Mongabay.co.id

Periode Kedua, Presiden Jokowi Diminta Fokus Benahi Tata Kelola Sumber Daya Alam

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Foto dok Jatam Kaltim

 

 

 

 

 

 

Pada 20 Oktober ini, Presiden Joko Widodo, kembali dilantik memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Koalisi masyarakat sipil mendesak pada periode kedua, Jokowi fokus membenahi tata kelola sumber daya alam dan keselamatan lingkungan hidup.

Belakangan ini publik melihat serangkaian manuver berbagai elit politik melobi kekuasaan. Kondisi ini, membuat kalangan pegiat lingkungan khawatir. Yang mereka pertunjukkan hanya serangkaian upaya bagi-bagi jabatan, isu penyelamatan lingkungan seolah alpa dari perhatian.

“Hal nampak jelang pelantikan presiden, kita diperlihatkan dengan manuver lobi para elit politik. Prabowo bertemu Jokowi, Surya Paloh dan lain-lain. Mengarah pada tidak ada oposisi. Seolah-olah ini pembagian kekuasaan saja,” kata Khalisah Khalid, Koordinator Politik Walhi Nasional di Jakarta, Rabu (16/10/19).

Lobi-lobi elit politik itu, katanya, bukan mengarah pada hal-hal substansial seperti agenda kerakyatan dan penyelamatan sumber daya alam.

Alin, begitu sapaan akrabnya, mengatakan, situasi politik dan demokrasi belakangan ini juga sangat mengkhawatirkan. Proses legislasi di DPR dengan revisi berbagai perundang-undangan mengancam penyelamatan alam dan lingkungan, seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Sumber Daya Air, RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batubara (Minerba) dan RUU KUHP.

“Proses legislasi memicu gerakan masa besar-besaran. Meskipun beberapa RUU ditunda, tetapi kembali dibahas pada era parlemen periode sekarang.”

Proses penyusunan berbagai perundangan-undangan itu, katanya, dinilai tak partisipatif. Kondisi tambah mengkhawirkan kala hampir 50% anggota DPR terpilih merupakan pebisnis.

Alin khawatir, dalam membuat kebijakan akan terjadi conflict of interest. Latar belakang sebagai pebisnis, katanya, akan kuat membawa kepentingan bisnis dalam menyusun kebijakan.

“Tak heran ketika RUU Pertanahan, Minerba, Perkelapasawitan, terus didorong karena secara susbatansi lebih mendukung ke arah menguatnya investasi. Jadi, kepentingan mereka akan masuk dalam pembahasan dan pengesahan kebijakan-kebijakan itu, bukan kepentingan rakyat, tetapi bisnis,” katanya.

Alin mengatakan, belum ada political will pemerintah untuk menjalankan TAP MPR tentang pembaruan agraria. Konflik agraria, katanya, terus terjadi dan penyelesaian jalan di tempat.

“Sampai saat ini kebijakan sektroral masih hambatan utama. Watak kelembagaan negara yang mengurus juga sektoral. Harusnya konflik-konflik agraria itu bisa selesai dalam lima tahun pertama. Jadi, isu pokok sekarang, masih ada ego sektoral untuk mengatasi permasalahan itu.”

Masalah-masalah rakyat seperti ini, katanya, seharusnya jadi fokus utama perhatian Jokowi, dibandingkan melakukan berbagai manuver sekadar mengamankan kekuasaan dan bagi-bagi jabatan antara relit politik.

Tak terdengar ada agenda pertemuan elit partai politik dengan presiden membahas proses mempercepat agenda reforma agraria atau penyelamatan lingkungan hidup. “Isi pembahasan, hanya soal koalisi atau oposisi.”

 

Kawasan industri yang mulai dibangun di Halmahera, Maluku Utara. Bagaimana kajian lingkungan sekitar, terhadap tutupan hutan, hutan mangorve sampai pesisir dan laut yang terdampak, Foto: AMAN Malut

 

Alin memprediksi, masa depan agenda penyelamatan lingkungan hidup dan reforma agraria makin berat. Agenda mendorong kepedulian ekologi dan sosial hanya memungkinkan, katanya, kalau iklim demokrasi dibuka. Dalam proses pembangunan, katanya, harus ada partisipasi rakyat.

