Marak, Penyiksaan Lumba-Lumba Berkedok Wisata Konservasi di Bali

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menggelar aksi keprihatinan atas maraknya praktik penyiksaan lumba-lumba dengan kedok wisata konservasi dan pendidikan di Provinsi Bali pada Jumat (7/12/12). Mereka menuntut Gubernur Bali Made Mangku Pastika mencabut semua izin usaha dari tempat-tempat atraksi wisata yang mengeksploitasi satwa dilindungi itu.

Aksi ini sekaligus pertanda dimulainya Dolphin Freedom Action Tour Bali-Jakarta. “Ini sebagai bentuk keprihatinan kami atas segala bentuk usaha mengeksploitasi lumba lumba yang dibuka di Bali. Mereka selalu berdalih untuk wisata pendidikan dan konservasi. Padahal ini bisnis murni yang melakukan penyiksaan terhadap satwa-satwa dilindungi tersebut,” jelas Ketua JAAN, Pramudya Harzani.

JAAN mengingatkan bahwa berbagai bentuk atraksi wisata lumba-lumba tersebut justru kontraproduktif untuk kelangsungan industri pariwisata di Bali. Saat ini ada tiga tempat di Bali yang menurut JAAN, telah melakukan penyiksaan terhadap lumba-lumba dengan berdalih wisata pendidikan. Terdiri atas Melka Excelsior Hotel  di kawasan wisata Lovina kabupaten Buleleng, The Dolphin Lodge di kawasan Pulau Serangan Denpasar, dan Dolphin Bay Resto di kawasan Pelabuhan Benoa Denpasar. Khusus di Melka Excelsior Hotel, mereka bahkan menawarkan terapi kesehatan dengan berenang bersama lumba-lumba.

Namun ada dua versi berbeda terkait jumlah koleksi lumba-lumba yang dimiliki ketiga tempat tersebut. Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali melalui kepala seksi konservasi wilayah 1, Sumarsono, menjelaskan bahwa saat ini ada 2 ekor lumba-lumba koleksi Melka Excelsior Hotel, 8 ekor lumba-lumba koleksi The Dolphin Lodge, dan 2 ekor lumba lumba koleksi Dolphin Bay Resto. “Semula Melka memiliki 3 ekor lumba-lumba. Tapi tiga tahun lalu, satu ekor lumba-lumba mati karena mengalami radang paru paru. Itu sebabnya kami tidak memberikan izin untuk penambahan lagi,” jelas Sumarsono, sembari menyebutkan pihaknya selalu melakukan pemeriksaan rutin sebulan sekali terhadap satwa-satwa tersebut.

Versi yang lain, berdasarkan hasi investigasi JAAN, menyebutkan bahwa Melka Excelsior Hotel memiliki 5 ekor lumba-lumba.“Kami menduga ada permainan di balik proses perizinannya. Ada lembaga konservasi yang kami duga melakukan jual beli izin ini, dengan nilai yang mencapai ratusan juta rupiah,” jelas koordinator aksi Abdullah Amang.

Investigasi yang dilakukan JAAN beberapa bulan lalu juga menemukan fakta kondisi beberapa lumba- diantaranya dalam kondisi sakit akibat kerusakan pada sistem suaranya karena penempatannya yang hanya di dalam kolam terbatas. “The Dolphin Lodge awalnya punya 9 ekor lumba-lumba, tapi kemudian satu ekor mati menjadi hanya 8 ekor tersisa. Ini bukti bahwa lumba-lumba itu memang mengalami penyiksaan di kolamnya,” ungkap Amang.

Lumba-lumba merupakan mamalia laut yang menggunakan sonar suara untuk berkomunikasi. Secara alamiah, sonar suara yang dihasilkan memiliki jarak jangkauan yang jauh. Namun ketika dia berada di kolam, sonar ini akan memantul kembali sehingga bisa merusak sistem pendengaraannya, dan bisa berakibat fatal pada keselamatannya. Ironisnya lagi, sebagian besar kolam tempat menampung lumba-lumba tersebut hanya diisi air tawar yang diasinkan, bukan air laut.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali Made Gunaja yang mewakili Gubernur Bali menemui para aktivis menegaskan bahwa perizinan atas pemanfaatan lumba-lumba itu sepenuh ada pada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. “Kami di daerah sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin,” jelasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,