Mongabay.co.id

Dua Dolphin Terakhir Akhirnya Bebas dari Kolam Hotel Melka

 

Dewa dan Johny, dua lumba-lumba tersisa di Hotel Melka, Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali akhirnya ditandu keluar dari kolam renang yang sudah didiami belasan tahun ini. Keduanya direlokasi ke Teluk Banyuwedang, kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), sekitar satu jam dari Lovina, pada Selasa (8/10/2019).

Dua lumba-lumba lain rekan mereka, Rocky dan Rambo, sudah direlokasi lebih awal setelah kematian seekor dolphin lain, Gombloh, di kolam Hotel Melka pada 3 Agustus 2019 lalu. Rocky dan Rambo direlokasi ke sebuah kolam dalam laut juga, namun di Denpasar, sekitar 3 jam berkendara dari Lovina.

Sejumlah aktivis penyelamatan dolphin bersyukur dengan peristiwa pembebasan dua dolphin tersisa ini. Salah satunya Pendiri dan Direktur Dolphin Project Richard O’Barry yang terkenal dengan Film The Cove. “We just removed the last dolphin from the Melka Hotel Swimming Pool. Time to pull the drain plug and empty the tank,” tulisnya dalam akun media sosialnya, @Richardobarry.

Ric, panggilan pria aktivis gaek ini, memposting beberapa video kegembiraanya menyambut kedua dolphin di lokasi rehabilitasinya, sebuah area sea pen, terlihat seperti keramba besar dengan jaring khusus. Ia masih bekerja di Bali bersama Jakarta Animal Aid Network (JAAN) membantu upaya pelepasan dan rehabilitasi para dolphin sejak kasus kematian Gombloh.

baca : Seekor Lumba-lumba Mati di Kolam Hotel, Dua Ekor Sudah Dievakuasi

 

Dewa dan Johny beradaptasi di sea pen, “kolam” laut lepas di sebuah teluk kawasan Taman Nasional Bali Barat. Foto: BKSDA Bali/Mongabay Indonesia

 

Salah satu postingan menarik adalah saat Ric merekam sejumlah pelatih lumba-lumba di Melka yang kini berganti seragam dan menjadi bagian dari gerakan Free Bali Dolphins. “When we shut down the dolphin show, and the dolphin assisted therapy (DAT) scam at Melka Hotel, five dolphin trainers lost their job. Jobs are hard to find in these parts. They have families and kids to raise. So we hired them. Gave them a raise. Put them to work as caregivers at the sanctuary. Dolphins are important, but so are people. It’s about compassion. They couldn’t be happier being part of the crew helping us with this pioneer effort. They threw away their Melka Hotel T-shirt and put on Dolphin Project shirts. Having worked on both sides of the dolphin captivity issue, they will be a strong voice to help convince the general public to stop buying tickets for dolphin shows.”

Proses relokasi ini dilakukan oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bali, JAAN, dan sejumlah pihak lain.

Sumarsono, Kasi Konservasi Seksi I BKSDA Bali mengatakan relokasi dua lumba-lumba ini berlangsung sama dengan kedua rekan mereka sebelumnya. Harusnya bersamaan namun Dewa dan Johny sakit dan masih dalam proses kerjasama di Hotel Melka.

“Ada infeksi, dari pemeriksaan, sel darah putih lebih banyak dari sel darah merah, dicurigai dari gigi dan lecet di badan. Lecet sudah tak ada, cek darah sel darah putih normal. Diputuskan diangkat dan siap direlokasi,” paparnya pada Mongabay Indonesia.

Lokasi yang disiapkan adalah sebuah perairan tenang di dekat Pulau Menjangan. Sebuah teluk di kawasan TNBB yang dinilai cocok untuk lokasi rehabilitasi. Sumarsono menyebut lembaga konservasi lain penuh, dan perjalanan terlalu jauh ke Denpasar, sekitar 3-4 jam. Lokasi baru ini menurutnya dikelola BKSDA dengan dukungan JAAN.

baca juga : Rocky dan Rambo Akhirnya Menikmati Laut

 

Lokasi rehabilitasi ini berada di teluk yang dinilai cocok sebagai tempat transisi dua dolphins yang belasan tahun dalam kolam. Foto: arsip BKSDA Bali

 

Bagaimana masa depan Dewa dan Johny? Menurutnya tergantung kondisi, jika siap dilepas, akan dilatih cari makan dulu. “Masih tergantung belum bisa dilepas, tergantung waktu rehabilitasi. Dari kecil kan dikasih makan, kalau alaminya cari makan sendiri,” jelasnya.

