Mongabay.co.id

Sukses Patola, Ubah Kopi Kampung ke Starbucks

 

Di sebuah ruangan berdinding kayu, Patola tampak sibuk merapikan berkas-berkas yang berhamburan di atas meja kerjanya. Meski tanpa pendingin ruang, ruangan itu terasa sejuk.

Patola adalah Ketua Kelompok Tani Benteng Alla yang menghimpun ratusan petani kopi yang berada di Desa Benteng Alla, Kecamatan Angeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Kopi produk koperasi ini bukan kopi biasa. Sejumlah perusahaan dan usaha lokal kopi telah menjadi mitranya, termasuk Starbucks, brand kopi terkenal di dunia. Ketenaran lainnya adalah karena brand kopi ini telah memperoleh sertifikasi internasional.

Perjalanan Patola membawa kopi Benteng Alla ke skala global bukanlah perjalanan yang mudah. Dulunya mereka, seperti halnya petani kopi kebanyakan, hanyalah petani kecil yang dipermainkan para tengkulak. Kini mereka bisa berkuasa dalam menentukan harga sesuai dengan harga kopi di pasaran.

baca : Kepedulian Suleman Miting pada Petani Kopi di Toraja

 

Patola membuat branding kopi sendiri, yang dijual ke kafe-kafe dengan harga yang relatif tinggi. Kualitas kopi yang dijualnya terbagi dalam lima grade, dengan grade 1 sebagai kopi dengan kualitas tertinggi. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Koperasi Benteng Alla sendiri baru terbentuk pada 2015 silam, meski sebelumnya telah ada koperasi lain dalam skala kecil. Terdapat 20 kelompok tani yang tergabung di koperasi ini dari target 80 kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 20-25 petani.

Patola bercerita sulitnya mendapatkan harga kopi yang bagus karena akses pasar yang terbatas.

“Dulunya desa ini susah diakses kendaraan, alat komunikasi ke dunia luar juga tak ada sehingga kami mengandalkan penjualan kopi ke pedagang yang masuk. Harganya sangat rendah dan dikendalikan mereka,” ungkap Patola kepada Mongabay, akhir Mei 2019 silam.

Menghadapi situasi ini, Patola yang ketika itu masih menjabat sebagai kepala desa, berinisiatif mencari pasar di luar desa. Ia mendapat informasi pedagang besar di Kabupaten Tana Toraja bisa memberi harga yang lebih baik.

Bersama sejumlah petani lainnya berangkatlah Patola ke Toraja membawa dua truk berisi kopi. Sayangnya, upaya perdananya tak berbuah hasil sesuai harapan.

Meski perusahaan tersebut membeli kopi dari petani, namun mereka menetapkan kuota dan jadwal pembelian. Petani yang tak memiliki akses ‘orang dalam’ susah menjual produk kopinya. Mereka harus menunggu lama dan itu berdampak ke kualitas kopi. Setiap hari, ratusan petani datang dan hanya mendapat jatah 100 liter per hari.

“Saya pelajari, ternyata ada anggota lewat jalur lain, bisa masuk 1-2 truk per hari, sekitar 14 ribu liter. Tidak bagus pola seperti ini karena ada main. Kita merugi dan susah, ternyata ada jalur lain. Ini tidak bisa panjang. Kami hanya kayu bakar saja, kalau sudah tak dibutuh ditendang keluar.”

Tak putus asa, Patolla mencari pasar yang lain di Makassar, meski tetap harus titip kopi ke pedagang Toraja yang telah terdaftar di perusahaan tersebut. Menjual di pedagang perantara ternyata jauh lebih menuntungkan dibandingkan menjual langsung ke perusahaan, karena telah ada kerja sama antar mereka.

baca juga : Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi

 

Patola menghimpun ratusan petani dalam koperasi Benteng Alla bermitra dengan sejumlah perusahaan dan usaha lokal kopi, termasuk Starbucks. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pada 2005, Patola melalui kelompoknya Sari Kembang diundang mengikuti sebuah pertemuan usaha kopi tingkat provinsi di Makassar. Di pertemuan inilah ia berkenalan dengan perwakilan dari Starbucks yang kemudian menawari kerja sama dengan syarat tertentu.

“Mereka kemudian berkunjung ke kebun petani dan membawa beberapa sampel ke Makassar. Hasilnya kemudian mereka menilai kopinya bagus dan mulailah kerja sama. Starbucks mau tahu harga sampai petani. tidak seenaknya mematok harga. Pembelian awal 700 kg dengan harga Rp8000 per kg.”

Menurut Patola, meski harga dari Starbucks lebih rendah dari tempat lain namun menggunakan timbangan dan perhitungan yang normal.

“Pedagang lain beli lebih mahal namun dimainkan timbangannya, begitu juga kotoran dan kadar air ditetapkan seenaknya saja.”

Kerjasama dengan Starbucks berlangsung hingga sekarang dengan pengiriman kopi sekitar 20 ton sekali pengiriman.

