Mongabay.co.id

Benteng Alami di Kawasan Pesisir dan Laut untuk Bencana Alam

 

Sumber daya di kawasan pesisir dan laut berperan penting dalam adaptasi menghadapi dampak perubahan iklim yang sekarang sedang terjadi. Selain itu, kawasan tersebut juga bisa berperan untuk meningkatkan adaptasi menghadapi berbagai bencana alam yang sangat rentan terjadi di Indonesia.

Demikian diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin di Jakarta, dua pekan lalu.

Menurut dia, Indonesia harus terus belajar untuk melakukan adaptasi dari berbagai bentuk bencana alam, karena Nusantara adalah wilayah kesatuan yang berada dalam jejaring Cincin Api Pasifik. Oleh itu, bencana alam sangat rentan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja tanpa mengenal waktu dan kondisi.

“Dengan kondisi ini, resiliensi atau ketahanan diri perlu dibangun dan dikelola, agar dampak negatif dari bencana alam dan perubahan iklim dapat diantisipasi,” ucapnya.

baca : Negara Kepulauan Harus Bersatu Hadapi Dampak Perubahan Iklim

 

Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim Kemenko Kemaritiman, Safri Burhanuddin menyatakan pentingnya kawasan pesisir dan laut dalam adaptasi perubahan iklim. Foto : Kemenko Maritim/Mongabay Indonesia

 

Agar resiliensi bisa terwujud, Pemerintah Indonesia saat ini telah melakukan berbagai upaya penanganan yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Pihak-pihak yang terkait pun, dilibatkan dalam upaya tersebut, seperti Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Perencanaan Pembnagunan Nasional (BAPPENAS).

Safri Burhanuddin menjelaskan, selain tantangan alam seperti di lingkungan pesisir dan laut, Indonesia juga menghadapi tantangan berat untuk bisa melaksanakan resiliensi, karena ekosistem alam yang ada sekarang sudah menjadi basis bagi pembangunan ekonomi secara terus menerus. Kondisi itu, mengancam dan menekan keberlanjutan ekosistem yang ada di darat dan laut.

“Itu karena kegiatan manusia,” tuturnya.

Di antara ekosistem yang kondisinya sekarang sedang terancam dan mengalami tekanan akibat pembangunan, adalah ekosistem bakau (mangrove) yang ada di kawasan pesisir laut. Selain itu, juga ada ekosistem lamun (seagrass) yang tumbuh dan menjadi ekosistem penting di kawasan pesisir dan laut.

Kedua ekosistem tersebut, sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan ketahanan diri terhadap bencana alam dan sekaligus perubahan iklim. Tetapi, pemanfaatan tersebut juga terancam tidak bisa terjadi, karena polusi dan pencemaran akibat aktivitas industri sudah mengancam keberadaan mangrove dan lamun.

baca juga : Melindungi Jejak Penyerap Karbondioksida di Kawasan Pesisir

 

Pesisir pantai, semakin rentan akibat aktivitas manusia, dan perubahan iklim. Foto: Raymond Jakub/The Nature Conservancy

 

Benteng Alami

Padahal, Safri menyebut, ekosistem mangrove dan lamun memiliki fungsi dan peran sangat penting untuk kawasan pesisir dan laut, yakni sebagai benteng pertahanan yang alami. Fungsi dan peran tersebut, akan menjamin keberlanjutan produksi perikanan tangkap, perikanan budi daya, pariwisata bahari, dan sekaligus ekonomi masyarakat.

Mengutip data yang dirilis KLHK pada 2016, Safri memaparkan bahwa luasan mangrove Indonesia mencapai 3,4 juta hektare, tetapi 60 persen di antaranya adalah luasan yang kondisinya kurang baik. Sementara, sisanya atau 40 persen berada dalam kondisi sedang dan baik.

Kemudian, dari potensi luasan padang lamun yang mencapai 0,8 hingga 1,8 juta ha pada 2015, ternyata pada pada 2017 mengalami penurunan hingga 46 persen atau menjadi 42,23 persen setelah dua tahun. Fakta tersebut, katanya, menjadi penegas bahwa padang lamun yang ada saat ini sedang mengalami ancaman, karena semakin banyak yang kurang sehat.