Hal menyedihkan lain, Johny tidak punya gigi. Akibatnya ia akan sulit mencari makan di alam liar. Diperkirakan karena kebanyakan klorin, zat untuk memurnikan air kolam renang. Sementara Dewa mata kanannya buta. Sumarsono memperkirakan keduanya sulit dilepas kembali ke rumahnya di laut lepas.

Sementara dua rekannya, Rocky dan Rambo sejauh ini makin membaik. Keduanya bisa saja dilepasliarkan namun menurut Sumarsono untuk melepas dolphin harus satu grup, minimal 2 lumba. Jika sendiri, ada kemungkinan dibunuh lumba-lumba dari koloni lain.

Apakah Melka Hotel masih memiliki hak atas lumba-lumba ini? Sumarsono menyebut Melka masih menyelesaikan proses hukumnya di Pengadilan dengan pihak lain. Melka disebut masih memiliki izin konservasi lumba-lumba dan tersisa 20 tahun lagi. “Melka konsentrasi buat yang baru di Canggu, ada kemungkinan karena tersisa 20 tahun,” sebutnya. Jika lokasi usaha berbeda, hanya diperlukan adendum izin untuk ganti alamat, sementara badan hukumnya masih sama.

Jika Melka mengajukan pengusahaan lumba-lumba lagi, Sumarsono mengatakan akan melalui proses awal seperti kondisi kolam seperti apa, sanitasi, fasilitas kualitas, tempat, dan lainnya. “Kajian mulai dari nol. Jika memenuhi syarat dikasih,” lanjutnya. Syaratnya bukan di laut atau darat asal kualitas air terpenuhi, sesuai spek pemerintah. Ia menambahkan, walau di laut tapi dekat pencemaran ya sama saja.

perlu dibaca : Konflik Sewa Lahan Berujung Penyegelan Usaha Wisata Atraksi Lumba-lumba

 

Rocky, salah satu dolphin setelah direlokasi ke lokasi rehabilitasi di perairan Sanur, Denpasar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Femke den Haas, salah satu pendiri JAAN, sebuah lembaga penyelamat satwa sejak 2008 ketika dihubungi masih berada di lokasi rehabilitasi mengamati hari-hari pertama Johny dan Dewa. Ia menolak ide pengembalian para dolphin ke kolam renang. “Kita tak mau keluarkan satwa dari situasi buruk kembali ke situasi buruk lagi,” yakinnya.

Sejauh ini ia melihat ada perubahan dari kedua lumba-lumba di sea pen. Dewa menurutnya masih terlihat bosan tak banyak bergerak. Sementara Johny lebih riang berenang menemani Dewa. “Mereka berdua terus, hari ini mulai eksplorasi sea pen,” ceritanya pada Rabu (9/10/2019).

Penentuan lokasi menurutnya atas kesepakatan bersama BKSDA, TNBB, JAAN, dan pihak pendukung lain. Salah satu yang berperan penting menurutnya asistensi tim The Dolphin Project dan Ric O’ Barry yang sangat berpengalaman menangani dolphin.

“Lokasi ini arusnya bagus, tidak terasa karena pertama kali keluar kolam, lama tak mengalami air bebas, kalau terlalu terbuka kena ombak sulit adaptasi,” papar perempuan aktivis ini. Airnya juga disebut bersih setelah cek sampel. Hal lain, area sea pen bukan untuk dikunjungi turis dan bukan untuk umum. Untuk berikutnya bisa saja dilihat dari jarak jauh.

Ia senang banyak yang antusias mendukung rehabilitasi dengan lebar 20 meter, panjang 30 meter, dan kedalaman 13 meter ini. Misalnya Green School yang membantu beli jaring sea pen. Femke tak bisa memastikan kebutaan Dewa, apakah permanen atau masih bisa disembuhkan. Sementara ini salah satu matanya buta karena khlorin.

Femke secara khusus memberi perhatian pada lumba-lumba di Melka mulai 2010, pasca dari sirkus keliling. “Dari sisi fisik seperti sangat kurus, dan mata dan kulit kelihatan iritasi. Dewa banyak luka karena di kolam loncat-loncat kena keramik,” tuturnya.