“Demokrasi tertutup ketika ruang kritik rakyat dihadapkan dengan kriminalisasi dan diskriminasi. Ancaman demokrasi makin menguat hingga sulit mendorong agenda penyelamatan lingkungan dan agraria.”

Beni Wijaya, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, perangkulan partai politik yang sebelumnya oposisi, mungkin untuk meredam isu radikalisme yang dikhawatirkan selama ini. Namun, katanya, substansi mendasar soal ekologi dan agraria, tak jadi perhatian utama walau isu penting dan sudah kronis.

“Kalau kami lihat isu konflik agraria, kriminalisasi, penggusuran dan lain-lain, dalam satu waktu berpotensi memecah masyarakat. Konflik agraria memunculkan ketidakpuasan dari masyarakat kepada pemerintah. Ini sangat mengkhawatirkan,” katanya.

“Kita lihat Papua. Konflik di sana karena ada ketidakpuasan terhadap pemerintah. Imbas dari tidak merata dan tak adil dalam pengelolaan sumber daya alam dan agraria. Konflik agrraia berpotensi terhadap rapuhnya stabilitas nasional dan kerusakan lingkungan,” katanya.

Seharusnya, dalam lima tahun ke depan, pemerintah fokus mengatasi perbaikan tata kelola yang berelasi dengan sumber daya alam, bukan hanya bagi-bagi kekuasaan.

“Kita berharap, Jokowi tak tersandera kepentingan parpol dan oligarki dalam menentukan siapa yang akan membantu dia di posisi menteri. Apalagi untuk menteri yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN dan Energi dan Sumber Daya Mineral.”

Wahyubinatara Fernandez, Manajer Advokasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mengatakan, dalam periode pertama Pemerintahan Jokowi, agenda kerakyatan dan penyelamatan lingkungan sebatas di program. Soal reforma agraria dan perhutanan sosial, misal, capaian masih rendah.

“Pemerintah ada kecenderungan fokus pada investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran, yang belum tentu dinikmati masyarakat.”

Rancangan Undang-undang terkait rakyat, seperti RUU Masyarakat Adat, belum selesai.

Wahyu bilang, soal keterbukaan informasi publik juga hal penting dilakukan pemerintah. Soal data hak guna usaha, misal, hingga kini masih tertutup padahal penting agar berbagai persoalan karut marut pengelolaan sumber daya manusia teratasi.

“Bagaimana bisa menyelesaikan konflik agraria yang justru makin tereskalasi dua tahun terakhir ini jika ruang-ruang keterlibatan masyarakat sipil tidak dibuka?”

Henri Subagiyo, Direktur Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, Pemerintahan Jokowi terlihat sangat ambisius mengenjot investasi, infrastruktur dan proyek strategis nasional.  Sejalan dengan rencana itu, Jokowi melakukan sejumlah deregulasi yang mempermudah izin. “Investasi seharusnya tidak mengorbankan standar lingkungan, sosial dan perlindungan masyarakat,” katanya.

Henri juga menyoroti sejumlah RUU yang justru kontraproduktif dengan perlindungan lingkungan, seperti RUU Perkelapasawitan, RUU Pertahanan, maupun RUU KUHP.

Tahun lalu, katanya, presiden menandatangani PP No 24/2018 tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS) yang menisbikan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan dari pertimbangan pemberian izin.

“Investasi tak memperhatikan aspek sosial lingkungan akan mengakibatkan krisis ekologis dan memicu bencana alam,” kata Henri.

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, lima tahun ke depan, korupsi pertambangan akan makin subur dengan menemukan momentum kematian KPK dampak revisi UU.

Jatam mencatat, dalam 2014-2018, terdapat, 23 kasus dugaan korupsi sektor pertambangan dengan estimasi nilai kerugian negara mencapai Rp210 triliun. Empat kasus utama, yakni, korupsi di kawasan konservasi Tahura Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, konservasi Tahura Poboya Sulawesi Tengah. Juga, divestasi saham newmont di Nusa Tenggara Barat, dan penyalahgunaan kawasan hutan oleh operasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua.

