Pada perhelatan Specialty Coffee Association of America (SCAA) pertengahan April 2016 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, kopi Gunung Puntang asal Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dinobatkan sebagai yang terbaik. Dibarengi harga lelang yang tinggi juga.
Saya pun menemui Ayi Sutedja (51), petani sekaligus pembina kopi Gunung Puntang, mencari tahu resep jitunya. Berkat jerih payah dan kerja kerasnya, Ayi berhasil “menyulap” sesuatu yang tidak ada arti menjadi dahsyat. Jasanya tidak hanya mengantarkan aroma kopi Jawa Barat tercium hingga ke level internasional, tetapi juga, dalam tataran lokal. Dia berhasil mengembangkan nilai ekonomi kopi beserta ekologinya.
“Saya mulai merintis sejak 2011, ketika kopi masih dipandang bukan sesuatu yang potensial,” katanya baru-baru ini.
Kopi Gunung Puntang memang nyaris tak terdengar, sebelum menjadi jawara. Gunung Puntang hanyalah gunung yang wilayahnya tak luput dari perambahan. Lahannya yang dialihfungsikan menimbulkan masalah lingkungan.
Ayi bercerita, menumbuhkan minat petani untuk mau kembali mengolah kopi begitu sulit. Pasalnya, kopi saat itu hanya dihargai Rp2.500 hingga Rp3.000 oleh pengepul. Gairah petani patah. Akibatnya, kopi dibiarkan terbengkalai dan kalah saing dengan tanaman semusim.
Nama kopi Gunung Puntang pun kalah tenar bila disandingkan dengan kopi Lampung, kopi Manggarai, Flores, Gayo, dan Toraja.
Pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut, berjarak 30 kilometer dari Kota Bandung, Ayi mencoba peruntungan. Belajar otodidak, dia mantap membudidayakan kopi arabika lebih berteknik.
Di atas lahan perhutani, bersama petani setempat ia menata dari nol dengan sistem pengolahan hutan bersama masyarakat. “Ketika saya ke lokasi, tanaman peneduh dengan kembang-kembang kopi sudah tumbuh di sana-sini. Panen hanya perkara waktu,” ujarnya.
Pada praktiknya, Ayi memilih tidak menggunakan pupuk berbahan kimia. Pohon pelindung berakar kuat dan berbuah, dipilih dan ditanam untuk melindungi kopi dari teriknya matahari. Karena, kopi hanya perlu 60 persen saja sinarnya.
“Ketika panen pertama, kopi sedikit banyaknya telah memberi kesejahteraan bagi petani. Setidaknya, kini harga buah kopi sudah dihargai Rp12.000/kilogram,” kata Ayi yang olahan bijinya mendapat nilai 86 dengan harga lelang 55 dollar Amerika Serikat per kilogram.
Potensi kopi
Dalam setahun, produktivitas kopi di Indonesia baru mencapai 771 kilogam biji kopi tiap hektar untuk jenis robusta. Sementara arabika, 787 kilogram biji kopi tiap hektarnya. Jumlah itu masih menepatkan Indonesia pada posisi ketiga pengekspor kopi dunia setelah Brasil dan Vietnam.
Berdasarkan data yang dihimpun, ekspor kopi Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 2013, volumenya tercatat 448.6 ribu ton dengan nilai US$1.249.5 juta.
“Kecenderungannya, permitaan kopi terus meningkat. Perlu ada keberlanjutan produksi,” kata Direktur Inisiatif Dagang Hijau (IDH) Fitrian Ardiansyah.
Menurut dia, tantangannya ke depan adalah bagaimana meningkatkan kapasitas produksi. Karena, tidak mungkin hal itu bisa terpenuhi bila petani tidak berserikat atau hanya berjalan perorangan. Mesti ada kelembagaan petani. Disamping itu, harus ada nilai tambah, story atau sesuatu yang bisa dijual.
Fitrian mengatakan, salah satunya kopi Gunung Puntang. Para petani menanam kopi tidak untuk ekonomi semata, tetapi juga berandil dalam konservasi. Ini menarik karena petani bisa belajar meningkatkan kapabilitasnya. Terutama, akses pasar, pendanaan, dan peningkatan cara tanam yang baik.
Untuk menunjang itu, yayasan non profit yang bergerak di pendampingan petani ini, bersama Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI telah mengeluarkan manual kurikulum nasional. Juga, pelatihan budidaya berkelanjutan dan pasca-panen kopi arabika maupun robusta.
Bumingnya kopi di Jawa Barat, seperti mengulang kejayaan di masa lampau. Pada abad ke-17, Belanda mengembangkan kopi di tanah jajahannya untuk dijual ke Eropa.
Berdasarkan berbagai sumber, Belanda membawa bibit kopi arabika ke Jawa Barat dan menanamnya di perkebunan wilayah Priangan. Kopi ini kesohor dengan nama Java Preanger. Adapun Eropa mengenal kopi Jawa Barat dengan sebutan secangkir kopi dari jawa atau a cup of java.
Dari kawasan Priangan, Belanda mengembangkan kebun kopi di Jawa hingga sebagian nusantara. “Dulu di sini juga dikembangkan kopi buhun. Bibitnya dari kopi Java Preanger,” kata Ayat, petani yang kembali menanam kopi di Desa Suten jaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Kilas balik Java Preanger memiliki sisi kelam. Kongsi dagang Belanda atau VOC, memberlakukan sistem tanam paksa. Jan Breman dalam buku berjudul Keuntungan Kolonial dan Kerja Paksa: Sistem Priangan dari tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 mengisahkan bagaimana Belanda memaksa rakyat sunda untuk menanam kopi. Meski tak ada keuntungan bagi pribumi.
Hingga puncak kemundurannya, tanaman kopi arabika di Jawa mulai diterpa masalah. Salah satunya, serangan hama karat daun pada pertengahan abad ke-18 yang menghancurkan sebagian kebun kopi.
Kopi Jawa Barat mati suri. Namanya baru muncul lagi sekitar 1997, saat beberapa perkebunan kecil kembali muncul. Periode 2007-2011 ekspor kopi nasional tumbuh sebesar 8.1% per tahun dengan nilai ekspor sebesar US$1.03 miliar pada 2011.
Di Jawa Barat, data Dinas Perkebunan mencatat, dalam kurun waktu 2012-2015, ekspor biji kopi mencapai 187 ton dengan nilai 1,3 juta Dollar AS. Pada 2012, kopi Jabar kembali diekspor ke Eropa.
Momentum kebangkitan kopi di Jawa Barat, didukung pemerintah provinsi dengan tagline “Kopi yang Baik itu yang Digiling, Bukan Digunting”. Kopi pun dipromosikan. Bahkan, ada acara khusus untuk mengenalkan kopi kepada masyarakat, judulnya “Ngopi Saraosna” di Gedung Sate.