Mongabay.co.id

Tidak Sembarang, Berburu Gurita Ada Aturannya [Bagian 2]

Gurita kelapa Amphioctopus marginatus bersembunyi di dasar laut dengan hanya menyisakan matanya saja. Foto : Wisuda

 

 

Baca sebelumnya: Berburu Gurita di Laut Banggai [Bagian 1]

**

 

Setelah bertolak dari Pelabuhan Rakyat di Kota Luwuk, akhirnya kapal berlabuh di Pelabuhan Banggai. Sembilan jam berada di lautan, pagi itu satu-persatu penumpang keluar dari geledak kapal. Pelabuhan ini adalah kota sekaligus pintu masuk utama Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Tempat gugusan pulau berjajar, menghadap laut Maluku.

Dari ratusan penumpang itu terdapat sejumlah perwakilan lembaga non-pemerintah yang bekerja mendampingi masyarakat pesisir, khususnya nelayan penangkap gurita. Di penghujung September 2019, mereka berkumpul di Desa Bone Baru, sebelah utara Banggai, yang berhadapan dengan Pulau Peleng di daratan Banggai Kepulauan.

Tujuannya, berbagi pengalaman, belajar, dan paparan cerita sukses mendampingi nelayan penangkap gurita di masing-masing wilayah. Inisiator pertemuan adalah Blue Ventures Indonesia, sebuah lembaga berbasis di London, Inggris, yang fokus isu konservasi kelautan dan penguatan masyarakat pesisir.

“Di Indonesia, 90 persen pasar gurita adalah ekspor. Gurita memiliki nilai ekonomis sangat tinggi, namun Indonesia masih minim data. Kami hanya ada data tangkapan sementara di Sulawesi dan baru memulai di luar pulau tersebut,” ujar Lugas Lukmanul Hakim, Fisheries Partner Support Technician dari Blue Ventures Indonesia.

 

Nelayan tradisional ini menangkap gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulawesi Utara. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Mursiati dari Forkani Sulawesi Tenggara, yang bekerja di Desa Darawa, Wakatobi, menceritakan bagaimana mereka membuat aturan adat dalam penutupan sementara wilayah penangkapan gurita. Mereka memulai dari identifikasi jumlah nelayan penangkap gurita, lokasi dan alat tangkap, metode penangkapan, alur pemasaran, kalender musim, hingga pelatihan data kolektor yang bertugas mengetahui jenis kelamin dan berat gurita, serta berbagai kebutuhan data lain.

Forkani menggandeng mitra seperti pemerintah desa, kelompok masyarakat [perempuan, remaja dan anak], pemangku adat, serta pembeli. “Keterlibatan banyak pihak untuk kepentingan pengelolaan gurita berbasis masyarakat,” ujarnya.

Saat pertemuan warga, Mursiati menjelaskan siklus gurita menggunakan medium gambar. Gurita bisa bertambah beratnya dua kali lipat setiap bulann. Gurita betina bertelur sekitar 300.000 butir di lubang karang dan mengerami satu bulan sampai netas. Arus laut membuat bayi gurita tersebar.

Saat usia tiga hingga empat bulan, gurita menetap di terumbu karang. Hidup dan tumbuh memakan kepiting, kerang, serta ikan kecil. Setelah delapan sampai sepuluh bulan, gurita betina berpindah karang lebih dalam untuk bertelur.

“Ketika menetap di karang beratnya sekitar 100 gram. Beratnya bisa mencapai 6.400 gram dalam waktu tujuh bulan.”

Di wilayah kelola Desa Darawa, gurita dibiarkan tumbuh dan berkembang. Sejak 1 Juni hingga 1 September 2018, wilayah tersebut ditutup. Berdasarkan data, sepanjang 2018, tangkapan gurita nelayan di Darawa sekitar 5.580,5 Kilogram.

“Masyarakat menjadi tahu, penutupan sementara untuk meningkatkan produktivitas tangkapan,” paparnya.

Daerah lain yang menggunakan pendekatan adat menjaga ruang kelola masyarakat adalah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Yayasan Planet Indonesia mendampingi nelayan di empat desa, yaitu Sungai Nibung, Mengkalang, Seruat Dua, dan Mengkalang Jambu. Hanya saja, spesies yang menjadi fokus bukan gurita, melainkan kepiting bakau.

Desa Sungai Nibung sudah menerapkan sistem buka tutup penangkapan. Penutupan sementara dilakukan secara adat dengan tujuan memberikan kesempatan biota untuk tumbuh kembang dan populasinya stabil.

“Jika ada masyarakat melanggar dikenakan sanksi adat berupa 1.000 ketupat,” ungkap Mizan dari Yayasan Planet Indonesia.