Sementara dua rekannya disebut jauh membaik, Rambo dan Rocky yang sebelumnya pucat sekarang kulitnya makin menggelap. Rocky juga tapi masih bisa bergerak lincah. Karena lumba-lumba mahluk yang bergerak dengan panduan suara atau memiliki kemampuan sonar luar biasa. Inilah alasan banyak pihak ingin membebaskan lumba-lumba dari kolam yang membatasi bahkan meniadakan kemampuan sonarnya.

baca juga : Marak, Penyiksaan Lumba-Lumba Berkedok Wisata Konservasi di Bali

 

Seekor lumba-lumba, Rambo, yang dievakuasi dari Hotel Melka, Lovina, Buleleng, Bali. Dua lumba-lumba lainnya masih di kolam hotel. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Izin Lembaga Konservasi

Catur Marbawa, Kepala Bagian Tata Usaha BKSDA Bali sebelumnya mengatakan hak kelola satwa masih berada di Lembaga Konservasi (LK) CV. Melka Satwa. Peraturan mengakomodir LK bisa melakukan addendum lokasi jika mencari lokasi baru.

Apabila Melka tidak lagi mengusahakan maka satwa itu harus dikembalikan ke pemerintah. Artinya ijin lembaga konservasi dikembalikan. Setelah dikembalikan barulah BKSDA mengevaluasi kemungkinan satwa itu dilepasliarkan.

Sedangkan pencabutan ijin sesuai peraturan melalui tahapan surat peringatan 1, 2, 3, dan tiap tahapan dievaluasi. Ketika tidak ada tanggapan dan perbaikan pengelolaan baru dicabut.

Parameter kelalaian akan dilihat dari hak dan kewajiban Lembaga Konservasi. Di antaranya pemegang izin lembaga konservasi untuk kepentingan umum berkewajiban, a. membuat rencana karya pengelolaan (RKP) 30 (tiga puluh) tahun dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak diterimanya izin, b. membuat rencana karya lima tahun (RKL); c. membuat rencana karya tahunan (RKT); d. melakukan penandaan atau sertifikat terhadap spesimen koleksi tumbuhan dan satwa liar yang dipelihara; e. membuat buku daftar silsilah (studbook) masing-masing jenis satwa yang hidup.

Berikutnya f. mengelola intensif lembaga konservasi, yang meliputi kegiatan memelihara, merawat, memperbanyak tumbuhan liar dan mengembangbiakan jenis satwa liar sesuai dengan etika dan kesejahteraan satwa; g. memperkerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidangnya; h. memberdayakan masyarakat setempat; i. melakukan pemeriksaan kesehatan satwa koleksi secara reguler dan pencegahan penularan penyakit; j. melakukan upaya pengamanan dan menjaga keselamatan pengunjung, petugas serta tumbuhan dan satwa liar;

k. melakukan pengelolaan limbah dan tata kelola lingkungan; l. membuat dan menyampaikan laporan triwulan secara regular mengenai perkembangan pengelolaan tumbuhan dan satwa kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat; m. membayar pungutan penerimaan negara bukan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan n. mengkoleksi spesies asli indonesia sekurang-kurangnya 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah total koleksi tumbuhan dan satwa liar.

 

Rambo berukuran lebih besar dan ia kehilangan rekannya yang mati, Gombloh. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

BKSDA Bali menyebut CV. Melka Satwa merupakan Lembaga Konservasi dalam bentuk taman satwa sesuai dengan SK Dirjen PHKA No.SK 655/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010. Izin Lembaga Konservasi ini berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun sampai dengan 22 November 2040. Dalam perjalanannya, belakangan CV. Melka Satwa mengalami pailit dan puncaknya mengalami sengketa lahan dengan Bank Harda International. Dalam hal sengketa tersebut, satwa koleksi yang berada di lokasi tersebut tidak termasuk obyek dalam sengketa dan sepenuhnya masih merupakan tanggung jawab CV. Melka Satwa sebagai pemilik izin lembaga konservasi.

Sedikitnya 21 ekor satwa direlokasi pada Selasa (6/8/2019) dari Melka yakni 2 ekor Lumba-lumba (Tursiops aduncus), 3 ekor buaya muara (Crocodylus porosus), 2 ekor bayan (Eclectus roratus), 1 ekor kakatua jambul kuning medium (Cacatua eleonora), 3 ekor nuri merah, 2 ekor lutung (Trachypithecus auratus), 3 ekor landak (Hystrix brachyura), 2 ekor kangkareng (Anthracoceros albirostris), 2 ekor jalak bali (Leucopsar rotschildi), dan 1 ekor ular sanca bodo (Phyton reticulatus).

Satwa-satwa yang telah direlokasi saat ini dititiprawatkan di lembaga konservasi lain yang berada di Bali yakni PT. Taman Safari Indonesia III Gianyar (Bali Safari & Marine Park), PT. Piayu Samudra Bali, Serta CV. Bali Harmoni (Bali zoo).

 

Exit mobile version