Tidak hanya membeli kopi petani, Starbucks juga memberi bantuan dan pendampingan untuk sertifikasi. Mereka mendapat bantuan bangunan dan peralatan untuk sortir dan pengeringan kopi. Bantuan lainnya berupa jalan tani dan pembangunan Taman Kanak-kanak (TK).

Kerjasama dengan Starbucks tidaklah mudah. Harus ada sertifikasi terlebih dahulu. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah harus memenuhi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Kalau aspek ekonomi misalnya kalau beli kopi dari petani harus transparan dan dengan harga yang layak. Harus ada nota pembelian dan nantinya akan ada audit. Kalau persyaratan ini bisa dipenuhi dengan baik maka imbal baliknya para petani akan mendapat ekstra poin.”

Persyaratan lainnya adalah keterpenuhan aspek lingkungan dan kesehatan. Penggunaan pestisida dibatasi menggunakan standar WHO.

“Petani yang melanggar aturan ini akan masuk dalam daftar blacklist, artinya kopinya tak boleh dibeli.”

menarik dibaca : Harum Kopi Arabika di Kaki Gunung Tertinggi Sumatera

 

Kopi produk petani anggota koperasi Benteng Alla memiliki ciri khas tersendiri, dan telah mendapat sertifikasi internasional. Dengan harga yang baik, perkebunan kopi berkontribusi pada peningkatan kesejehteraan keluarga. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sertifikasi lainnya terkait pekerja anak, dimana ada larangan memperkerjakan anak di bawah usia 17 tahun. Aturan ini dinilai Patola cukup berat karena adanya budaya anak membantu orang tua di kebun.

“Kita di petani kan terbiasa membantu orang tua. Tapi ini tak ada toleransi.”

Pemenuhan aspek lingkungan ini juga membuahkan ekstra poin bagi petani, apalagi jika limbah dari kopi digunakan kembali sebagai pupuk. Petani akan mendapatkan premi.

Meski ada kerjasama dan dukungan dari Starbucks, para petani masih bisa menjual ke tempat lain. Patola bahkan membuat branding kopi sendiri, yang dijual ke kafe-kafe dengan harga yang relatif tinggi. Kualitas kopi yang dijualnya dalam kemasan khusus dibagi menjadi lima grade, dengan grade 1 sebagai kopi dengan kualitas tertinggi.

 

Juara di Bali

Ketekunan dan disiplin Patola dalam mengelola kebun berbuah hasil. Ia beberapa kali menjuarai lomba kopi secara nasional. Pada 2016, ia menjadi juara 1 pada kontes kopi di Bali untuk origin Benteng Alla.

“Kami menang lebih ke keseimbangan rasa, hasil drill-nya bagus, after test-nya juga bagus dan ada sedikit rasa lemon.”

Pada 2017 meraih Juara 2. Meski turun peringkat namun rasa kopinya justru lebih tajam dibanding tahun sebelumnya. Hanya saja rasanya dianggap kurang seimbang karena asamnya tinggi.

“Kondisi ini biasanya karena faktor alam 60 persen alam, kemudian pada proses dan roasting.”

Pada 2018, salah satu kopi dampingannya dari Komunitas Adat Tangsa masuk dalam 6 besar kopi terbaik, yaitu Origin Lubika. Meski hanya di posisi 6 dengan tapping score 4 namun harga lelangnya tertinggi, yaitu Rp500 ribu per kg.

“Ini karena rasanya dianggap unik, sehingga jadi rebutan.”

baca juga : Kopi Gunung Puntang, Potensinya Sungguh Menjanjikan

 

Kemitraan petani kopi koperasi Benteng Alla dengan Starbucks selain mendapat pendampingan untuk sertifikasi juga mendapat berbagai bantuan, termasuk alat pengeringan kopi, fasilitas jalan tani dan infrastruktur. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tantangan konversi lahan

Meski kualitas dan harga semakin membaik tidak menjamin keberlangsungan pertanian kopi di Benteng Alla. Akses jalan yang semakin mudah membuat petani perlahan meninggalkan kebun kopi, pindah ke tanaman lain.

“Kalau dulu kopi masih bertahan karena akses jalan yang sulit, sehingga berisiko menanam tanaman horti. Sekarang akses lebih mudah, petani mulai menaman kubis dan tomat.”

Konversi lahan dari tanaman kopi ke sayuran menjadi tantangan tersendiri dan ini tak bisa dilarang karena menyangkut pilihan rasional petani. Tanaman hortikultura bisa panen lebih cepat dibanding kopi. Hanya saja bertanam hortikultura dianggap Patola memiliki masalah tersendiri, yaitu ketidakpastian pembeli dan produk yang cepat membusuk.

“Kalau kopi tidak pernah tinggal dan bisa tahan hingga 6 bulan, bahkan bisa tahunan kalau dikelola dengan baik. Cuma susah mengubah persepsi petani karena otak petani ada di mata. Kalau tomat lagi mahal kopi langsung ditebang. Alternatifnya adalah harus ada diversifikasi tanaman,” ujarnya.

 

Exit mobile version