 

Seekor gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulut. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Aturan sasi

Penutupan sementara wilayah tangkapan laut bukan hal baru di Indonesia. Di beberapa tempat, kearifan lokal ini tetap dipertahankan. Di Teluk Depapre, Papua, masyarakat adat menyebutnya dengan sistem tiatiki. Di Ambon, Maluku, model penutupan sementara dengan aturan adat ini disebut sasi.

Yayasan Baileo Ambon melakukan pendampingan pada masyarakat Negeri Akoon, Kecamatan Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah. Sebagai daerah adat, “Negeri” merupakan nama yang menggantikan istilah desa. Mirip Nagari di Sumatera Barat. Proses di Negeri Akoon sama dengan Desa Darawa, Wakatobi, atau Sungai Nibung, Kalimantan Barat. Hanya saja mereka tidak menggunakan istilah penutupan sementara penangkapan gurita.

Sasi menjadi kekuatan masyarakat, lebih dari penutupan sementara di wilayah tangkapan,” ungkap Jefferso Tasik dari Yayasan Baileo Ambon.

Sasi secara sederhana diartikan larangan mengambil sumber daya alam tertentu sebagai upaya menjaga kelestarian, kualitas dan populasi di alam. Sasi diatur dalam aturan-aturan adat menyangkut hubungan manusia dengan alam, dan hubungan antar-manusia dengan wilayah larangan.

“Hakikatnya, memelihara tata krama hidup bermasyarakat, agar terjadi pemerataan pendapatan dari hasil sumber daya alam bagi seluruh warga desa atau negeri,” ujarnya.

Sasi ditetapkan oleh saniri negeri atau dewan adat. Keputusan ini yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kewang, sebuah lembaga adat yang ditugaskan untuk mengawasi pemberlakuan aturan-aturan sasi.

Kewajiban kewang adalah memberi sanksi warga yang melanggar, memeriksa batas tanah, hutan, kali/sungai dan laut yang termasuk wilayah sasi.

“Sasi tidak hanya diterapkan di laut. Tapi juga di sungai, hutan, dan permukiman,” kata Jefferson.

Dibandingkan daerah lain dalam sistem penutupan sementara penangkapan gurita, maka di Desa Popisi, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, tidak menggunakan aturan adat. “Mungkin daerah yang menggunakan sistem adat agak mudah melakukan pengelolaan. Tapi di Banggai Laut dengan pendekatan administratif, akan menjadi tantangan berbeda dalam pengelolaan daerah tangkapan gurita,” ujar Jefferson.

 

Gurita kelapa yang bersembunyi di dasar laut, menyisakan mata saja. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tangkapan menurun

Penelitian di Desa Popisi yang dilakukan Daniel Julianto Tarigan, dimuat dalam tesis berjudul ”Pengelolaan Daerah Penangkapan Gurita [Octopus cyanea] Secara Berkelanjutan di Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah [IPB, 2018].” Riset tersebut menunjukkan, gurita di Kabupaten Banggai Laut belum dikelola optimal. Nelayan melakukan penangkapan tanpa mempertimbangkan dampaknya. Pengelolaan benar perlu dilakukan untuk menjaga potensi gurita lestari.

Menurutnya, jika dilihat aspek Catch Per Unit Effort [CPUE] atau hasil tangkapan per unit alat tangkap pada kondisi biomassa maksimum, gurita dalam 3 tahun terakhir [2014-2016] menunjukkan penurunan cukup drastis. Ini mengindikasikan penangkapan berlebihan.

Ia menyebut, Kabupaten Banggai Laut belum memiliki strategi pengelolaan perikanan, khususnya gurita. “Hal ini diduga karena hewan ini belum dimanfaatkan secara komersil untuk bahan makanan dalam negeri,” ungkap Daniel dalam tesisnya.

Menurutnya data time series produksi gurita dewasa imasih terbatas di Kabupaten Banggai Laut. Pada 2014, total produksi gurita mencapai 790 ton, namun menurun pada 2015 [409 ton] dan hanya 352 ton pada 2016.

Ia menjelaskan lagi, ukuran gurita yang tertangkap semakin kecil. Ini akibat tingginya intensitas penangkapan. Sampling selama penelitian terdapat 804 gurita: 495 gurita jantan dan 309 betina. Jumlah hasil tangkapan layak pada gurita jantan 340 ekor [69%], sedangkan yang tidak layak mencapai 155 ekor [31%].

 

Lamuruli menunjukkan gurita tangkapannya di laut Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia.

