Rimba, harus mengemis dan menjadi musuh bagi masyarakat desa yang rata-rata transmigran. Mereka dicap dengan pandangan-pandangan negatif, seperti, kotor, bau dan bodoh.

Yang selalu ingin disuarakan Orang Rimba, adalah, mereka tak mendapat hak kelola alahan. Padahal, para transmigran di desa itu tiap keluarga dapat tanah seluas dua hektar. Mereka biasa tanami atau mereka bekerja sama dengan perusahaan dengan tanam sawit.

“Orang Rimba, masyarakat asli di sana dan sudah hidup turun temurun tak dapat apa-apa,” katanya, menirukan aspirasi Orang Rimba dalam pertemuan-pertemuan.

Sejak 1997-2015, Warsi mencatat, setidaknya ada 13 Orang Rimba mati dibunuh orang desa. Ada yang ditembak di atas pohon kelapa karena kedapatan mencuri, diseret dengan mobil hingga tewas dan dipukuli. Warga juga ada yang membakar rumah dan motor milik Orang Rimba.

Tahun 2015, saat Jokowi berkunjung ke Jambi, persis di lokasi penelitian HRW, presiden menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencari 5.000 hektar hutan untuk diberikan kepada Orang Rimba.

KLHK lantas meminta dua kabupaten, Batanghari dan Sarolangun menunjuk kawasan hutan.

“Saat mereka lakukan kunjungan lapangan ke area yang di atas peta kawasan hutan, rupanya kawasan itu sudah dikuasai masyarakat desa,” kata Robert.

Pemda, katanya, jelas tak berani memberikan lahan itu kepada Orang Rimba, mengingat konflik baru akan muncul. Hingga kini, tak ada titik temu untuk Orang Rimba.

Padahal, katanya, kalau ada political will dari pemerintah dan perusahaan, mereka tinggal mengeluarkan sebagian konsesi, sekitar 500 hektar dari 5.000-an hektar untuk Orang Rimba. Catatan Warsi, setidaknya ada 220 keluarga Orang Rimba hidup terlunta di konsesi SAL.

Astra Agro Lestari, induk perusahaan SAL punya sejumlah kebijakan mengenai keberlanjutan, keterlacakan, dan penanganan keluhan yang berlaku untuk semua anak perusahaan.

 

Memasang pukat. Warga menyatakan, tangkapan ikan jauh menyusut setelah ada perkebunan sawit. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

HRW mengirimkan surat kepada Astra soal dampak yang mereka hadirkan bagi Orang Rimba. Astra menganggapi dengan merinci program pendidikan, kesehatan dan layanan ekonomi yang mereka sediakan. Mereka juga menjelaskan, dukungan untuk mata pencarian bagi kelompok Orang Rimba.

Namun permintaan untuk mengembalikan hutan dan lahan, satu hal yang selalu menjadi tuntutan Orang Rimba, tak terjawab.

Sedangkan, PT Ledo Lestari di Kalimantan, belum punya kebijakan yang dipublikasi soal keberlanjutan atau perlindungan hak masyarakat adat.

HRW memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia. Pertama, pemerintah harus segera mengakui dan melindungi masyarakat adat dan hak-hak mereka atas tanah dan hutan. Kedua, pemerintah harus merevisi sistem sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan (ISPO) agar memenuhi standar-standar hak asasi manusia yang disepakati internasional.

Ketiga, pemerintah perlu menetapkan mekanisme resolusi sengketa lahan dengan membentuk komisi tingkat tinggi untuk menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan masyarakat adat.

Perusahaan sawit, Ledo Lestari dan SAL I sebaiknya berinisiatif menggelar mediasi dengan masyarakat adat terdampak untuk menyelesaikan keluhan berkepanjangan dan menawarkan kompensasi atau remediasi.

Seluruh perusahaan yang menjalankan perkebunan sebaiknya uji tuntas HAM dan menyediakan kompensasi adil dan layak sesuai standar HAM.

Kepada megara importer minyak sawit juga diminta mewajibkan transparansi bagi perusahaan rantai pasokan minyak sawit mereka.

Bank Dunia dan lembaga donor lain, kata HRW, sebaiknya mendukung pemerintah Indonesia menjalankan reformasi demi melindungi hak masyarakat adat atas tanah.

 

***

Rinni, perempuan 38 tahun di Semunying, mengeluh tak bisa memenuhi keperluan makanan untuk keluarga. Ibu tiga anak ini sebelumnya punya sebidang tanah.

“Saat saya punya tanah bisa mencukupi hidup. Sekarang, saya jalan jauh untuk bekerja di perkebunan. Mereka menjanjikan kami kesehatan, pendidikan, perumahan dan lahan… Mereka (perusahaan) tak peduli dengan kesehatan kami. Mereka hanya menginginkan kami sebagai buruh,” katanya.

Kepentingan perempuan adat macam Rinni, kerap luput dari berbagai kebijakan soal masyarakat dan hutan adat. Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN mengatakan, karena pemerintah Indonesia tak pernah menyediakan data terpilah tentang perempuan, gender, etnik dan usia.

Implikasinya, kata Devi, pengambilan keputusan tak pernah bisa memperhitungkan keberadaan masyarakat adat, perempuan adat dan generasi berikutnya.

“Situasi ini, membuat pelaksanaan atau pemenuhan hak-hak dasar tak akan pernah menjangkau perempuan dan masyarakat adat.”

Menanggapi laporan HRW, kata Devi, dalam laporan berkali-kali disinggung soal persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior and informed consent/FPIC), atau konsultasi awal, tak pernah dilakukan perusahaan.

Devi bilang, FPIC juga penting tak hanya dari luar ke dalam, dari pemerintah atau perusahaan ke masyarakat, juga dalam masyarakat adat sendiri. “Konsultasi antar grup di dalam komunitas.”

Dalam perebutan ini, katanya, menyebabkan individualisasi yang sebenarnya tak dikenal di masyarakat adat.

“Salah satu pernyataan perempuan adat di Semunying, mereka dapat tekanan bukan hanya dari perusahaan juga dari keluarga sendiri yang pro sawit.”

Bagi perempuan adat, kata Devi, kebun sawit adalah akhir dari kehidupan.

 

Keterangan foto utama:  Francesca, ibu dua anak dari Semunying, bersama suami, menolak relokasi. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

Perkampungan relokasi warga Semunying, berada di tengah kebun sawit. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

 

Exit mobile version