Kondisi saat ini, katanya, mendesak presiden menerbitkan Perpu KPK. “Langkah Jokowi mengeluarkan masih dinanti rakyat Indonesia. Perpu merupakan pembuktian politik apakah Jokowi berpihak rakyat atau oligarki politik.” Kata Merah.

 

Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Kandidat menteri dan oligarki

Seiring pergantian pemerintahan, beberapa nama kandidat santer dibicaraan bakal jadi menteri Jokowi. Koalisi #BersihkanIndonesia menilai, nama-nama yang beredar erat kaitan dengan oligarki industri tambang batubara.

“Kami memantau beberapa nama yang beredar di media. Ada delapan nama kami telusuri rekam jejaknya. Kami lacak apakah mereka pemain batubara atau bukan?” kata Ahmad Ashov Birry, dari Trend Asia di Jakarta, Sabtu (19/10/19).

Metodologi yang kami lakukan, katanya, dengan pemantauan media, dan bandingkan dengan data Kementerian Hukum dan HAM untuk mengetahui apakah mereka masih menjabat posisi pimpinan perusahaan batubara atau tidak.

Delapan nama yang ditelusuri itu, katanya, seperti, Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin. Menurut Ashov, nama Erick tidak bisa terlepas dari bisnis batubara keluarganya. Saudara kandungnya, Garibaldi Thohir adalah Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (Adaro).

Data Jatam menyebut, pada 2003, Adaro menggusur tempat tinggal warga di dua desa di Kecamatan Paringin dan Wonorejo yakni Desa Lamida Atas dan Juai. Aktivitas penambangan menyebabkan banjir bagi warga Tamiang dan Pulau Ku’u.

Laporan Global Witness berjudul “Jaringan Perusahaan Luar Negeri Adaro,” mengungkapkan, bagaimana perusahaan memindahkan laba ke jaringan perusahaan di luar negeri sepanjang 2009-2017. Dengan pengalihan laba ini, Adaro bisa membayar pajak US$125 juta lebih rendah daripada seharusnya.

Dengan pemindahan ini, diperkirakan pemerintah Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan hampir US$14 juta dolar setiap tahun.

Sosok kedua, Yusril Ihza Mahendra. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini tercatat sebagai pemilik saham dan komisaris tambang batubara PT Bara Mega Quantum (BMQ). Genesis Bengkulu menyebut, dari delapan perusahaan di DAS Bengkulu, empat perusahaan termasuk BMQ berada tepat di hulu Sungai Bengkulu.

“Aktivitas penambangan di daerah ini merusak DAS Bengkulu dan disebut sebagai penyebab banjir besar di Bengkulu awal Mei 2019. Dari IUP operasi produksi BMQ ternyata sebagian besar di hutan produksi tetap dan belum ada izin pinjam pakai kawasan,” katanya. Yusril juga tercatat sebagai komisaris di perusahaan PT Inmas Abadi.

Dia juga pemilik perusahaan tambang batubara PT Mandiri Sejahtera Energindo di Sepaku, Kalimantan Timur. Perusahaan ini berada di lokasi rencana ibu kota negara baru, seluas 3.763,03 hektar.

Ada juga Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto. Dalam kasus korupsi PLTU Riau-1, Airlangga berpeluang berurusan dengan KPK karena dana korupsi pembangkit kotor itu diduga kuat mengalir ke Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar.

Bahkan, dalam Berita Acara Pemeriksaan, Eni Maulani Saragih, menyebutkan, rumah Airlangga jadi lokasi pertemuan membahas proyek PLTU Riau-I. Nama Airlangga, katanya, juga pernah tercatat sebagai komisaris di perusahaan tambang batubara PT Multi Harapan Utama (MHU) di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. “Perusahaan PKP2B ini dalam proses mengurus perpanjangan izin eksploitasi,” katanya.