 

Daniel yang mengutip Guard and Mgaya [2002], mengatakan gurita jantan pertama kali dewasa dengan panjang mantel 7 cm. Oleh karena itu, gurita jantan di Kabupaten Banggai Laut pada September-Oktober didominasi layak tangkap.

Tangkapan gurita betina didominasi panjang mantel sebanyak 211 ekor [68%], sedangkan yang tidak layak tangkap 98 ekor [32%]. Gurita betina pertama kali dewasa dengan ukuran panjang mantel 7,7 cm. Hasil tangkapan menunjukkan, panjang mantel gurita betina yang tertangkap didominasi ukuran layak tangkap.

Hasil penelitian itu serupa dengan tangkapan Lamuruli, nelayan penangkap gurita Desa Popisi pada 3 Oktober 2019. Bobot gurita yang berhasil ditangkap pertama di atas 2 kilogram dan gurita kedua di atas 1 kilogram. Setelah mengikuti beberapa pelatihan, Lamuruli pun bisa membedakan gurita jantan dan betina.

 

Penandatanganan Peraturan Bersama Enam Kepala Desa tentang Rencana Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Peraturan bersama

Yayasan Lini yang mendampingi nelayan penangkap gurita di Desa Popisi telah mengidentifikasi persoalan yang dihadapi. Sosialisasi dilakukan dan rencana pengelolaan telah diaplikasikan menggunakan pendekatan Locally Managed Marine Area [LMMA] atau pengelolaan kawasan laut berbasis lokal.

Tujuannya, membentuk pengelolaan pesisir dan laut berkelanjutan oleh masyarakat lokal yang disinergikan dengan program pemerintah desa.

Pada 1 Oktober 2019, Yayasan Lini menggelar acara penutupan sementara penangkapan gurita, mulai 7 September hingga 7 Desember 2019. Penandatanganan Peraturan Bersama Enam Kepala Desa tentang Rencana Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, pun dilakukan.

“Enam desa itu adalah Bonebaru, Tolisetubono, Paisumosoni, Popisi, Lokotoy, dan Kendek,” ujar Khalis Dwi Hibatullah, LMMA Coordinator Yayasan Lini.

Ruang lingkup peraturan meliputi wilayah dan bentuk pengelolaan, pelarangan, serta sanksi. Untuk wilayah rencana PWP-3-K [Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil] terdiri dua zona: inti dan pemanfaatan terbatas.

Zona inti merupakan wilayah dengan nilai konservasi tinggi, sementara zona pemanfaatan terbatas terdiri: zona budidaya, zona perikanan tradisional, zona wisata bahari, serta zona penutupan sementara.

I Gede Surya Risuana, Koordinator Program Yayasan Lini di Kabupaten Banggai Laut, menjelaskan, penutupan sementara di Pulau Assasal dimulai 14 Oktober 2018 hingga 14 Januari 2019. Ada perubahan tangkapan meski tidak begitu signifikan. Masyarakat menginginkan pengawasan lebih diperkuat.

“Rencana tindak lanjut kami adalah penutupan sementara penangkapan gurita dilakukan rotasi di Kecamatan Banggai Utara beserta perbaikannya,” ujarnya.

 

Perkampungan Bajo di Desa Popisi, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Potensi gurita

Lugas Lukmanul Hakim dari Blue Ventures, mengatakan dilihat dari pola penangkapan gurita di tujuh provinsi, ini menggambarkan besarnya potensi gurita di Indonesia. Namun untuk data produksi, harus dipastikan dan dianalisis lebih lanjut dengan data Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Tahun 2018 di Desa Popisi, saat musim tangkapan gurita tinggi, nelayan bisa dapat 3-4 ton sebulan. Jika musim tangkapan turun, hanya 1-2 ton sebulan,” ujarnya.

Dalam riset Daniel Julianto Tarigan, mengutip data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Laut [2016], disebutkan potensi perikanan gurita di Kabupaten Banggai Laut mencapai 10.652 ton per tahun dengan produksi gurita 8.034 ton per tahun.

Sayang, menurut Lugas, empat hingga lima bulan terakhir di 2019, harga gurita turun hampir di semua tempat. Di beberapa tempat, pabrik penampung berhenti membeli.

“Penyebabnya tidak pasti. Tapi secara umum lebih pada pengendalian mutu dan kualitas yang masih belum optimal di Indonesia,” ujarnya.

Bagi Herdianto S. Hakim, nelayan dan juga pengepul gurita di Desa Popisi, adanya penutupan sementara serta kesepakatan bersama pengelolaan laut, memberi harapan baru.

“Pengawasan masih lemah, ini yang harus diperkuat, agar tangkapan nelayan meningkat,” tegasnya. [Selesai]

 

 

Exit mobile version