Fakta-fakta yang diungkap tersebut, bagi Safri menjadi penegas bahwa kondisi ekosistem mangrove dan lamun saat ini sedang terancam dan harus mendapat perhatian serius dari semua pihak. Tanpa ada upaya tersebut, segala potensi yang ada dalam kedua ekosistem tersebut, termasuk untuk resiliensi dari bencana alam, tidak akan bisa dimanfaatkan.

“Semua pihak terkait harus bisa merumuskan rekomendasi untuk pemetaan ekosistem mangrove dan lamun secara efektif, mengidentifikasikan sumber daya bagi pengelolaan efektif kedua ekosistem tersebut, dan mengidentifikasi pilihan bagi mekanisme pembayaran untuk jasa pesisir,” jelasnya.

perlu dibaca : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

 

Nelayan mencari ikan di Sungai Lalan yang berbatasan dengan TN Sembilang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Untuk yang disebut terakhir, Safri menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mendorong terciptanya sistem pendanaan yang abadi dalam menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan laut pada kawasan destinasi pariwisata bahari. Bentuk pendanaan itu adalah extended producer responsibility (EPR) pariwisata, di mana stakeholder pariwisata bisa menerima manfaat langsung dari ekosistem yang ada.

Menurut dia, upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sumber daya pesisir dan laut juga mendapat dukungan berupa dana dari negara-negara donor yang mengontribusikan uangnya lewat oceans, marine debris and coastal resources multi donor trust fund (Oceans MDTF). Dana hibah tersebut kini diwali-amanahkan melalui Bank Dunia.

Sementara, ENB Practice Manager Bank Dunia Ann untuk Asia Tenggara dan Pasifik Jeannette Glauber menyatakan bahwa ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang adalah aset alami yang sangat bernilai tinggi bagi Indonesia. Potensi yang ada pada ketiga ekosistem tersebut, adalah kemampuan untuk menyerap karbondioksida (CO2) hingga lima kali lebih banyak dari kemampuan hutan tropis di daratan.

“Namun karena polusi, perusakan lingkungan dan sampah plastik yang masuk ke laut, ekosistem alami ini jadi terancam,” ungkapnya.

baca juga : 21 Provinsi Terjadi Subsiden Tanah, Ancaman Terbesar Berada di Kawasan Pesisir, Seperti Apa?

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Pendanaan Berkelanjutan

Glauber kemudian menambahkan, sesuai dengan mandat yang diberikan Oceans MDTF, dana hibah yang diberikan oleh Pemerintah Denmark dan Norwegia akan diberikan kepada Indonesia untuk memperkuat upaya konservasi dan mengelola ekosistem pesisir dan laut secara berkelanjutan. Pengelolaan dana tersebut dilakukan dengan melibatkan Bank Dunia.

Sebelumnya, Dosen Ilmu Atmosfer Institut Pertanian Bogor (IPB) Daniel Mundiyarso mengatakan, pemanfaatan hutan bakau untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, adalah untuk untuk menyerap dan menyimpan emisi dalam jangka waktu yang lama. Kemampuan tersebut, 20 kali lebih banyak dari hutan tropis.

Selain kemampuan tersebut, ada potensi karbon biru (blue carbon) yang menjadi potensi ekonomi yang sangat besar pada mangrove. Menurut dia, potensi tersebut mencapai hingga USD10 miliar lebih jika dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.

Dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.

“Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan, untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun lamanya,” ucap anggota penyusun laporan panel antar pemerintah untuk perubahan iklim PBB (IPCC) .

 

Dua warga Gampong Jawa, Banda Aceh menanam bibit mangrove di lahan gambut milik desa. Foto: Irwandi/Juara 3 Pers DETaK 2018

 

Karena begitu besarnya potensi penyimpanan karbon, Daniel mengingatkan kepada semua orang untuk selalu menjaga hutan bakau di Tanah Air. Pasalnya, jika sampai terjadi deforestasi mangrove, maka akan ada karbon yang dilepaskan ke udara.

Salah satu penyebab kerusakan mangrove di Indonesia, adalah karena semakin masifnya pengembangan sektor perikanan budi daya di seluruh pulau. Dalam tiga dekade terakhir, 40 persen hutan mangrove Indonesia rusak, karena budi daya perikanan.

Sementara, KKP meneliti, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/ha/tahun. Sedangkan total ekosistem padang lamun di Indonesia diperkirakan dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon /tahun.

 

Exit mobile version