Data Auriga menyebut, MHU memiliki luas 39.972 hektar dengan luas lubang bekas tambang 3.748 hektar. Catatan Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur pada 2017, MHU meninggalkan 56 lubang bekas tambang terserak di Kutai Kartanegara, salah satu di Kelurahan Loa Ipuh Darat Kilometer 14, menewaskan Mulyadi, pada Desember 2015.

“Kasusnya menguap tanpa penegakan hukum. Padahal, ada kewajiban dalam hukum bagi Adaro untuk menutup lubang bekas tambang,” kata Ashov.

Kemudian, Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sekaligus CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Dia memiliki MNC Energy and Natural Resources yang membawahi sembilan perusahaan, seperti PT Nuansacipta Cipta Investment (NCI), PT Bhakti Coal Resources (BCR), PT Bhum S Perdana Coal, dan PT Primaraya Energy. Juga, PT Titan Prawira Sriwijaya, PT Mua Coal, PT Indonesia Batu Prima Energy, PT Arthaco Prima Energy, dan PT Energy Inti Bara Pratama.

“Selama 2013, NCI berkonflik dengan warga di Kecamatan Palaran, Kaltim, terkait pencemaran limbah lumpur pertambangan di lahan warga. NCI juga merusak hutan hingga banjir sering terjadi di Palaran.”

BCR, juga memiliki delapan konsesi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, juga bermasalah. BCR membangun pelabuhan batubara tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Lalu, mantan wakil Gubernur Jakarta sekaligus kader Partai Gerindra Sandiaga Solahudin Uno. Dia pemilik saham di Adaro Energy (Adaro). Sandiaga, kata Ashov, punya kepentingan terhadap hulu industri batubara, yakni PT Adaro Energy dan di hilir ada PLTU Batang, Jawa Tengah dan PLTU mulut tambang di Kabupaten Tanjung, Kalimantan Selatan.

Berdasarkan laporan Global Witness, rilis 2 April 2019, saat Sandiaga jadi pemilik Berau Coal, perusahaan ini membayar US$43 juta, antara 2010-2012 ke perusahaan tak dikenal bernama Velodrome Worldwide Limited, yang didirikan di suaka pajak Seychelles.

 

Kala hujan turun, batubara yang terbuka seperti ini berpotensi mencemari laut sekitar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sandiaga punya andil dan kemungkinan untung dari pembayaran ini. Pembayaran ini membawa dampak serius bagi Berau Coal dan investor lain.

“Selain kepemilikan tak jelas, pembayaran jutaan dolar kepada Velodrome meragukan karena tak jelas jasa apa yang diberikan Velodrome kepada Berau. Dari laporan keuangan Berau yang didapat Global Witness, tak ada keterangan apapun soal ini dan mengapa bayaran sangat mahal. Yang jelas, biaya bulanan untuk Velodrome, melebihi tagihan upah ratusan karyawan Berau Coal saat itu rata-rata US$2,1 juta per bulan,” katanya.

Tahun 2016, Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (ICIJ) merilis dokumen Panama Papers yang mengindikasikan Sandiaga terhubung ke sejumlah perusahaan lepas pantai. Menurut Panama Papers, Sandiaga adalah pemegang saham tunggal dan direktur Velodrome sejak perusahaan itu didirikan pada Oktober 2007-Mei 2009.

Data JATAM Kaltim, Sandiaga pernah menjabat direktur di MHU di Kukar, Kaltim. Jatam mencatat 20 korporasi penyebab 32 anak meninggal di kolam tambang, salah satu MHU.

Mulyadi, 15 tahun, tewas di lubang tambang MHU, Kelurahan Loa Ipuh Darat, RT03, Kukar. Insiden terjadi 16 Desember 2015. Sandiaga adalah komisaris dalam struktur awal MHU. Terakhir, namanya tercatat sebagai direktur pada 11 April 2013.

Lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Namanya tercatat dalam izin usaha pertambangan PT. Inmas Abadi, izin keluar oleh Plt Gubernur Bengkulu yakni H. Junaidi Hamsyah. Dalam IUP itu nama Ryamizard tercatat sebagai komisaris.

Lokasi pertambangan batubara perusahaan ini, katanya, masuk dalam hutan konservasi yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, hutan produksi terbatas (HPT) Lebong Kandis dan hutan produksi konversi. Dalam proses revisi tata ruang Bengkulu, khusus kawasan hutan, ada usulan pelepasan kawasan di area yang terbebani Inmas atas usulan Gubernur Bengkulu pada 8 Januari 2019. .

Kemudian, Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Ashov mengatakan, namanya belum terlacak secara langsung memiliki konsesi batubara ataupun pembangkit listrik tenaga batubara. Namun, dia jadi perhatian ketika meresmikan PLTU Celukan Bawang di Buleleng, Bali.

Pada 2015, dia meresmikan PLTU bersama sosok Tjandra Limandjaya, sebagai pemilik PT General Energi Bali. Padahal, statusnya masuk daftar pencarian orang (DPO). Tjandra dan istri, sudah vonis tujuh tahun penjara karena penipuan dokumen garansi bank, yang jadi jaminan pinjaman di Morgan Stanley Bank.

Kemudian, nama Luhut Binsar Panjaitan. Laporan Coalruption Greenpeace Indonesia, Politically Expose Persons (PEP), jaringan Luhut dalam militer dan birokrasi yang terlibat dalam bisnis pertambangan batubara adalah Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Komisaris di PT Toba Sejahtra bersama dengan Letjen (Purn) Sumardi. Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy merupakan Direktur Kutai Energi juga Presiden Direktur Utama TMU, dan Letjen (Purn) Sintong Hamonangan Panjaitan jadi Komisaris ABN.

“Luhut juga merekrut Jusman Syafii Djamal sebagai Komisaris Utama Toba Sejahrera sambil menjabat sebagai komisaris di Kutai Energi. Saat ini, ada 16 perusahaan di bawah payung Toba Sejahtera dengan pertambangan batubara di Kutai Kartanegara, sebagai bisnis pentingnya.”

Meskipun Kutai Energi merupakan konsesi pertambangan batubara terbesar dalam kelompok ini, tiga anak perusahaan pertambangan batubara di bawah Toba Bara Sejahtera (Toba) yakni ABN, IM, dan TMU, merupakan perusahaan yang tumbuh pesat di dalam kelompok ini.

Data terbaru, laporan Global Witness, rilis 2 April 2019, menyebut, Luhut menjual 62% saham Toba Bara Sejahtera, ke pembeli yang diduga perusahaan cangkang, pada 2016. Lembaga itu pun mempertanyakan siapa pembeli saham milik Luhut itu.

Luhut menampik isi laporan dan menyatakan sejak lama sudah tidak memiliki saham mayoritas di Toba Bara Sejahtera.

Arip Yogiawan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, yang terjadi pada proses politik belakangan ini mengkonfirmasi begitu kuat kelompok oligarki batubara dan bagaimana Jokowi menyediakan karpet merah bagi kepentingan mereka. “Ini bagi-bagi kekuasaan yang tak saja berarti buruk bagi keseimbangan politik juga ancaman kerusakan lingkungan oleh batubara,” katanya.

Dengan kondisi ini, kekhawatiran energi terbarukan dari sumber melimpah di negeri ini tetap terpinggirkan. “Harapan terbesar kami, Pemerintah Indonesia harus mulai beralih ke energi terbarukan dan meninggalkan ketergantungan pada batubara. Kalau periode pertama belum terjadi, kami berharap periode kedua mulai mengarah ke sana,” katanya.

Dengan lobi-lobi elit politik dan melebur antara koalisi dan oposisi, Arip menduga, oligarki batubara sudah terkonsolidasi. Dengan keadaan ini, dia khawatir langkah beralih ke energi terbarukan akan makin berat.

“Dalam proses penyusunan kabinet, penting dilihat apakah dari pertemuan-pertemuan elit politik ini sebagai konsolidasi oligarki yang makin mesra? Ini tentu berdampak pada penyusunan kabinet.”

 

 

Keterangan foto utama:  Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang. Foto dok Jatam Kaltim

 

Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version